Part 2

39 2 0
                                    


Akhirnya aku pulang di antar Mas Dimas dan Ikhsan. Memang rumahku tidak jauh dari Majelis. Namun, jarak dari rumah ke rumah tetangga lumayan jauh. Masih banyak pekarangan yang kosong dan ditumbuhi pepohonan, seperti pohon pisang dan buah lainnya.

Sepanjang perjalanan, Ikhsan banyak cerita. Iya, dia memang paling bisa membawa suasana. Ada saja ceritanya yang membuat kami tertawa.

"Ran, boleh Mas minta nomer hp kamu?" tanya Mas Dimas.

"Untuk apa, Mas?" Aku tanya balik.

Aku merasakan gugup bukan main. Jantung pun seakan hendak lepas dari tempatnya saking kagetnya Mas Dimas bertanya.

Entah perasaan seperti apa yang kurasakan saat ini. Baru kali ini aku merasakannya getaran-getaran di hati.

"Enggak apa-apa, Ran. Cuma pengen nyimpen saja. Itu pun kalau boleh,"  balas Mas Dimas lalu tertawa kecil.

"Boleh kok, Mas," jawabku lalu kusebutkan nomerku, Mas Dimas mencatatnya sambil sesekali mengulangi angka yang ditulisnya.

"Sudah sampai, Mas, San. Aku masuk dulu, ya. Makasih banyak sudah nganterin aku pulang."

"Iya, enggak apa-apa. Mas sama Ikhsan seneng bisa nganterin kamu. Ya sudah, cepetan masuk. Mama kamu sudah nunggu, tuh."

"Iya, Mas, Ikhsan. Pulangnya hati-hati ya."

"Sip."

Mas Dimas dan Ikhsan pun berlalu. Aku menatap kepergian mereka dari balik jendela, hingga punggung itu menghilang.

Malam ini aku merasakan ada sesuatu yang beda dengan diriku. Apa sebenarnya yang terjadi pada diri ini? Mungkinkah aku jatuh cinta dengan Mas Dimas? Aaah, buang jauh-jauh pikiran itu Kirana! Sebentar lagi ujian. Jangan berpikir yang bukan-bukan.

***

Tringting!

Sebuah pesan masuk dari nomer baru yang tidak kukenal. Tanpa menunggu lama, aku pun membuka pesan tersebut

[Selamat istirahat ya, Ran. Tidur, sudah malam. Semoga mimpi indah. Dimas]

Ya Tuhan, apa ini? Aku benar-benar dibuat insomnia olehnya. Perasaan apa ini yang berani mengganggu pikiranku.

[Iya, Mas. Makasih banyak, ya. Mas juga istirahat. Hp-nya disimpan, takut ada Abah atau pengawas majelis lewat] Kubalas pesan dari Mas Dimas.

Di Majelis, memang tidak diperbolehkan membawa Hp. Baik murid yang nginap di Majelis ataupun yang lajur, seperti aku ini.

Namun, memang kami membawanya. Dengan catatan, sambil diam-diam. Jikalau ketahuan oleh senior, sebenarnya tidak akan disita. Hanya saja, saat Abah mengajar nanti, kita bakalan disindir-sindir. Hal itu lebih membuat kami malu.

***

Entah aku tertidur jam berapa semalam, hingga akhirnya kesiangan sholat subuh. Pukul setengah enam baru saja bangun. Itu pun karena pintu kamar di gendor-gedor oleh Mama. Semalam sibuk berbalas pesan dengan Mas Dimas.

Usai sholat subuh, seperti Minggu biasanya, kami berlima akan jalan pagi. Pulangnya, beli nasi uduk dan dimakan di rumah Titin.

Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan anak-anak Putra. Di situ ada Mas Ikhsan, Mas Arif, Kang Dani dan Mas Dimas tentunya. Kami saling sapa, sampai akhirnya kita jalan bersama menikmati udara pagi.

Entah mengapa, ada rasa yang beda saat bertatap muka dengan Mas Dimas. Sejak berbalas pesan semalam, aku jadi semakin canggung.

Melihat senyum manis Mas Dimas, membuat hati bergetar. Senyumnya menunjukan giginya yang gingsul. Melihatnya, sudah cukup membuat kenyang perut pagi ini.

Jodoh Rahasia TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang