Theory XVI - Kembali

681 129 124
                                    

Baca Bismillah dulu.

happy reading •

•••

11 IPA 1, kelas dengan sebutan kelas unggul pada angkatannya, rata-rata mempunyai poin plus semua. Dijadikan standarisasi atau bahan perbandingan untuk kelas-kelas lain.

Menurut Theo, berada dalam ruang lingkup seperti ini sangat tidak pantas untuknya. Skill sebagai pemain basket juga tidak berarti apa-apa disini. Alasan piala-piala lomba literasi yang pernah ia raih menjadi jawaban mengapa ia bisa disandingkan dengan kumpulan anak emas.

Dari 30an siswa, dia kategori introvert. Tertutup dan dingin, cukup dengan 2 kata sudah mengekspresikan diri Theo.

Mapel olahraga adalah mata pelajaran yang ada sesudah istirahat kedua di kelas 11 IPA1. Theo yang sudah berubah kostum mengenakan baju olahraga berwarna putih dengan corak biru khas SMA AGPRA mulai memasuki lapangan dengan aura dingin versinya. Pikirannya suntuk sejak keluar dari ruang Bu Ratna tadi.

Beruntunglah dia karena jadwal pelajaran olahraga, setidaknya mampu merenggangkan otot syaraf yang sudah membentuk kata rumit.

Pemanasan dilakukan seperti biasa, Gaje yang berada di samping Theo terheran-heran melihat wajah kusut cowok tersebut.

"Emang sih Lo jarang banget ngomong, tapi muka Lo berkata ada beban yang membuat wajah tampan Theo berubah seperti beruang kutub," ujar Gaje sambil cekikikan di tempatnya.

Theo melirik tajam ke arah Gaje. "Kenapa diksinya harus beruang kutub?" tanya Theo dingin.

"Harfiah sih, dingin dan menyeramkan," jawab Gaje dengan kekehan yang di tahan.

Theo hanya menatap sinis dan tak membalas apapun. Mereka masih melanjutkan pemanasan di tempat sampai akhirnya Gaje kembali mengeluarkan suara.

"Banyak banget ya beban hidup Lo? Mukanya kusut terus, gak pernah disetrika gitu?" tanya Gaje sembari melakukan gerakan pemanasan otot kaki.

Theo mendesah napas pelan. "Kalau iya, Lo mau bantu ngurangin?"

"Ya pasti nggak dong! Adain giveaway aja, siapa tau Kak Tioz mau ikut. Kayaknya dia kekurangan beban hidup, senyum terus bawaannya," jawab Gaje lagi.

Theo berdecak, sebal. Candaan garing dari Gaje tidak membantu sama sekali, malah tambah mendukung kepalanya ingin meledak.

Kegiatan olahraga di lanjutkan, Pak Freddy menginstruksikan kelas mereka untuk berlari mengelilingi lapangan sebanyak 5 putaran. Theo dan Gaje berlari beriringan, begitu pula teman-teman mereka. Gerakan Theo perlahan memelan karena mendengar suara teriakkan dari arah kantin. Kebetulan kantin anak kelas sebelas terletak di dekat lapangan.

Theo bergegas menemui Pak Freddy dan meminta izin untuk pergi ke kantin. Ia tau betul suara siapa ini.

***

Ory masih histeris, sudah lama sekali ia tidak melihat hal-hal berbau badut. Coulrophobia yang ia alami dulu tak pernah terluang lagi. Namun, gambar di kertas itu langsung meloloskan ingatan tentag penculikan yang pernah ia alami sewaktu kecil.

Semuanya tampak menyeramkan sekarang. Keadaan kantin pun sudah di padati oleh siswa yang tak sengaja berlalu lalang. Opah yang melihat kondisi Ory, langsung menenangkannya, namun itu tak membantu sama sekali. Ory akhirnya terduduk lemas di tempatnya seraya memeluk lutut.

TheoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang