Bab 7

8.7K 523 14
                                    

Aku yang tengah duduk di kursi tempat kerjaku, di kagetkan dengan kedatangan Syifa yang berlari- lari dan berteriak- teriak seperti orang kesetanan. Dia mendekatiku dan duduk di kursi depan meja kerja ku.

"Diana. Berita di sosmed ini benar kah?"

"Apaan?" tanyaku pura- pura polos

"Suamimu selingkuh dengan adikmu" kata Syifa berhati- hati.

"Iya. Itu benar" kataku dengan ekspresi biasa saja yang membuay Syifa keheranan.

"Kamu nggak sedih? Nggak nangis?" kata Syifa.

"Buat apa nangisin pengkhianat? Sayang air mataku kan?" kataku santai.

"Ah, aku yakin hati terdalam mu pasti merasa sakit. Kalau tidak, itu artinya kamu tidak mencintai suamimu" kata Syifa tak percaya.

"Sakit? Tentu ada Fa. Tapi aku bukan tipe orang yang kudu nangis berhari- hari cuma nangisin hal yang nggak penting kayak gitu. Lagian aku yang menggebrek mereka" kataku

"Wuaaahhhh, gila. Ternyata temen aku yang satu ini tuh keren banget"

Tiba- tiba ponselku berbunyi. Aku dan Syifa sontak melirik ponsel milikku.

"Vivi?" tanya Syifa

"Dari kemarin dia nelpon dan ngirim pesan terus. Tapi nggak aku baca dan nggak aku angkat telponnya"

"Masih punya nyali juga adik mu itu Na. Nggak malu apa?" kata Syifa sambil geleng- geleng.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Syifa. Syifa pun beranjak dari tempat duduk di depanku, dan berlalu meninggalkan aku yang masih menyunggingkan senyum. Senyum penuh kemenangan.

***

"Diana, mau makan siang bareng?" tawaran pak Ihsan membuyarkan lamunanku.

"Tentu pak. Mari" kataku sambil berdiri dan mengambil tasku yang aku taruh di atas meja kerjaku.

Aku berjalan berdampingan dengan pak Ihsan. Aku melihat beberapa pasang mata yang terus melirik kami, tentu saja para penggemar pak Ihsan.

"Sepertinya bapak sangat populer di antara para karyawan perempuan" kataku

"Kamu baru sadar? Bukankah aku terlalu tampan?" kata pak Ihsan menggodaku.

"Sangat tampan" kataku sambik tertawa

"Ngomong- ngomong, aku sudah melihat berita itu" kata pak Ihsan sambil terus melangkahkan kakinya.

"Ah, itu"

"Apa kamu sudah mengurus surat perceraian dengan suamimu?" kata pak Ihsan

"Kenapa memangnya pak?" tanyaku. Rasanya gimana gitu, masa atasan nanyain masalah pribadi.

"Kalau kamu sudah mengurus perceraianmu, mungkin aku akan mendekatimu" kata pak Ihsan sambil menghentikan langkah kakinya dan menatapku.

Aku pun ikut menghentikan langkah kakiku dan menatap pak Ihsan. Kami saling diam, namun beberapa detik kemudian, aku melepaskan tawa.

"Apaan sih pak. Mentang- mentang aku calon janda sudah berani menggodaku" kataku

Pak Ihsan hanya menarik nafas mendengar ucapanku dan melangkahkan kakinya. Kami sampai di kantin perusahaan, pak Ihsan memesan beberapa menu. Kami duduk di meja paling sudut ruangan kantin.

Sedang asyik mengobrol dengan pak Ihsan, sesorang ikut duduk di meja kami. Aku dan pak Ihsan menoleh.

"Kenapa kakak nggak angkat telponku, nggak baca pesanku?" kata Vivi sambil nangis

"Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?" tanyaku.

"Itu tidak penting. Kak, aku mau minta maaf sama kakak" kata Vivi sesegukan.

"Sudah terlambat Vi" kataku

"Lalu, kakak akan tinggal dimana?" kata Vivi sambil mengusap air matanya.

"Yang terpenting, sekarang aku sudah lega terlepas dari kalian berdua" kataku menahan tangis. Pak Ihsan menatapku dan mengangguk memberiku semangat.

"Maafkan aku kak. Maafkan aku, aku malu kak. Berita itu menyebar kemana- mana. Bahkan untuk keluar rumah pun aku harus melihat situasi ketika sepi"kata Vivi sambil bersujud  kakiku.

"Pulanglah. Aku sudah tidak mau melihat wajahmu lagi" kataku tanpa menatap Vivi.

Vivi bangkit dan mengusap air matanya. Dia melangkahkan kaki meninggalkan kami. Ketika Vivi menghilang dari balik pintu, tangisku tak terbendung. Pak Ihsan menggenggam tanganku, menguatkan diri yang tengah rapuh ini.

***

Sekarang joging menjadi rutinitas pagiku. Dulu yang biasanya memasak, mencuci piring, nyuci baju, sekarang benar- benar terasa santai sekali.

Aku menjalani diet karbo, yang intinya tidak makan karbohidrat. Melakukan berbagai perawatan tubuh, skincare, dan lain- lain.

Sebulan sudah aku bercerai dengan mas Danil. Kalau kata Syifa, ada banyak perubahan pada diriku. Berat badan yang dulu mencapai 60 kilogram, sekarang 45 kilogram. Duli wajah kusam, sekarang glowing.

Memakai baju modis pun aku sangat percaya diri. Banyak sekali lelaki yang mendekatiku, namun aku tidak pernah meladeni mereka. Tentu saja karena aku masih trauma dengan lelaki.

"Diana. Hari ini ada jadwal ke lapangan, ayo berangkat sekarang" kata pak Ihsan yang tiba- tiba muncul.

"Baik pak"

Pak Ihsan selalu nampak rapi dengan mengenakan setelan jas. Benar- benar mengenakan pakaian formal, tapi itu benar- benar menambah ketampannya, wlaupun usianya sudah bukan abege lagi.

Ish ish ish, apa yang kamu fikirkan Diana? Rutukku dalam hati. Aku bangkit dan mengikuti pak Ihsan. Kami berjalan keluar kantor menuju ke parkiran. Kami masuk ke dalam mobil milik pak Ihsan. Mobilpun melaju meninggalkan perusahaan.

Sepanjang perjalanan, aku menatap keluar jendela. Menikmati pemandangan di luar sana. Namun tiba- tiba mobil berhenti di depan sebuah rumah yang sangat mewah,bak istana. Gerbang terbuka, mobil pak Ihsan masuk ke dalam. Pak Ihsan mengajakku keluar dari mobil dan menggandengku masuk ke dalam rumah tersebut.

Sebenarnya, mau kemana ini?

#bersumbang😁

Kritik dan saran saya tunggu.

Sebuah cinta untuk DianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang