Awal Pertemuan
Lelah sekali hari ini, karena mobil pick up yang biasa membawa kami pulang pergi ke sekolah tidak juga datang. Akhirnya kami memilih untuk jalan kaki. Jarak yang kami tempuh kurang lebih satu kilometer. Ditambah cuaca sangat panas hari ini. Membuat nafas kian terengah-engah.
Aku–Kirana Raihan Dini– duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Saat ini sudah kelas dua belas dan sebentar lagi akan UN.
Selain sekolah, aku juga ngaji kitab di majelis.
Namun, jika sudah malam, aku pulang ke rumah. Kebetulan Majelis dekat dengan tempat tinggalku, hanya selisih beberapa rumah saja. Jadi dengan leluasa aku bisa mondar mandir.
Aku memiliki empat orang sahabat mereka bernama Nana, Titin, Rizka dan Qomah. Kami selalu bersama ke mana pun, karena memang di Majelis, murid putri hanya ada kami berlima.
Qomah satu sekolah denganku di SMA (Aliyah). Awalnya kami tidak begitu dekat. Namun, saat pembagian kelas 12, nama kami disebutkan di kelas 12 IPS 2. Dia mengajakku untuk duduk bersama. Itulah awal mula kami mulai dekat baik di SMA maupun di Majelis.
Setelah pulang sekolah biasanya mereka berempat akan singgah lebih dulu ke rumahku. Sebelum akhirnya kami ke Majelis.
Kegiatan Majelis di siang hari, biasannya hanya bantu-bantu Umi masak dan beres-beres Majelis. Karena sorenya akan digunakan untuk anak-anak TPQ.
Anak-anak TPQ sendiri, terdiri dari beberapa kelas. Untuk yang masih Jilid (Iqra) terdiri dari 6 kelas. Setelah selesai jilid akhir akan naik kelas jadi kelas Al-Qur'an. Nah, setelah tamat Al-Qur'an, di wisuda-lah anak-anak TPQ itu.
Setelah wisuda biasanya ada yang melanjutkan mengaji kitab. Ada juga yang tidak melanjutkan sama sekali. Seperti aku, dulu sewaktu diwisuda Khotmil Qur'an, ada 34 orang. Namun, yang lanjut mengaji kitab hanya beberapa orang saja.
Kegiatan yang menurut kami sangat menyenangkan. Kami bisa belajar memasak dan belajar membuat aneka kue bersama Umi. Mendengarkan Umi ketika beliau sedang memberikan petuah untuk kami.
Kami tidak merasa ada di Majelis, melainkan merasa ada di rumah sendiri. Karena saking nyamannya dekat dengan Umi.
Menjelang ashar, kami pulang untuk mandi. Karena kami masih ada kelas sore. Biasanya dari sore itu, kami lanjut hingga malam. Jika Abah sedang senggang waktunya, bisa sampai jam setengah sepuluh.
Namun, jika Abah sedang banyak tamu, biasanya digantikan dengan Akang senior yang mengajar.
Sore ini, Abah tidak bisa mengajar. Rupanya sedang ada tamu Habib Kondang dari salah satu kota ternama, yang akan mengisi ceramah di Majelis saat acara Khotmil Qur'an dua bulan yang akan datang. Akang yang biasa menggantikan abah pun turut serta bersama dengan Abah. Alhasil ngaji pun diliburkan.
Para murid Putra berkumpul di depan Majelis, sambil sesekali ada yang memainkan rebana. Ada pula yang bersenandung sholawat. Bahkan, ada juga yang sibuk dengan gawainya.
Kami berlima duduk di halaman rumah Titin. Ya, rumah Titin memang bersebelahan persis dengan Majelis. Bahkan, pintu belakangnya pun menyambung langsung ke Majelis. Karena memang Titin dan Rizka masih keluarga besar pemilik Majelis ini.***
Malam minggu ini, kami nikmati dengan mendengarkan lagu yang lagi booming saat ini. Lagu miliknya Rossa yang berjudul 'Hati Yang Kau Sakiti' sembari makan jajanan.
"Hai! Makan enggak bagi-bagi," sapa dua orang laki-laki yang sekarang sudah bergabung bersama kami berlima.
Mereka Ikhsan dan Dimas, kakak-beradik. Salah satu murid yang tinggal di majelis. Mereka yatim, karena Ayah mereka meninggal saat mereka masih kecil, begitu yang aku tahu.
Abah sangat menyayangi mereka. Keluarga mereka bisa di bilang cukup susah, bahkan gawai saja hanya punya satu untuk berkomunikasi dengan ibunya. Ibu kandung mereka sedang mengais rezeki di kota.
"Untuk tahun ini, kita bakal bawain drama apa, ya? Belum ada persiapan sama sekali, nih," keluh Dimas kepada kami semua.
"Kita sih, sudah ada rencana, Mas. Mau buat drama Ratu Bilqis dan burung gagak. Tapi itu masih rencana. Cari-cari yang lain lagi, kalau sudah mentok ya di jadikan saja itu drama. Iya enggak, Ran," sahut Nana lalu menoleh ke arahku.
"Eh iya, Mas. Masih rencana, sih. Belum nyusun pemerannya juga. Nanti kalau sudah fix, baru kita susun pemeran. Propertinya kira-kira ada usulan lain, gak?" tanyaku kepada mereka semua.
"Enggak ada, Ran. Sudah itu saja enggak apa-apa. Lagi pula, waktunya juga sebentar lagi. Takut enggak keburu. Jadi kita manfaatin waktu dari sekarang saja buat persiapan."
Cukup lama kami ngobrol membahas ini dan itu untuk persiapan Khotmil Qur'an dua bulan mendatang. Karena sudah menjadi hal yang wajib saat Khotmil Qur'an, kami selalu memberi suguhan drama islami untuk menghibur anak-anak yang diwisuda. Sebelum hal yang menegangkan tiba, yaitu sesi tanya jawab antara anak-anak yang diwisuda dan Abah Kyai dari salah satu kota ternama.***
Tidak terasa malam kian larut. Sebuah panggilan masuk di gawai. Panggilan dari Mama.
"Assalamu'alaikum, Mah. Sebentar lagi Kirana pulang."
[Wa'alaikumsalam. Ya sudah, cepet pulangnya. Sudah malam, enggak baik anak gadis malam-malam masih di luar.] Lalu Mama mengakhiri teleponku.
Begitulah Mama. Mungkin semua orang tua akan sama, pukul sembilan malam anak gadisnya harus sudah di rumah.
Namun, saat Abah over time memberi kajian, Mama akan tahu. Karena Abah menggunakan pengeras suara.
Namun, tidak untuk kali ini. Mama tidak mendengar pengeras suara dari Majelis, maka itu Mama telepon. Takut ngajinya sudah selesai dan aku masih main. Meskipun tidak seperti toa di masjid, tapi akan terdengar sampai rumahku, karena jarak yang sangat dekat.
"Aduuh. Ternyata sudah jam setengah sebelas. Pantas saja Mamaku telepon. Gimana dong? Sudah malem gini, aku enggak berani pulang sendirian. Anterin yuuk," pintaku kepada Nana.
"Aaah. Enggak berani, Ran. Serem tahu. Di pekarangan dekat rumah kamu itu. Sudah malam banget soalnya," jawab Nana diikuti keempat sahabatku.
Nana dan Qomah, mereka biasa pulang bersama karena rumah mereka berdekatan.
Titin dan Rizka pun menolak mengantarku pulang, karena mereka takut pada bagian depan dan samping rumahku yang terdapat pekarangan kosong. Karena, tak jarang ada makhluk tak kasat mata menampakan diri di area itu.
Saat aku bingung dan akan memilih telepon Mama untuk menjemput, Mas Dimas langsung memberikan tawaran untuk mengantarku pulang.
"Ayo, Ran. Mas antar," ajak Mas Dimas padaku saat itu.
Aku yang takut akan semakin malam, juga takut Mama marah. Aku pun langsung mengiakan tawaran mas Dimas.
"Beneran, Mas?" tanyaku ragu.
"Beneran, lah. Yuk, San, kita anterin Kirana," kata Mas Dimas mengajak Ikhsan.
"Iya, Mas. Enggak merepotkan, kan?" tanyaku lagi."Enggaaaak. Santai saja kenapa, sih. Hehehe."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Rahasia Tuhan
RomanceBenar memang kalau jodoh itu Rahasia Tuhan, seerat apapun kita menggenggamnya jika memang bukan jodoh kita, maka kita tidak akan pernah bersatu. Kini aku sadar kalau cinta tidak harus memiliki. Aku dan kamu pernah menjadi satu namun, semua hanya tin...