Pov DimasNamaku Dimas Fadillah, aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak perempuanku sudah menikah dan sekarang tinggal bersama suaminya. Adikku bernama Ikhsan Permana, aku dan Ikhsan hanya selisih dua tahun, banyak yang bilang, kami seperti anak kembar. Bak pinang dibelah dua.
Keseharianku bersama Ikhsan di Majelis karena diberikan amanah Abah untuk bersih-bersih majelis. Sesekali pulang ke rumah jika ada yang diperlukan. Awalnya aku tidak menginap di Majelis, hanya mengaji Kitab biasa kelas sore. Tapi Abah meminta kami untuk tidur di Majelis, agar Majelis ramai dan ada yang bersih-bersih. Jadi dengan senang hati aku dan Ikhsan menerima tawaran Abah. Karena kita akan lebih khusyuk lagi dalam beribadah, sholat malam dan membaca Al-Qur'an tentunya.
Di Majelis, memang belum ramai. Hanya ada beberapa orang saja. Hanya kelas sore saja yang ramai, tapi yang menginap hanya beberapa orang saja.
***
Kirana Raihan Dini. Gadis yang selama ini mampu mendebarkan hatiku. Kirana gadis sederhana yang sangat lembut, manis juga ceria. Sudah lama aku memiliki perasaan yang berbeda jika melihat Kirana.
Kirana termasuk anak yang aktif di Majelis meskipun tidak menginap. Itu karena rumahnya lumayan dekat. Tepatnya di belakang Majelis. Jadi dia leluasa pulang pergi jika mengaji.
Aku memang tidak dekat dengan Kirana, hanya sekedar menyapa jika memang tidak sengaja berpapasan. Berbeda dengan Ikhsan–adikku. Dia lumayan dekat dengan Kirana. Bahkan sering juga aku jumpai Ikhsan sedang ngobrol bersama Kirana dan teman-temannya.
Suatu hari, Ikhsan berbicara soal Kirana kepadaku. Dia memuji kecantikannya yang aku pun mengakuinya.
"Mas. Kirana cantik yah, Mas. Kalem, lembut, ceria. Ah apalagi kalau lihat dia senyum, serasa ada yang bergetar di dalam sana," kata Ikhsan dengan senyum-senyum sendiri.
"Hus. Kamu tuh apa-apaan, sih. Enggak boleh ngelangkahin, Mas. Lagian kamu juga kan udah punya Nana. Ngapain juga puji-puji Kirana kayak gitu," jawabku kesal.
"Iiih. Cemburu ya, Mas? Ternyata kita mengagumi orang yang sama, hehehe. Tapi tenang saja, Mas. Aku setia sama Nana kok, Mas," lanjut Ikhsan.
Aku hanya tersenyum mendengar omongan Ikhsan. Wajah ayu Kirana selalu terbayang di mata. Ah Kirana, semoga Allah menyatukan kita. Walaupun aku tidak yakin kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku.
***
Malam ini Abah kedatangan tamu Habib Kondang dari kota yang akan mengisi acara khotmil Qur'an dua bulan yang akan datang. Alhasil, malam ini ngaji diliburkan.
Kulihat Kirana dan empat orang sahabatnya dengan asik menikmati cemilan dan mendengarkan lagu-lagu yang sedang hits saat ini, kalau tidak salah lagu miliknya Rossa yang berjudul 'Hati Yang Kau Sakiti'.
Dengan perasaan yang tidak menentu ini, kuberanikan diri mendekati mereka yang sedang sibuk. Entah apa yang mereka diskusikan. Ikhsan pun sudah tidak sabar mendekati mereka, karena ada sang pujaan hatinya di sana.
Ya, Ikhsan dan Nana memang dekat. Mereka saling suka, tapi mereka tidak berani untuk saling mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain.
Aku dan Ikhsan pun menghampiri mereka, bergabung dengan mereka yang sedang serius membahas sesuatu.
"Hai. Makan kok, enggak bagi-bagi. Lagi pada ngapain sih serius banget?" tanyaku kepada mereka.
"Ini loh, Mas. Kita tuh lagi bahas drama yang bakal dipentaskan nanti saat khotmil Qur'an. Masih bingung, tapi sebenernya sudah ada opsi. Mau membawakan drama Ratu Bilqis dan burung gagak," jawab Nana.
Lama kita semua membahas ini dan itu untuk persiapan pentas drama. Tidak terasa malam kian larut. Hingga ponsel Kirana berdering, ternyata panggilan masuk dari Mamanya.
[Assalamu'alaikum, Ma. Sebentar lagi Kirana pulang.]
Lalu Kirana pun mengakhiri telepon dari Mamanya. Kirana dengan wajah yang terlihat panik, tapi tetap cantik. Meminta untuk diantar pulang kepada teman-temannya. Terlihat dari wajahnya begitu berharap agar bisa diantar salah satu dari mereka supaya tidak pulang sendiri.
Rasa takut untuk pulang sendiri tergambar jelas di wajah Kirana, karena memang malam sudah kian larut. Di antara empat sahabatnya, mereka tidak ada yang bersedia mengantarkan Kirana pulang karena berdalih takut.
Aku yang menyadari akan hal itu, tidak menunggu lama langsung menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Tidak disangka, Kirana langsung mengiakan tawaranku, karena mungkin takut Mamanya akan marah.
"Mas antar yuk, Ran. Mau enggak?" tanyaku pada Kirana.
Kirana terlihat ragu sambil memainkan ujung jilbabnya. Namun, pada akhirnya dia bersedia untuk kuantar.
"Ya sudah, Mas. Kalau tidak merepotkan," jawab Kirana.
Akhirnya aku dan Ikhsan mengantar Kirana pulang ke rumah. Memang dekat dari majelis. Namun, suasana yang minim dari pencahayaan dan masih banyak pekarangan kosong menambah suasana menjadi tampak seram. Pantas saja Kirana tidak berani pulang sendirian.
Di tengah perjalanan Ikhsan banyak sekali bercerita dan bertanya tentang Nana pada Kirana. Ikhsan terlihat sangat akrab dengan Kirana, berbeda denganku yang sangat canggung saat dekat begini dengan Kirana. Hingga aku memberanikan diri untuk meminta nomer Hp-nya.
"Ran, boleh Mas minta nomer Hp kamu?" tanyaku pada Kirana dengan sedikit keraguan, karena takut kirana menolak memberikan nomer Hpnya padaku.
"Untuk apa, Mas?" tanya Kirana.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin menyimpannya saja. Itu pun kalau boleh," lanjutku.
Tidak kusangka, Kirana memberikan nomer Hpnya kepadaku. Aku hanya meminta pada Tuhan untuk malam ini, jangan biarkan Kirana mendengarkan debar jantungku yang kian berdegup kencang di dalam sana. Sungguh perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Oh iya boleh, Mas," jawab Kirana sambil menyebutkan beberapa angka untuk aku catat.
Tidak terasa akhirnya kita sampai juga di depan rumah Kirana. Rumah yang cantik, tidak terlalu besar menurutku. Minimalis dan sangat elegan, sesuai dengan penghuninya yang saat ini tepat berada persis di depan mataku.
Berbeda jauh dengan rumahku, yang bahkan kamar mandinya pun terpisah jauh dari rumah. Mudah-mudahan nanti, jika aku sudah bekerja, bisa merapikan rumah sedikit demi sedikit. Agar lebih layak untuk ditempati.
"Mas, Ikhsan sudah sampai. Makasih ya, sudah mau nganterin aku," kata Kirana.
"Iya sama-sama. Kita seneng bisa nganterin kamu, Ran. Ya sudah masuk, kasihan Mama sudah menunggu," jawabku.
Aku bahagia malam ini, karena aku bisa dekat dengan seseorang yang selama ini aku kagumi. Mungkin ini juga salah satu rencana Tuhan, untuk membuatku lebih dekat dengan Kirana.
Terimakasih Tuhan, rencanamu sungguh indah. Dari pertemuan yang tidak sengaja ini, aku bisa lebih dekat dengan Kirana. Kumohon Tuhan satukan aku dengan Kirana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Rahasia Tuhan
RomanceBenar memang kalau jodoh itu Rahasia Tuhan, seerat apapun kita menggenggamnya jika memang bukan jodoh kita, maka kita tidak akan pernah bersatu. Kini aku sadar kalau cinta tidak harus memiliki. Aku dan kamu pernah menjadi satu namun, semua hanya tin...