Kepada yang Terakhir

104 1 0
                                    

"Aku berharap kamu bukan menjadi yang pertama, tetapi juga yang terakhir."

Hampir sama dengan diary yang dia punya, perlahan dia mengambil dan membukanya. Betapa terkejutnya dia.

Ryan membuka lembar pertama, berisi foto-foto Salma dengan cadarnya. Dan biodatanya entah kenapa kelahiran Yogyakarta bukan Surabaya. Ryan mulai penasaran. Dia membaca perlahan karena takut membuat orang-orang lain tau bahwa buku yang ia sedang baca punya orang lain.

Kemudian, lembar kedua. Ada sebuah surat yang di lepit di dalam amplop putih bertulis. "Sahabatku, maafkan aku." Ryan mulai membuka dan membacanya perlahan.

"sahabatku, aku sebenarnya sudah menunggu lama akan ungkapanmu yang sebenarnya dan keberanianmu datang ke rumahku. Tetapi, hal itu urung terjadi. Mengapa? Dari sikapmu membuatku merasa yakin kalau kau lah pilihanku. Tetapi kenapa engkau menggantung perasaan ini? Perbuatanmu yang meyakinkanku. Tetapi, ungkapanmu tak kunjung datang.

Maafkan aku juga aku sengaja menulisnya di diaryku, aku ingin semua aku tumpahkan di dalamnya untukmu. Aku sudah tau kalau kau sebenarnya benar-benar mencintaiku, engkau rela mendengarkan ceritaku saat masa dimana dulu aku berpacaran, suka dengan seorang pria, hingga calon suamiku. Engkau begitu tegar menahannya meski aku tau sekarang bagaimana engkau merasakannya.

Aku minta maaf, sepertinya aku sebentar lagi akan meninggalkanmu pangeranku. Maafkan aku."

Air mata Ryan meleleh, apa jangan-jangan Salma itu Salwa? Bagaimana bisa ini terjadi? Semakin deras air matanya meleleh.

Ryan mengebet-ngebet diary itu, ia panik dengan penggalan kalimat terakhir. Dan apa yang sebenarnya terjadi dengan Salma. Di bagian belakang buku ada selembar resep Dokter, kebetulan Ryan tau alamat rumah sakit itu yang tak jauh dari Kampusnya. Ia pun bergegas.

"Selamat siang Suster, apa Suster tau nama Pasien yang bernama ini?" Sambil menyodorkan nama Salma.

"Tau Mas, Mas ini siapanya ya kalo boleh tau?"

"Di kamar berapa Sus?" Potong Ryan tak menggubris.

"Di.. di kamar operasi mas!" gelagap.

"Operasi? Operasi? Apa yang dialami Salma? Kenapa Salma selama ini terlihat tegar di depanku?" ucapnya dalam hati.

Ruang Operasi, sekitar dua puluh Meter dari tempat informasi, dua kali belok kanan dan lurus. Sampai.

"Dok.. Dok, mau nanya Pasien yang bernama Salma sedang berada dimana ya? Apa dia sudah dioperasi dok?"

"Anda ini siapanya? Dia sudah di operasi tapi..."

"Tapi apa dok?" Ryan gemetar. "Tapi apa Dok, jawab!!!" Bentak Ryan.

"Tapi gagal Mas, sekarang kondisinya sangat kritis di kamar itu." Sambil menunjuk kamar nomor enam.

Brakk.. suara Ryan membuka pintu.

Betapa kagetnya Ryan bahwa Salma itu adalah Salwa. Salwa yang sudah lemah terbaring di kasur. Dengan selang yang menancap dihidung dan alat-alat kedokteran lain. Tragis, hanya Shirin yang ada di dalam, sahabat dekatnya di kampus.

Salwa terdiam membisu, di pembaringannya.

"Sal.. Salwa???"

"Apa yang terjadi dengan Salwa? Sakit apa dia Rin? Jawab!"

"Jadi kamu sudah tau kalau dia Salwa Yan? Dia sakit Tumor Ganas Yan, operasinya gagal. Aku sudah membujuknya untuk dibawa pulang dan menghubungi orang tuanya tetapi Salwa tidak mau, aku pasrah Yan dia sangat keras kepala." Air mata Shirin mengalir di pipinya.

"Ya aku sudah menduganya, dan dugaanku itu benar, Kenapa kamu nggak ngasih tau aku kalau Salwa sakit seperti ini? Kenapa juga Salwa menyamar menjadi Salma selama ini?" Marah Ryan.

"It.. itu.."

"Itu mau aku Yan, maafkan aku." Salwa memotong. Dengan beratnya dia membuka matanya.

"Benar aku sakit, aku tak mau menyusahkan semua orang yang sedang mencariku. Aku sengaja melakukan semua ini, karena aku ingin penjelasan tentang perasaan ini. Kamu selalu mengelak untuk jujur, dan sekarang alhamdulillah aku sudah tau semuanya. Kamu bisa jujur juga ke Salma. Aku bersyukur atas itu. Hijab ini bukan hanya untuk penyamaran kok Yan, Terima kasih karena kamu telah menuntunku untuk berhijab, hingga membuatku istiqomah."

"Yan aku minta maaf selama ini sudah merepotkan kamu, dan juga semua keluargaku. Bilang ke calon suamiku, maafkan aku, aku tidak mencintainya. Sedangkan, yang aku cintai hanya Ryan. Sejak aku putus dengan Adi dan aku dijodohkan dengan Mas Andri aku tak punya pilihan untuk menjalani hubungan karena tak mau mengecewakan orang tuaku, saat-saat itu aku terus memikirkanmu Yan, aku ragu apa aku harus terus menunggumu atau tidak, maka dari itu aku melakukan semua ini. Maafkan aku yang sudah membohongimu. Dan sekarang aku tau Yan, Dan sekali lagi maafkan aku yang sudah mengecewakanmu dan pernah mengataimu "PENGECUT" dan menamparmu saat itu, karena kebutaanku akan cinta."

"Iya Sal aku sudah memaafkanmu sejak lama." Mata Ryan berkaca-kaca.

"Terima kasih. Satu hal lagi Yan, terima kasih atas baju olahragamu dulu meski sedikit kebesaran." Senyum manis Salwa "Dan aku ingin kepergianku ini di setting seperti halnya kecelakaan itu. Aku mohon sekali yan, Rin jangan sampai yang lain tau, aku takut mereka tidak merelakan kepergianku nantinya."

"Nggak sal, kamu pasti sembuh. Kita akan cari Rumah Sakit lain untuk mengobatimu. Aku yakin kamu pasti sembuh!"

"Tidak usah yan, kita memang tak bersama di dunia Yan, semoga kelak nanti di akhirat kita bisa bersama. Yan tolong, penjemputku sudah sampai. Tolong tuntun aku mengucapkan dua kalimat suci Yan." Suara salwa tersedak sedak, Shirin menutup mukanya meloloskan pandangannya dari sela-sela jarinya.

"Sal.. nggak Sal."

"Yan." Salwa mengangguk.

"La ilaha illallah waasyhadu anna muhammada rasulullah." Ryan membacakannya di telinga salwa dengan suara merintih.

"La ilaha illallah waasyhadu anna muhammada rasulullah." Salwa mengikutinya perlahan-lahan.

Itulah kisah Ryan dengan Salwa, bagaimana cinta itu berkembang mengikuti kata hati. Ia wanita yang selalu membuatnya kuat, ialah wanita yang membangkitkan semangat hidupnya. Salwa mengajarkan bagaimana menghargai suatu penantian, menghargai hati wanita, pengorbanan. Ia berjanji akan selalu mengenangmu dalam hari harinya, terima kasih atas segalanya.

"Semua kejadian ini sudah ku jadikan buku Sal, engkau yang abadi dalam hati hingga pergilah pedih perih di dalam hati. Ini membuatku jadi tidak akan lupa akan engkau meski kau tak ada di sampingku tetapi engkau akan selalu terasa di sisiku!" Ryan dalam hati.

Tak semua cinta itu harus diikat oleh suatu status, biarlah dia berjalan sampai kepada tempatnya untuk singgah. Mencintai dalam diam lebih baik karena kita hanya bergantung kepada zat yang memberikan cinta. Akan lebih baik merelakan orang yang kita sayang daripada harus mengikat dan menyakitinya.

Usai.

Mencintai Dalam Diam (CERPEN)Where stories live. Discover now