Kalea hendak menyampirkan tas pada bahu kirinya saat suara nyaring begitu memekakan telinga terdengar, tungkainya baru saja berjejak pada lantai lapangan yang setengah basah sisa hujan semalam. Percuma. Iya, jika otak buntunya berpikiran untuk menghindar tentu bukan pilihan tepat. Saat satu tatap memicing seolah menerawang sekaligus meminta penjelasan, Kalea sudah tidak lagi pada kedamaiannya. Pagi yang hebat, pikirnya. Tentu saja saat dimana Yasmin berteriak memanggil lalu kemudian menghela nafas untuk bersabar berkali-kali lipat. Sudah jelas harinya tak akan menjadi mudah.
"Berhubung lo temen gue, lo gue maafin." katanya.
Alih-alih menebar protes, gadis berambut sebahu itu malah mengukir senyum seadanya. Ada rasa syukur yang berlebih ketika teman sebangkunya itu malah tersenyum seraya mengaitkan kedua lengan pada sisi kanannya.
"Vano ga ngerusak jam tidur lo lagi kan? Sorry." ujar Kalea seraya memasang wajah bersalah yang sangat kentara. Bibirnya dikerucutkan gemas sampai Yasmin tersenyum kecil yang tak sempat Kalea baca, sebab ia masih menunduk meminta maaf karena tak menepati janji.
Lagi.
Perihal Vano yang selalu mengajaknya pulang bersama tanpa jeda dan kelewat memaksa dengan dalih sebuah hutang yang tak masuk akal, Yasmin sebagai sepupu merangkap seorang teman dari si gadis incaran, jelas Vano tak mau melewatkan. Merusak malam damai milik Yasmin yang selayaknya digunakan untuk bergelung di bawah selimut alih-alih meladeni segala pertanyaan yang sebagian besar masih tak ada jawaban.
Perlu diingat keberadaan Kalea di sekolah mereka baru menginjak minggu ketiga. Sebulan pun tidak. Yasmin jelas tidak banyak menahu mengenai hal yang menjurus ke ranah pribadi gadis bersurai panjang itu. Pun dengan perintah 'membujuk' yang tak ada habisnya, Yasmin terlampau bosan sekaligus tak enak hati sebab selalu terkesan memaksa agar Kalea menerima ajakan pulang bersama si sepupu tampannya yang selalu berakhir dengan malam kelabu ditemani ocehan Vano yang tak pernah habis setelahnya. Setelah lagi-lagi gagal membuat Kalea duduk di kursi penumpang mobilnya.
Seperti kemarin ketika pelajaran terakhir telah usai. Saat satu suara benar-benar menghentikan langkah kakinya.
"Pendek!!"
Iya seperti itu. Tapi tunggu, yang ini lain.
Sementara dahinya berkerut kebingungan, Yasmin di sebelahnya malah terbahak tanpa peduli dengan atensi murid yang lalu lalang. Sementara Sandra si pemilik suara nyaring bergegas menghampiri Kalea yang tampak bersemu karena malu.
Pukul empat belas lewat sedikit, tepatnya kemarin siang saat lengannya ditarik Vano kuat-kuat.
"Lepasin dia." ujar suara yang alfabetnya benar-benar dapat dihitung dengan jari.
Dua pasang tungkai itu berhenti. Kalea dengan ringisan sakit di tangannya dan Vano dengan senyum menyeringainya, keduanya berbalik menatap lurus pada presensi pemuda yang tak bergeming.
Pemilik suara yang alfabetnya langka itu tetap tenang dengan aura dingin namun teduh sorotnya.
"Kenapa harus?" Masih dengan menarik tangan Kalea, Vano berjalan perlahan lebih dekat ke arah pemuda tadi.
"Hardin Aksara Bumi. Kenapa harus?" ujarnya terdengar angkuh. Wajahnya jelas selalu tampan membuat sebagian siswi berteriak samar namun masih tertangkap oleh rungu. Tapi rautnya, Kalea belum pernah mendapati Vano seperti itu. Sorotnya menajam dan wajahnya datar menatap lekat.
Sementara pemuda yang Kalea ketahui nama tengahnya sebagai Aksara, hanya menarik salah satu sudut bibirnya sekejap.
"Lo ga liat dia kesakitan?"
