Terhitung semenjak dua minggu lalu ketika Kalea pertama kali menginjakkan kaki di sekolah barunya. Ia masih begitu ingat pada teriknya matahari saat itu, tanpa permisi menempa kulit putihnya yang dilapisi cardigan biru muda yang ia gulung sampai sebatas sikut. Serba salah memang ketika panas yang menimbulkan efek kecoklatan pada kulit namun pada saat yang sama malah membawa hawa menyengat hingga meninggalkan beberapa peluh di sekujur tubuh.
Bersama dengan seragam yang belum serupa serta surai yang sedikit tak tertata, langkahnya tampak terburu-buru sementara maniknya ikut bergetar kala kedua tungkai menapaki satu persatu anak tangga yang menghubungkannya langsung pada ruang Kepala Sekolah. Ini bahkan sudah hampir pukul sepuluh dan sebagai murid baru bukankah terlalu dini untuk melanggar peraturan?
Bukan salah siapa-siapa. Saat mobil yang ia tumpangi mendadak berhenti di tengah perjalanan adalah hal yang tak terbayangkan hari itu. Juga tak pernah menduga jika ia akan ditinggalkan sebab mobil derek yang dihubungi Pak Supri tiba lebih cepat daripada angkutan umum yang semenjak gerutuan pertamanya keluar adalah satu-satunya hal yang ia harapkan eksistensinya.
Sial! Bahkan ia masih mengingat dengan jelas pada ratusan pasang mata yang seolah menilainya penuh minat membuat kedua pipinya semakin bersemu antara rasa malu yang mendadak merayap atau akibat tempaan sinar mentari yang demi Tuhan panasnya menusuk mencapai tulang.
Lupakan soal itu. Sebab hal lain menjadi satu-satunya yang paling menarik hingga sekarang. Benaknya dengan otomatis akan mengulang kembali memori itu tanpa henti. Bagaimana tidak, di tengah kegugupan oleh bisikan juga tatap yang seolah memujanya, ada satu hal menarik perhatian. Satu hal yang buat netranya terdiam pada satu presensi yang seolah acuh di tengah keramaian. Entah, mungkin Kalea hanya iri hati ketika pasokan udara rasanya begitu kurang oleh segerombolan siswa-siswi yang memadati setiap inci langkahnya, sangat sesak sementara irisnya menangkap seorang pemuda tengah duduk bersantai memangku sebuah gitar di pinggir lapangan.
Tempat pemuda itu berada rasanya begitu sejuk, jangan lupakan yang benar-benar mencuri perhatian, surai hitam pekatnya yang ditiup angin menimbulkan efek dramatis pada wajah yang ia yakini jauh lebih menawan jika ditatap lebih dekat. Meski jarak pandangnya terhalang oleh puluhan presensi dan sayup-sayup suara berusaha merusak atensi, maniknya tak pernah salah tanggap jika yang netranya tatap adalah suatu hal mengagumkan.
Oh, astaga! Bahu lebar itu sedikit naik-turun oleh petikan gitar yang dimainkan, walau tak benar-benar mencuri dengar namun ia yakini jika suara yang dihasilkan pastilah merdu. Sesekali dahi itu berkerut seolah luput saat mengolah nada menjadi irama, entah, sebab yang benar-benar Kalea yakini hanya kedua alis hitamnya yang lebat menjadi begitu kentara saat lagi-lagi tiupan angin menyibak surainya. Dan terakhir yang mungkin bisa saja membuat nyawanya ikut berakhir, adanya sudut bibir yang sedikit terangkat dan sesekali lidahnya menyapu permukaan kenyal nan tebal itu samar-samar.
Oh ayolah, fantasinya hampir meliar jika saja ia tak mengingat sedang berada di tengah kerumunan saat itu.
Dan anehnya, tak satupun gadis terpana atau sekedar sedikit memangku atensi pada sosok itu, seolah terbiasa mendapati penampilan yang------wow itu menakjubkan jika yang kau lihat hanya sebatas penampilan fisik. Maksudnya begini, mengapa dari segelintir pemuda favorit di sekolah ini hanya sosok itu yang hadirnya tak dihiraukan?
Sebut saja mereka Vano, Juan, dan Julian yang ketika berjalan tanpa berkegiatan saja sudah total membuat gaduh seolah SMA Garda hanya memiliki tiga sosok pemuda nyaris sempurna itu-itu saja.
Well, permasalahannya mungkin pada perbedaan selera.
"Bisa geser sedikit?"
Persetan dengan apa yang otak cerdasnya pikirkan beberapa saat lalu, yang ia ingat sebelum satu suara terdengar rungu, benaknya melayang pada peristiwa beberapa hari lalu saat pertamakali tungkainya menginjak tanah sekolah ini. Dan hei, apa satu ingatan bisa seajaib itu membawa satu individu yang tengah dipikirkan ikut hadir secara nyata?
Saat satu sosok tengah menatapnya datar Kalea hanya termangu seolah pikiran-pikiran yang sempat terbesit telah diketahui oleh si pemilik presensi dalam benak. Rasanya seperti tertangkap basah ketika lagi-lagi yang menatap hanya mendengus frustasi.
"Heh, lo denger gue kan?"
Sontak gelagapan saat satu detik berharga menyadarkannya pada sebuah realita. Pada terik mentari di siang hari tepatnya ketika makan siang saat pelajaran kelima baru saja usai.
"I-iya sorry." balasnya seraya memberi jalan, menyisakan satu sekat jarak di tengah padatnya sudut kantin yang terlampau sesak.
Pemuda itu menatapnya sejenak, dan hei, bagaimana bisa iris bening itu ada di sana? Kalea total terkesima dan sedikit berpikir, mungkin, beberapa hal menjadi sebab mengapa para gadis tak begitu mencari perhatian atau sekedar menunjukkan minat pada kehadiran pemuda ini.
Sebab tatapannya acuh. Sebab tutur katanya terkesan angkuh. Sebab auranya terlampau tak bersahabat, dan sebab pribadinya begitu dingin.
Namun satu yang perlu diwaspadai, sorotnya terasa teduh dan hangat secara bersamaan. []
