Part 8

6 1 0
                                    


Alhamdulilah acara berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan suatu apapun, semua mengikutinya dengan khidmat.

Setelah acara selesai, kita sambung dengan makan nasi kuning dan berbagai jenis olahan kue basah. Aneka buah juga sudah disediakan.

Suasana yang tadinya tidak begitu ramai, mendadak menjadi riuh. Saat Ikhsan dengan tanpa basa basi meledek Mas Dimas yang sedari tadi acara belum dimulai sudah salah tingkah.

"Mas Dimas. Sudah ungkapin sekarang saja, mumpung kita semua masih pada kumpul. Jadi kan, kita bisa jadi saksi bersatunya dua insan yang sedang kasmaran," seru Ikhsan dengan semangat empat lima.

"Huus! Apaan sih kamu, San. Jangan bikin malu gitu dong," jawab Mas Dimas dengan wajah yang memerah.

Suasana semakin hangat dengan candaan yang kerap kali Ikhsan bawakan. Memang Ikhsan itu humoris dan juga tidak baperan.

Tidak berapa lama setelah menikmati hidangan, sebagian anak-anak hadroh berpamit untuk pulang. Karena sudah hampir jam setengah sepuluh malam.

****

Tinggallah kami berenam yang masih asik ngobrol dan membereskan peralatan makan untuk dicuci.

Keempat sahabatku, mereka seperti tidak ada lelahnya. Mereka dengan senang hati membantu Mama untuk membereskan semuanya termasuk cuci piring. Aku bersyukur dan beruntung memiliki sahabat seperti kalian.

Kulihat Ikhsan sedang membantu Nana untuk menggulung tikar dan menyapu lantai. Sedangkan ketiga sahabatku, mereka di dapur.

Saat aku sedang memungut gelas plastik untuk memasukan kedalam tempat sampah, tiba-tiba aku dikagetkan dengan tepukan pelan dipundakku. Ya, itu tangan Mas Dimas yang menepuk pelan pundakku.

Karena kaget, aku pun langsung balik badan setengah berdiri dan menghadapnya.

"Ran, ke depan sebentar, yuk? Nanti setelah mereka semua udah pada selesai mau ngobrol sebentar, bisa kan? tanya Mas Dimas.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum tanda setuju.

Akhirnya kami ke depan, duduk di teras depan. Setelah sahabatku dan Ikhsan sudah selesai membantu mama.

"Ran, apa kamu sudah punya jawaban untuk Mas?" tanya Mas Dimas dengan serius.

"Mas, sangat menantikan saat-saat seperti ini. Mas harap kamu akan menjawabnya malam ini," lanjut Mas Dimas.

Sejenak aku tertegun melihat sorot matanya yang begitu tulus menanti sebuah jawaban dariku. Aku kagum dengan keberaniannya.

Sesaat aku tarik nafas dalam untuk mengambil angin segar, karena sedari tadi rasanya aku sesak nafas mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Mas Dimas.

Kuletakan kedua tanganku di atas meja yang membatasi kami bertujuh duduk. Dengan jari-jari yang memainkan meja.

Aku hanya tersenyum kecil melihat pemandangan yang ada di depan mata. Hati dan raga ini seakan kompak untuk tidak menolak apa yang Mas Dimas katakan.

"Mas sayang sama kamu, Ran. Apa kamu tidak melihat ketulusan di mata Mas, Ran?" kembali Mas Dimas bertanya.

"Mas... a–aku, Aku juga sayang sama Mas Dimas," jawabku dengan hati yang tidak kalah berdebarnya.

Mas Dimas langsung berdiri, sejenak aku bingung apa yang akan dilakukan Mas Dimas. Ternyata dia berjalan ke depanku dan teman-temanku untuk melakukan sujud syukur.

"Terimakasih, Ran. Terimakasih," hanya itu yang terus saja terucap dari bibir tipis Mas Dimas.

Lagi dan lagi aku hanya tersenyum melihat apa yang mas Dimas lakukan.

"Sudah lama sekali Mas menunggu jawaban ini dari kamu, Ran. Akhirnya malam ini penantian Mas terbalas sudah. Mas janji akan setia dan selalu menjaga kamu, sayang," lanjut Mas Dimas.

"Mas. Makasih, ya. Sudah setia nungguin jawaban dari aku. Makasih juga sudah mau menerima semua kekuranganku," jawabku.

"Sama-sama, sayang. Bolehkan Mas panggil kamu sayang mulai detik ini?" tanya Mas Dimas.

Aku pun terhanyut dalam suasana yang hangat ini, merasakan debaran jantungnya yang mungkin seirama dengan dengan debaran jantungku.

Karena terhanyut dalam suasana yang indah, kami lupa ada beberapa pasang mata yang memperhatikan kami. Ya, meraka ketiga sahabatku dan Ikhsan.

"Ciee, ciee, ciee... Ada yang jadian nih, selamat yah buat kalian berdua. Semoga langgeng, aamiin," kata Rizka diikuti mereka sahabatku.

Aku dan Mas Dimas hanya tersenyum tersipu malu karena kami lupa ada mereka juga di sini.

Akhirnya Mas Dimas dan semuanya, mereka pulang ke rumah masing-masing karena hari sudah mulai larut malam. Sudah menunjukan pukul sepuluh lebih lima belas menit. Mas Dimas dan Ikhsan pun akhirnya pulang ke rumah sendiri, karena mau balik ke Majelis tidak enak sudah terlalu malam.

Malam ini sungguh malam yang indah, malam yang akan sulit sekali untuk dilupakan. Kelak akan aku ceritakan kapada anak dan cucuku bagaimana rasanya saat dua insan yang sedang dilanda cinta itu kini menyatu. Angin pun seakan ikut merasakan kebahagiaan kami.

****

Adzan subuh berkumandang, alarm bagi kami umat muslim telah berbunyi. Tandanya kami harus segera bangun dan menunaikan kewajiban.

[Sudah bangun, sayang? Subuhan di Majelis, yuk. Mas jemput. Sekarang Mas sama Ikhsan sudah di depan rumah kamu, nih] Pesan masuk dari Mas Dimas langsung mengusir kantukku.

[Tunggu ya, Mas. Aku ke kamar mandi dulu terus siap-siap] Balasku.

[Oke, sayang]

Aku pun dengan semangat empat lima beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Semua kantuk seakan sirna.

"Ma, Kirana solat subuh di Majelis, ya. Terus paling nanti langsung tadarus. Selesai tadarus mau jalan pagi sama teman-teman," pamitku pada Mama yang sedang sibuk membuat kopi untuk Papa.

"Iya, Ran. Nanti pulang jalan pagi. Mama nitip bubur ayam di tempat biasa. Kalau Kirana enggak lupa," pinta mama.

"Siap, Ma. Ya sudah, Kirana berangkat dulu. Takut solatnya ketinggalan," jawabku sambil mencium punggung tangan Mama.

Aku pun berlalu meninggalkan Mama dan  Papa di dapur.

"Mas, Ikhsan, Maaf lama, yah?" tanyaku pada mereka.

"Enggak, Ran. Santai saja. Lagian di Majelis kan kamu tahu sendiri, emang suka lama iqomahnya," jawab Mas Dimas.

"Santai, Ran. Di majelis-kan emang suka lama ini iqomahnya kamu kayak enggak tau saja. Oh iya, Maya enggak ikut, Ran?" tanya Ikhsan.

"Enggak, San. Tadi sempat kuajak tapi katanya mau sholat subuh di rumah saja," jawabku.

Kami berjalan bertiga menuju rumah Allah, menjalankan ibadah yang menjadi pondasi utama umat muslim. Sejuknya pagi ini menambah syahdu saat bersamanya dalam menggapai ridho illahi.

"Ran. Eemmm kamu sudah wudhu?" tanya mas Dimas.

"Sudah, Mas. Tadi kan aku bilang pas mau ke kamar mandi, biar wudhu sekalian," jawabku.

"Oh, iya. Mas mendadak amnesia, karena dalam memori Mas, cuma ada kamu seorang," jawabnya sambil tersenyum.

"Eeem ... jadi enggak bisa dekat kamu, Ran. Kangen Mas, tuh," lanjut Mas Dimas berbisik ke telingaku.

"Idiiih, kangen. Tiap hari kan ketemu. Masa kangennya enggak hilang-hilang, sih?"

"Woy! Ada aku, nih. Inget, woy! Pakai kangen-kangem segala. Haram! Haram! Belum muhrim jangan pakai kangen-kangenan dulu. Sudah, buruan masuk. Ketahuan Abah tahu rasa," seru Ikhsan lalu menarik lengan Mas Dimas agar segera masuk ke Majlis.

Aku hanya tersenyum melihat tingkah lucu mereka berdua.

Akhirnya kami pun berpisah di depan pintu masuk majelis. Sambil Mas Dimas megacak pucak kepalaku yang sudah tertutup oleh mukenah.

Jodoh Rahasia TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang