Part 7 Kesempatan dalam kesempitan

286 64 141
                                    

Seperti yang diterangkan Bu Yati kemarin, Amanda dan Gibran harus ke laboratorium untuk mempelajari materi olimpiade. Amanda melangkah sendirian di koridor kelas sepuluh menuju lab. Sebelum masuk, ia mencari-cari Gibran di kelasnya, tetapi sayangnya, dia sudah tidak ada di sana.

Amanda menghela napas dengan berat. "Gini banget, ya ngejar Gibran," batinnya. Dengan langkah lesu, Amanda menuju ruang lab. Senyumnya mengembang saat melihat Gibran serius mengerjakan soal. Tanpa menunggu lama di depan pintu, Amanda masuk dan menghampiri cowok tersebut.

"Siang, Gibran," sapa Amanda. Gibran melirik sebentar, lalu fokus kembali pada soalnya.

"Hm, seperti biasa, gue dicuekin lagi," lirih Amanda. Meski menyadari resikonya menyukai cowok berhati dingin, kepercayaan dirinya untuk mendapatkan Gibran semakin bertambah. Ia tahu ini adalah proses meluluhkan hati yang perlu kesabaran.

"Lo, lagi sibuk ngerjain apa?" tanya Amanda dengan senyuman lembut.

Gibran tanpa banyak bicara, langsung menyodorkan beberapa kertas soal Fisika padanya.

"Kerjain!" desak Gibran. Meski agak malas, Amanda mulai mengerjakan soal-soal tersebut. Bagi banyak orang, soal Fisika mungkin membuat mereka pusing tujuh keliling, tapi tidak bagi Amanda.

Setelah sekitar satu jam berkutat dengan soal, Amanda merapikan kertas-kertas itu dan mengumpulkannya di meja. Matanya terarah pada Gibran yang masih asyik dengan soal-soalnya.

"Itu, jawabannya A," ujar Amanda dengan senyuman lembut. Gibran melirik sebentar, lalu kembali fokus pada tumpukan soal di depannya.

"Gue tahu," jawab Gibran. Amanda hanya tersenyum menanggapinya. Gibran akhirnya telah menyelesaikan soal-soalnya, kemudian ia merapikan kembali kertas-kertas tersebut untuk di simpan di atas meja. 

"Gibran, pulang sama gue, ya!" seru Amanda. Gadis itu sengaja tidak membawa motornya, mengharap bisa dibonceng oleh Gibran.

"Gak." Jawaban singkat Gibran menghentikan harapan Amanda.

"Ih, mau dong, Gibran," ucap Amanda dengan nada manja. Namun, kali ini Gibran tak memberikan respons, melangkah cepat keluar dari ruang lab, meninggalkan Amanda yang terdiam.

"Gini amat ya hidup gue," keluh Amanda. Tanpa ragu, langkahnya berusaha menyamai langkah Gibran.

"Ayo, Gibran. Kali ini aja," pinta Amanda dengan suara lembut, merayu dengan penuh kelembutan agar Gibran mau mengantarnya pulang. Namun, jawabannya tetap tak berubah.

Kini, Gibran dan Amanda berada di parkiran sekolah. Meski Amanda merengek agar diantarkan pulang, Gibran tetap tanpa ucapan.

Gibran naik ke atas motornya, acuh tak acuh terhadap Amanda di sisinya. Ia menyalakan motor dan memacunya keluar dari gerbang sekolah. Amanda merasa tidak percaya dengan tindakan Gibran yang meninggalkannya di sekolah sendirian. Bagaimana bisa cowok itu meninggalkan gadis cantik tanpa sepatah kata?

Amanda kesal bukan main, melirik jam tangannya sebentar kemudian menghela napas kasar. Sekarang jam menunjukkan pukul empat sore. Tanpa membawa motornya, gadis itu menghentakkan kakinya malas, berjalan menuju gerbang sekolah. Jalan raya yang sepi membuat Amanda merasa takut. Ia berdiri sendirian di depan gerbang, sementara guru-guru sudah pulang.

Amanda mengeluarkan ponsel dari hoodie yang ia pakai, menyalakannya, tetapi baterai ponselnya habis. Saat ini, dengan baterai habis, bagaimana ia akan pulang?

Amanda harus mencari pertolongan di mana saat jam segini?

Karena bingung harus melakukan apa, Amanda berniat berjalan kaki menuju rumahnya, padahal jaraknya cukup jauh. Tidak mungkin Amanda berjalan sejauh itu, kan?

GIBRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang