Aku sadar. Sangat sadar.

20 3 2
                                    

Aku cari

Bel pertanda pembelajaran sudah selesai terdengar nyaring. Buku-buku yang berserakan segera ku masukkan di tas. Sedangkan peralatan menulis, aku hanya membawa satu pulpen dan itupun hilang-hilangan.

Di luar mendung, aku mengurungkan niatku untuk menunggu jemputan di halte. Membuatku menunggu di koridor.

Awan yang mulanya mendung kini mengeluarkan rintikan-rintikan air. Aku menginjak lantai kesal. Pasalnya, kakakku tidak mengangkat telpon ku, sahabat ku yang katanya sibuk dan tidak bisa mengantarku pulang.

Mamak dingin!! Gak ada yang nyamperin jaket gitu?

Aku terkekeh geli saat mengharapkan sebuah jaket bersandar di pundakku.
Lelah berdiri, aku bersandar di tembok. Melihat hujan yang tak kunjung redah melainkan makin deras. Suara yang sangat tidak ingin ku dengar, terdengar.

Aku memegang kepala yang sedikit berdenyut saat mendengar suara guntur. Kebiasaan ku. Entahlah setiap mendengar guntur di tempat terbuka, pasti kepalaku akan pusing.

Sedangkan bisa di katakan, aku ini lumayan kuat dalam menahan sakit bahkan hanya dua kali masuk rumah sakit. Dan sangat drop.

Tiba-tiba ada jaket yang berada di depanku yang di sodorkan. Aku mengerjap beberapa kali lalu menoleh ke orang yang menyodorkan.

Dia melihat ku yang juga bersandar di tembok. Jarak kami begitu dekat dengan matanya yang sayu menatapku. Membuat jantung ingin melompat keluar dari tempatnya.

ANJIR GANTENG BANGET!!!!!!!

Aku melamun melihatnya dengan mulut yang sedikit terbuka. Ia tersenyum dan mengubah posisi nya membuatku tersadar dan canggung. Ia memakaikan jaketnya dengan terbalik, berlawanan dengan tubuhku.

"Ng-Ngapain?"

Ia mendongak, kembali membuat jarak di antara kami sedikit. Lalu kembali sibuk memakaikan jaketnya pada lenganku. Jujur, dengan jarak yang sedekat itu aku khawatir jika ia mendengar detak jantungku yang berdebar kencang.

Ia selesai memakaikan jaketnya, dengan aku yang masih berusaha menetralkan jantung dan wajah ku.

"Sekarang, ikut gue pulang."

"Ha? Gue udah mau di jemput."

"Masa?"

Ia mengambil ponsel ku yang berada di tas ku, membukanya, lalu memperlihatkan bekas panggilan yang tidak di angkat.

"Kakak lo gak angkat kan?"

Aku masih berusaha mencerna berbagai pertanyaan yang mencul tiba-tiba di otak ku. Bagaimana dia tahu aku sedari tadi menelpon memanggil jemputan? Dari mana dia tahu kakakku?

Belum sempat bertanya, ia menarikku ke parkiran. Walau sedikit basah, kami akhirnya berhasil masuk setelah aku yang ragu karena langit yang terus bersuara.

Aku melipat tangan di depan dada dan sesekali meliriknya. Jujur saja, perasaan ku kini bercampur aduk, senang dan juga kesal, namun dominan senang.

Mobilnya besar, harum dan nyaman. Bau mas kulin yang menyeruak membuatku membuka mulut dan mengatakan Allahu Akbar.

Kami sudah berada di tengah jalan.
Dia melirik ku saat aku meliriknya. Seperti kepergok. Dia terkekeh saat aku langsung mengalihkan pandangan. "Ngantuk?"

Just You & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang