Bab 1

14.7K 539 6
                                    

Aku mundur selangkah demi selangkah. Mata ini masih terus menatap ke arah jendela rumahku. Tak terasa air mata menetes, sempat aku terhenti. Mengatur nafasku yang tersengal, menata hati yang belum siap.

Aku izin pulang kerja lebih awal karena badanku sedikit meriyang. Namun sesampainya di rumah, yang kulihat hanya sebuah pengkhianatan. Pengkhiatan dari laki- laki yang sudah lima tahun hidup mendampingiku. Yang membuatku syok, perempuan itu adalah adikku.

Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, mereka melakukan 'itu' di dalam kamarku. Aku masih tidak percaya, aku mengucek mataku beberapa kali, berharap ini hanyalah mimpi di siang bolong. Namun mereka nyata di depanku.

Aku membalikkan badan dan berlari sekuat tenaga menuju ke kantorku lagi. Entah setan apa yang merasukiku hingga aku berlari sejauh 10 kilometer.

Syifa yang melihatku kembali ke kantor memandangku keheranan. Aku duduk di meja kerjaku, aku tidak bisa menyembunyikan air mataku. Syifa mendekatiku dan secara spontan aku langsung memeluknya. Tangisku pecah tak terkendali. Syifa menepuk- nepuk pundakku, meredam kesedihanku.

"Kenapa Diana? Bukankah kamu izin pulang karena nggak enak badan?" tanya Syifa sambil melepas kan pelukannya.

Aku masih tetap menangis sesegukan. Aku memgambil tisu yang ada di meja kerjaku dan mengeluarkan ingus yang bersarang di hidungku.

"Kalau kamu belum mau cerita, oke nggak apa. Mau aku buatkan teh hangat?"

Aku mengangguk. Syifa beranjak meninggalkanku yang masih sibuk dengan tangisku. Aku mendaratkan bokongku di kursi.

Bayangan tadi melintas, hati ini rasanya tercabik- cabik. Tiba- tiba pak Ihsan datang ke meja kerjaku. Pak Ihsan adalah GM di mana aku bekerja. Aku bekerja di sebuah perusahaan perumahan.

"Loh, Diana? Bukankah tadi kamu izin?"

"Tidak jadi pak"

"Kamu menangis?"

"Tidak pak, aku baik- baik saja"

"Oh ya, hari ini tolong kamu selesaikan RAB di proyek A ya? Soalnya seminggu lagi kita akan mulai pembangunannya"

"Baik pak"

"Kalau begitu, aku pergi dulu"

"Silahkan pak"

Pak Ihsan pun beranjak meninggalkanku. Aku mengusap air mataku. Syifa datang dengan membawa gelas berisi teh hangat yang dia tawarkan padaku tadi. Dia memberikannya padaku.

Aku meneguk sedikit demi sedikit teh buatan sahabatku ini. Rasanya hangat sekali di dalam dada ini. Syifa duduk di depan meja kerjaku dan menatapku penuh pertanyaan.

***

Waktu menunjukan pukul 15.00 wib. Aku mengambil dokumen yang barusan aku kerjakan dan membawanya ke ruangan pak Ihsan. Aku mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan pak Ihsan.

"Sudah jadi?" kata pak Ihsan sambil menerima dokumen yang aku berikan. Dia membukanya dan terlihat serius membacanya. Sejenak kemudian, dia tertawa terbahak- bahak.

"Diana? Apa yang kamu fikirkan? Tanah dengan luas sepuluh hektar yang akan kita jadikan proyek hanya butuh anggaran 125 juta saja?"

Aku merebut dokumen tersebut dan memelihatnya kembali. Sambil garuk- garuk kepala yang tidak terasa gatal aku tersenyum masam.

"Maaf pak. Akan aku perbaiki"

"Tidak perlu, sebaiknya kamu ikut aku saja" kata pak Ihsan sambil beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan keluat ruangan, aku mengikutinya.

Sampai di parkiran pak Ihsan mengeluarkan kunci mobilnya dan kemudian masuk ke dalam mobilnya. Aku membuka pintu mobil belakang.

"Hey, duduk di depan saja"

"Ehhhh??" sejenak aku mencerna kata- kata pak Ihsan, kenapa dia mau bawahannya duduk di sampingnya? Selama ini ketika dia mengajakku meeting ke mana saja selalu menyuruhku duduk di kursi belakang.

Aku menutup kembali pintu mobil dan berjalan ke pintu mobil depan. Aku masuk dan duduk di samping pak Ihsan.

Mobil melaju meninggalkan kantor. Sepanjang perjalanan, aku hanya terdiam dan memandang ke arah jendela. Mengamati setiap pemandangan yang di suguhkan kota ini.

Sebuah cinta untuk DianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang