bab 2

8.7K 534 5
                                    

Mobil berhenti di sebuah tanah yang terbentang luas. Sepertinya tanah itu tidak pernah di rawat oleh pemiliknya, itu terlihat dari rerumputan yang tumbuh subur di sana.

Pak Ihsan turun dari mobilnya dan dia berdiri dengan punggungnya yang menumpu pada badan mobil. Tangannya di lipat ke dada. Aku pun ikut turun dari mobil dan berdiri di samping pak Ihsan. Dalam hati ada rasa bingung, apa maksud pak Ihsan mengajakku kemari. Mungkin aku sedang di ajak turun langsung ke lapangan? Karena perhitungan RAB ku yang kacau?

"Kamu tahu kenapa aku mengajakmu kemari?"

"Mungkin kita sedang memantau tanah yang akan kita jadikan proyek?"

"Itu bagian kedua. Bagian pertamanya, coba kamu lihat tanah yang membentang luas itu" kata pak Ihsan sambil menujuk ke arah tanah di depan kami.

"Ya?"

"Tadinya di sini adalah area persawahan, sangat bermanfaat untuk petani dan juga kita semua. Kemudian tanah ini di beli oleh seorang pengusaha. Tapi tanah ini di biarkan terbengkalai karena pengusaha tersebut lebih mementingkan usahanya yang lebih menjanjikan. Padahal dia tidak tahu bahwa tanah ini bisa jadi sangat berharga"

Aku masih belum mengerti dengan ucapan pak Ihsan. Lama aku berfikir kemudian mentok, aku cuma bisa garuk- garuk kepala yang jelas sekali bahwa kepalaku tidak gatal.

Pak Ihsan menatapku, kemudian dia tertawa.

"Sudahlah, nggak usah di fikirkan. Ayo aku antar kamu pulang" kata pak Ihsan sambil menepuk- nepuk pundakku.

Pak Ihsan pun masuk ke dalam mobilnya dan di ikuti olehku. Mobil melaju meningglkan tanah yang terbengkalai itu.

***

Mobil berhenti tepat di depan rumahku. Aku keluar dari mobil dan berjalan menuju ke rumahku. Namun langkahku terhenti. Terdengar pak Ihsan memanggilku. Sontak akupun menoleh.

"Jadilah berharga, karena ketika kamu berharga, tidak akan ada orang yang berani meremehkanmu" setelah mengucapkan kata- kata itu mobil pak Ihsan langsung melesat meninggalkanku yang sedang bengong mencerna kata- kata dari pak Ihsan.

Entah aku nya yang bego atau giman? Aku berbalik dan masuk ke dalam rumah.

"Assalamualaikum"

"Waalaikum salam. Udah pulang kak?"

"Udah, mana mas Danil?"

"Belum pulang kak. Kak, aku mau ngomonh sesuatu"

"Uang?"

Vivi tersenyum mendengar perkataanku. Sudah ku duga, selalu uang yang dia fikirkan. Mengingat kejadian tadi pagi membuatku jijik dan enggan untuk berlama- lama berada di hadapannya.

"Berapa?"

"300 ribu kak"

Aku mengambil dompetku di dalam tas yang sedari tadi masih aku tenteng. Ku buka dompetku kemudian kututup kembali tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.

"Kakak lupa dek, uang kakak tadi habis buat bayar tagihan air dan listrik. Ini kan tanggal tua. Kakak belum gajiam, coba deh minta sama mas Danil"
Kataku sambil melangkahkan kaki menuju ke kamarku. Ketika tangan ini hendak menyentuh handek pintu, bayangan tadi menyelinap. Aku menarik nafas panjang dan membuka pintu kamarku.

"Dek, kok sprei di kamar kakak di ganti?" kataku setengah berteriak. Vivi berlari masuk ke dalam kamarku.

"Tadi itu kak, anu.. Kucing tadi masuk dan pup di kasur kakak"

"Sekotor itukah spreiku?sampai- sampai di anggap wc sama kucing. Padahal baru aku ganti semalam.

Aku melihat raut muka Vivi berubah. Tentu saja, biasanya aku tidak pernah mempermasalahkan. Masalah sprei yang memang sering ganti dengan sendirinya. Dan herannya sprei itu masuk loundri. Bukan masuk cucian kotorku. Sekarang terbuka sudah kedokmu dek.

Aku adalah anak bawaan ayah. Sedangkan Vivi anak bawaan ibu. Kami di pertemukan di rumah ini, rumah milik ibunya Vivi. Itu sebabnya aku hanya bisa diam untuk saat ini. Tapi aku akan bermain cantik. Lihat saja nanti!

***

Mas Danil merebahkan tubuhnya di sampingku, tapi langsung ku palingkan diri ini membelakangi mas Danil. Tiba- tina tangannya melingkar di perutku. Tolong plisss. Aku jijik dengan tanganmu ini. Tapi aku harus sabar. Aku pura- pura terlelap. Tapi tangannya mulai berjalan kemana- mana.

" aku sedang datang bulan, jadi tolong hentikan tanganmu itu" kataku sambil terus berada di posisiku.

Mas Danil menghentikan aksinya dan langsung duduk.

"Bukannya ini baru pertengahan bulan? Biasanya jatahmu kan akhir bulan?"

"Tuhan pengen aku datang bulan lebih awal kali" kataku santai.

Tapi tak terasa mata ini basah menahan kesedihan yang amat dalam. Kemudian aku teringat dengan kata- kata pak Ihsan.

Jadilah berharga.

Aku jadi ingat bahwa aku sudah lama sekali tidak ke salon. Tidak pernah olah raga, hanya sibuk dengan pekrjaan rumah dan pekerjaan kantor.

Akupun sampai lupa bahwa berat badanku sudah mencapai 60 kg. Mungkin inilah yang di maksud pak Ihsan. Agar aku  bisa sedikit memoles kehidupanku agar aku tidak di remehkan.

Sebuah cinta untuk DianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang