Chapter 01

420 36 11
                                        

Hari ini masih panas untuk sekedar beranjak ke ruang perpustakaan yang jaraknya sedikit memakan waktu hampir lima menit dari letak kelasnya berada. Kalea berusaha menahan sengatan mentari yang selalu berhasil menciptakan ruam kemerahan pada beberapa bagian tubuhnya yang tak sengaja terpapar. Bahkan rasanya sepuluh kali lipat lebih terik daripada tempat tinggalnya dulu.

Di sudut kota bernama Queenstown tempat dirinya bermukim, hawa sejuk serta aroma musim dingin yang tak pernah berakhir rasanya selalu berhasil mencapai penciuman kala dirinya bepergian ke berbagai sudut di kota itu. Terkadang ia rindu dengan netranya yang tak berhenti menemukan tumpukan salju di setiap pojok alamnya. Bentangan danau yang genangannya bak pantulan cermin selalu menampilkan potret alam yang juga tak kalah elok, seperti gambaran surga, katanya.

Suasana damai yang masih terasa bahkan dengan suhu yang nyaris berbeda 180 derajat seolah menarik keinginannya untuk kembali lebih kuat dan kembali memohon pada sang Mama untuk tetap diizinkan menetap di sana. Hah, tapi ia sudah terlampau berjuang dan menyerah akibat terlalu lelah berdebat dan berakhir dengan tumpukan buku yang jelas-jelas merusak pandangan mata. Kata Sandra si ketua kelompok, tugasnya hanya merangkum beberapa profil tokoh publik era perjuangan.

Beberapa saat setelah berkutat dengan alat tulis yang dibawa seadanya, tubuh mungilnya mendadak sedikit limbung kala tumpuannya berjalan tidak sengaja mengenai sudut kursi yang ia duduki. Segera mengutuk diri ketika suara nyaring dihasilkan beberapa saat setelah tungkainya berhasil menjaga keseimbangan. Deheman serta kekehan samar-samar terdengar, dan itu sukses membuatnya malu setengah membungkuk meminta maaf pada sekitar.

Duh bego!

Kembali fokus utamanya pada setumpuk tugas yang belum terselesaikan, mencari referensi lain yang jatuh pada satu buku di salah satu bilik di dekat ruang baca. Kakinya sedikit berjinjit sebab masih tak berhasil mencapai target kendati ada satu bangku kecil yang menjadi tumpuannya berdiri, sedikit limbung dan hanya berharap pada momen yang ia yakini berakhir memalukan ini akan sama kisahnya seperti di novel-novel yang sering ia baca dan gemari sisi romantisnya.

Grep.

Tanpa diduga lengan kirinya ditahan oleh yang lebih kokoh.

"Kaki lo pendek."

Tak ada kejadian memalukan apalagi momen romantis yang dikhayalkan, yang ada hanya tatapan datar seperti beberapa hari lalu. Pemilik bulu mata lentik juga pemilik bibir tebal kemerahan yang senyumnya pernah terukir samar itu berada tepat satu senti di hadapannya. Aroma maskulin menguar ketika sebelah tangan kokoh itu menyongsong satu buku di bagian atas rak tanpa kepayahan sedang sebelahnya lagi tampak bertumpu pada sisi rak buku tepat di samping kiri keduanya berpijak.

Jika seperti ini seolah tubuh mungilnya dibungkus oleh aroma mint bercampur pinus menyegarkan.

"Jadi nama lo Hardin." bukan pertanyaan melainkan sebuah fakta yang ia baca ketika tepat di depan kedua maniknya tertera name tag yang bertuliskan, Hardin A. Bumi.

Tersenyum samar saat si pemuda menyerahkan satu buku sedang yang ditatap bibirnya terkatup rapat dan hanya berlalu tanpa ekspresi.

Awalnya Kalea pikir pemuda itu termasuk golongan murid pintar sedikit kutu buku, mungkin, bermodalkan satu momen dimana biasanya para siswa akan memilih lapangan atau kantin sebagai tempat istirahat paling ampuh dan bukannya malah di sebuah tempat membosankan dengan ratusan buku berjejer rapi yang memuakkan.

Namun ternyata asumsinya melesat ketika di sudut sebelah kanan, pemuda yang baru saja ia ketahui bernama Hardin itu terduduk seraya menjejalkan dua buah earpiece pada cuping telinganya. Jadi Kalea pikir pemuda itu penikmat musik dan bukan malah pecandu buku yang sama sekali tak nampak pada genggaman jemari kokohnya. Ekspresi wajah itu masih serupa seperti saat di pinggir lapangan tempo hari, namun ada yang lebih menggelitik sebab pikirannya terasa lebih nyata dan degupan tenang pada dada bidang itu sempat Kalea curi dengar meski hanya beberapa saat.

Dan untuk satu buku dalam genggamannya.

"Terima kasih, Hardin." ujarnya hampir menyerupai bisikan.

***

Setelah waktu krusial yang hanya beberapa detik, Kalea berserta mimpi buruknya hadir-Vano Rahadian Akmal-tengah menatapnya intens di sudut kantin yang menghadap dari samping kiri tepat ke arah pintu keluar perpustakaan.

Setelah berjuang dengan serangkaian kalimat dan berbagai tumpukan kertas, otaknya kembali dipaksa untuk berpikir, tetap berjalan atau berbalik arah? Mengingat situasi, opsi kedua sebagai bentuk penghindaran yang begitu kentara merupakan cara yang terlampau salah dan terkesan naif. Juga pada opsi pertama sebagai satu-satunya pilihan, Kalea hanya terlalu malas jika akhirnya berujung pada perdebatan antara yang sangat berharap untuk menawarkan tumpangan dan yang terlampau keras menolak untuk diajak pulang bersama.

"Kal!"

Ya ampun! Ini suara Julian yang tengah bersama si pemilik senyun kotak. Merangkap sebagai kekasih Sandra yang baru saja genap tujuh bulan tepatnya dua hari lalu, sempat terbesit dalam pikiran piciknya yang mendadak tersengat satu ide cemerlang menurut nalarnya. Entah, yang ia pikirkan hanya, "Gue gak tau dimana Sandra, Jul."

Kocak. Setidaknya satu tarikan nafas yang terkesan gugup ini mampu untuk sekedar berkata-kata hingga tatapan intens itu berubah menjadi senyum samar yang tersungging geli.

Dan Kalea kembali merotasikan pandangannya kesana-kemari berharap setidaknya ada semacam alibi yang lebih dahsyat tiba-tiba menguar dari tempurung otaknya atau satu presensi yang bisa ia mintai pertolongan seadanya.

Ini berlebihan. Saat pikiran piciknya berpikir hanya dalam kurun waktu sekejap seolah hanya dalam tempo satu detik  netranya kembali menemui iris bening itu lagi dan lagi. Namun, jika sesuatu perlahan memperingatinya untuk bersiaga lagi-lagi ia hanya bisa terperanjat seraya maniknya menangkap bayangan Hardin di ujung pintu keluar. Jangan pergi dulu, jangan pergi sebelum bantuin gue, gumamnya dengan doa yang ia panjatkan paling serius pada pemilik semesta alam yang hebatnya tak terkira.

Sementara si pemilik senyum kotak selayak pelari marathon yang tak kenal lelah sebelum mencapai garis finish. Menit yang terasa bagaikan detik itu mendadak menghadirkan presensi Vano dengan seulas senyum paling menawan sejagat.

"Gak ada alesan buat nolak balik bareng gue lagi kan kali ini?"

Pada sesaknya nafas saat perlahan tungkai panjang milik Vano melangkah dan mendekat. Juga pada keinginan untuk menghindar yang begitu besar namun terasa segan. Pun pada buntunya isi kepala saat satu alibi sudah habis tak bersisa, Kalea ingin meminta maaf secara sungguh. Pada seorang pemilik senyum kecil yang terbit ketika di pinggir lapangan tempo hari. Pada pemilik aroma maskulin yang menenangkan, juga pada pemilik degup yang didefinisikan sebagai salah satu musik favoritnya di dunia.

Aku meminta bantuanmu.

"Hardin. Gue ada janji sama dia. Iya bener j-janji."

Hardin menatap gadis itu lamat-lamat saat satu nama diikrarkan ketika langkah kakinya lekas menginjak tanah, si pemuda berdiri yang canggung seraya menatap bergantian pada dua presensi di sampingnya.

Alisnya berkerut bingung menanti penjelasan sementara satu lengannya tengah digenggam penuh oleh si pemilik aroma vanila.

"Ayo." katanya.

Dan well, Kalea menyesal melontarkan alfabet-alfabet itu seolah ingin menelannya kembali bulat-bulat saat Hardin menyingkirkan genggaman jemarinya dalam tempo yang tak kalah cepat.

"Tolong jangan pernah melibatkan gue." []

AdolescenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang