Chapter 02

270 34 23
                                    

Kalea memaku di tempat.

Tentu saja, setelah pemuda bersurai hitam legam itu berlalu wajah cantiknya bersemu bersama rona merah yang kentara. Malu dan kesal berpadu. Jika saja ia memiliki kuasa akan ia cabik wajah menawan itu kuat-kuat. Tak peduli perihal aroma mint yang mendadak menguar pada indera penciumnya sesaat setelah pemuda itu berlalu, walau sekejap saja mampu menenangkan namun setelahnya adalah bencana.

"Liat, lo bohong lagi. Mau sampai mana lagi lo nyari alesan, Kal?"

Sejujurnya ini seperti sebuah paksaan yang hanya menguntungkan satu belah pihak. Iya, jika saja beberapa hari lalu Kalea tak sengaja menggores sisi kiri mobil mewah milik Vano. Hari ini ia tak perlu repot-repot berpikir keras dan berakhir ditimpa jutaan es milik Hardin. Cih, bukankah tak ada yang lebih menyebalkan dari macam-macam variasi sifat manusia di dunia selain miliknya? Tapi ketampanan memang selalu mengalahkan. Ya, baiklah lupakan.

Serta untuk pemuda yang nyaris tak menciptakan jarak di depannya kini selalu berakhir menyebalkan setiap harinya.

"Van, bisa gue bayarnya pake duit aja? Gue ga bodoh untuk sadar kalo mobil lo aja yang kegores tapi minta bayarannya pake antar jemput gue ke sekolah. Ga usah modus, gue tau akal lo."

Vano terkekeh yang samar, mata tajamnya memicing seolah menilai keberadaan Kalea dalam hitungan detik yang tak terhitung. Kemudian kembali pada sisi tenang mengintimidasi khas miliknya, terdiam menatap penuh perhatian.

"Lo cantik." katanya.

Tak ada rona merah yang tercipta, Kalea hanya tak pernah terbawa perasaan pada sesuatu yang terasa palsu seperti itu. Vano si pemilik jutaan atensi juga cinta. Siapa yang tak paham jika ujarannya itu hanya hampa belaka, jika setiap saat selalu berganti perempuan yang menjadi penghuni kursi sebelah sisi kemudi miliknya.

"Dan berbeda." lanjutnya tersenyum kotak yang khas.

"Berbeda gak kaya cewek-cewek yang bisa tiap saat lo cumbu di gudang belakang sekolah itu maksud lo?"

Menarik.

Ini berlebihan namun mampu mendebarkan. Vano bersama dengan sejuta pesona yang menawan tak juga menggerakkan hati presensi baru di depannya. Dua minggu lalu ketika manik elok itu menatapnya sekilas dan Vano merasa janggal. Tak ada binar yang seringnya ia terima di segala penjuru sekolah. Di setiap pergerakkannya, tak ada tatap memuja seperti kebanyakan siswi satu sekolah. Hanya ada tatapan tak peduli dan kehadiran yang segera berlalu mencapai pintu kelas sebelah.

Malah ia yang terpana. Untuk pertama kalinya mungkin setelah beberapa tahun terakhir.

Dan membawanya pada trik kolot sebagai salah satu aksi pendekatan yang konyol.

"Hutang tetap hutang dan waktu itu lo udah janji gue anterin balik."

Hanya gerutuan dalam hati usai hembusan nafas beberapa saat lalu. Kalea berniat mengalah kali ini dan tak ingin lagi berurusan setelahnya. Ia berjanji. Sebab menjadi pusat perhatian itu menyebalkan dan keberadaan Vano selalu menjadi titiknya.

"Oke, satu kali dan selesai."

Jika diperhatikan gadis bersurai sebatas pinggang itu tak ingin berlama-lama dalam satu cakupan udara bersama Vano. Dan si pemuda sadar itu, membuatnya lebih tertantang hingga tersenyum bodoh sesaat setelah rungunya dihantam gerutuan yang samar-samar terdengar. Kalea berlalu sesegera mungkin setelah keputusan terpaksanya.

Dan Julian mendatangi setelah serentetan kalimat mereka diputus dengan langkah kaki milik Kalea yang tergesa. "Gimana? Dari senyum lo si keknya tu anak mau lo anterin."

"Gue tlaktir lo makan." tangannya menepuk pundak Julian beberapa kali dan maniknya masih tertuju pada presensi yang menghilang di balik tembok kantin sedetik lalu.

AdolescenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang