bab 4

7.6K 553 10
                                    

Kupandangi bayangan dalam cermin, dari ujung rambut hingga ujung kaki aku mengamati.

Mungkin ini alasan mas Danil mengkhianatiku. Aku sudah tak menarik lagi. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku merawat tubuhku. Pipi yang semakin caby, wajah yang kusam, badan yang semakin melebar.

Selama ini aku berada di zona nyaman. Aku tidak pernah memikirkan penampilanku, buat apa? Toh aku sudah punya suami. Walaupun kami belum di karuniai malaikat kecil, tapi ada Vivi yang setiap hari berkelakuan seperti anak kecil. Cih!! Ternyata hanya tampangnya saja.

"Aku harus berubah, kalau aku sudah berubah, tidak akan aku biarkan kamu masuk kembali dalam hidup ku mas. Dan kamu Vivi, akan aku buktikan kalau aku bisa memiliki rumah sendiri" kataku sambil menunjuk ke dalam cermin.

Tok tok tok

Suara pintu di ketuk. Aku beranjak dari depan cermin menuju ke depan. Pintu ku buka. Terlihat dua orang lelaki yang masih muda dengan membawa ransel.

"Selamat siang mbak, benar ini rumahnya ibu Diana?"

"Iya dengan aku sendiri"

"Ibu yang pesan pemasangan cctv ya?"

"Oh, iya betul. Mari masuk mas"

Aku mempersilahkan dua orang itu masuk, dan mengajaknya ke kamarku. Aku memberi arahan pada mereka agar cctv di pasang sedemikian rupa agar tidak terlihat.

Tidak hanya kamarku saja, aku memasang di tiap sudut ruangan dan menyambungkannya ke ponselku. Agar aku bisa membuat bukti. Bukti untuk menggugat cerai mas Danil.

***

"Aku berangkat kerja dulu mas" kataku sambil mengambil tasku yang tadi aku letakkan di atas kasur.

"Loh, bukanya ini hari minggu yang? Kamu nggak libur?"

"Aku lembur" jawabku sambil melangkahkan kaki

"Sayang"

"Ya?" jawabku sambil menghentikan langkahku.

"Aku ngerasa akhir- akhir ini kamu berubah. Tiap pagi nggak pernah masak, nggak pernah menciumku. Kenapa?"

"Perasaan kamu aja kali mas. Udah ah, aku berangkat dulu. Assalamualaikum" kataku sambil melangkah meninggalkan mas Danil

"Waalaikum salam"

Aku keluar dari rumah dan berjalan menyusuri jalanan yang tidak terlalu ramai, mungkin karena ini hari minggu. Orang- orang lebih memilih diam di rumah.

Aku berhenti di sebuah taman kota yang berada di ponggir jalan. Aku mendaratkan bokongku pada sebuah kursi yang ada di taman tersebut. Aku menyandarkan punggungku dan menarik nafas dalam- dalam.

Tiba- tiba seseorang duduk di sampingku, aku menoleh.

"Pak Ihsan?"

"Hai Diana? Sedang apa sendirian di sini?"

"Mencari udara segar pak. Bapak sendiri ngapain di sini?"

"Sama. Oh ya, ini" kata pak Ihsan sambil menyodorkan sebuah kunci.

"Apa ini pak?"

"Kunci rumah barumu"

"Cepet amat pak?"

Aku menerima kunci itu dengan mata berkaca- kaca. Tak terasa air mata mengalir.

"Kok nangis?"

"Bahagia pak" kataku sambil mengusap air mata.

"Ya sudah, ayo aku antar kamu ke rumah barumu" kata pak Ihsan sambil berdiri dan melangkah, aku mengikutinya.

Aku melihat mobil pak Ihsan terparkir agak jauh dari tempat kami duduk tadi. Aku dan pak Ihsan masuk ke dalam mobil.

Mobil melaju meninggalkan taman. Di sepanjang perjalan, kami saling diam. Entah apa yang akan aku bicarakan dengan pak Ihsan, seperti tak ada topik pembicaraan. Atau sebenarnya kami canggung?

Sebenarnya sejak aku tahu bahwa GM di perusahaanku adalah pak Ihsan, ingin rasanya aku resign. Tapi setelah aku fikir lagi, di luar sana tidak ada pekerjaan yang menjanjikan seperti di perusahaan pak Ihsan.

Aku masih ingat sekali, aku pernah menolak ungkapam cintanya sewaktu SMK dulu. Walaupun aku pura- pura lupa, tapi rasa malu tetap ada.

Bagaimana aku bisa menerima cintanya, waktu itu, aku masih kelas 1 SMK, belum boleh pacaran. Bahkan, waktu itu aku belum mengenal pak Ihsan. Padahal sejak pak Ihsan mengungkapkan cintanya, diam- diam aku sering memperhatikannya. Sampai akhirnya pak Ihsan lulus dan kabar yang aku dengar, kalau dia kuliaj di amerika.

Mobil berhenti tepat di sebuah rumah yang sangat mewah.

"Ayo turun. Kita sudah sampai"

"Lah kok? Di sini bukan di proyek kan?"

"Memang bukan"

Aku turun dari mobil dan mengikuti pak Ihsan. Dia berhenti di gerbang rumah mewah tersebut. Dia menyuruhku membuka gerbang dengan kunci yang tadi dia berikan padaku.

"Tunggu sebentar pak, bisa jelaskan ini?" kataku sambil menunjuk ke arah rumah mewah itu.

Pak Ihsan tersenyum.

"Ini rumahmu"

"Angsurannya berapa ini pak? Rumah dengan dua tingkat, pagar besi panjang melintang" kataku sambil mencak- mencak

Pak Ihsan tertawa melihat tingkahku.

"Angsuran seperti biasa Diana. Anggap saja ini bonus karena kamu sudah lama kerja di perusahaan ayahku"

"Tapi ini keteraluan pak"

Pak Ihsan melangkahkan kaki mendekatiku, kini dia berdiri tepat di hadapanku. Kemudian kedua tangannya memegang pundakku.

"Bukankah aku pernah berkata, jadilah berharga? Maka tolong jangan kamu tolak ini" kata pak Ihsan.

Kami saling memandang. Tiba- tiba jantungku berdegub kencang. Aku mengalihkan pandanganku dan berjalan mundur. Tangan pak Ihsan terlepas.

"Baiklah" kataku

"Bersambung

Sebuah cinta untuk DianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang