Kenangan Akan Kematian - RIP Allan Aharon dan Ribkah Aharon

334 79 170
                                    

A death story...

Tidak ada hujan turun di malam ini, namun langit begitu gelap. Tidak ada bintang tidak ada bulan. Mereka seolah hilang tertutup awan hitam.

Entah mengapa malam ini begitu mencekam. Petir menyambar-nyambar di langit padahal tidak ada ramalan cuaca buruk hari ini. Suasana begitu sunyi meski suara petir menggelegar, bahkan hewan tampaknya enggan keluar dari persembunyiannya dan membuat kegaduhan.

Selena yang sedang membaca buku mata pelajaran Biologi di ruang tengah pun heran. Suara petir itu mengganggu konsenterasinya.

"Berisik sekali," gumam gadis itu. Ia meletakan buku Biologinya pada meja dan berjalan menuju jendela.

Diluar begitu sepi, angin pun terlihat begitu kencang meniup pepohonan yang ada di halaman rumahnya. Mata gadis itu menyipit ketika melihat sekelebat bayangan yang ada di depan rumahnya. Bayangan itu terlihat semakin banyak berkelebat kesana kemari.

Apa ini?

Apa ia sedang berhalusinasi?

Selena mengucek matanya berkali-kali tetapi bayangan itu tetap ada bahkan semakin banyak.

Sreek!!

"Ibu!" Selena terlonjak kaget ketika ibunya, Ribkah tiba-tiba menutup gorden jendela tersebut.

"Menjauh dari jendela Selena. Masuk ke dalam kamar mu sekarang!" Suara Ribkah terdengar begitu tegas.

"Ibu tadi aku melihat banyak sekali bayangan di halaman rumah. Apa itu bu?"

"Jangan banyak tanya Selena. Cepat masuk ke dalam kamar mu!" Kini Ribkah sudah menyeret puteri semata wayanganya.

Selena bukanlah gadis bodoh. Pasti ada yang tidak beres disini. Ia harus tahu apa yang sedang terjadi, apa yang sedang ditutupi oleh ibunya sekarang. Ketika sudah sampai di depan kamar Selena, gadis itu melepas cekalan jemari Ribkah dari tangannya dengan sedikit kasar.

Keduanya terlonjak kaget begitu mendengar suara pintu depan yang digedor dengan keras. Bahkan kini disertai suara-suara cakaran di jendela.

"Ibu ada apa ini? Dimana ayah?"

"Ayah disini Selena." Allan keluar dari kamarnya dengan membawa sebuah buku tebal bersampul cokelat. Pria itu mendekati anak dan isterinya, "Turuti apa kata ibu mu Selena."

Selena semakin bingung, kedua orang tuanya bersikap aneh sekarang, "Ada apa ini sebenarnya?"

Suara gedoran dipintu semakin cepat dan keras. Suara-suara cakaran di jendela juga semakin jelas, bahkan kini ada yang mengetuk dengan cepat.

Allan memegang kedua bahu Selena, "Dengarkan ayah Selena, apa pun yang terjadi jangan pernah keluar dari kamar. Jika ada yang memanggil mu, mengancam mu jangan pernah tertipu. Ayah dan ibu tidak akan berbicara pada mu malam ini. Ambil buku ini!"

Selena menerima buku tersebut. Kini giliran ibunya yang membarikan sebuah kalung berwarna putih dengan bandul bulan sabit. Ia memakaikan kalung itu di leher puteri tercintanya.

"Selama kau hidup, jangan pernah lepaskan kalung ini. Dan jagalah buku yang diberi oleh ayahmu." Ribkah memeluk Selena begitu erat. Bahu wanita itu bergetar pertanda ia menangis. Bahkan Selena kini dapat melihat air mata yang menumpuk di sudut mata Allan.

"Kenapa? Apa kalian akan pergi meninggalkan ku? Kalian akan baik-baik saja kan?" Selena ikut menangis.

Allan mengusap rambut pirang kecokelatan milik Selena, "Kau harus tetap bertahan hidup sayang. Besok akan ada orang yang menjemputmu, ikutlah dengannya. Ia memiliki kalung yang sama dengan yang kau pakai, hanya saja lebih kecil."

Isakan Selena semakin keras, "Lalu kalian? Jangan berbicara seolah ini hari terakhir kita bertemu!"

"Selena sayang, kami sangat mencintaimu. Kau adalah anugrah terindah yang pernah kami miliki. Ingat itu, kami akan selalu mencintaimu!" Ribkah kemudian mendorong Selena hingga gadis itu jatuh terjerembab di lantai kamarnya.

Bertepatan dengan Allan yang menutup pintu kamar Selena, pintu rumah milik mereka terbuka lebar.

Brak!!

Angin berhembus kencang masuk ke dalam rumah.

"Ayah! Ibu!" Dengan sekuat tenaga Selena mencoba membuka pintu tersebut namun nihil. Usahanya sia-sia. Pintu itu seolah terkunci dari luar padahal jelas-jelas kuncinya tergantung di dalam.

Kejadian berikutnya membuat Selena takut setengah mati, teriakan ayah dan ibunya yang terdengar kesakitan dan pilu memenuhi indera pendengarannya. Selena mundur perlahan dan segera bersembunyi dibalik selimut tempat tidurnya.

Tangisnya semakin deras seiring dengan teriakan kedua orang tuanya yang semakin keras. Barang-barang diluar kamarnya terdengar berjatuhan seperti terkena sesuatu yang amat keras.

Tiba-tiba saja suasananya mendadak hening. Tidak ada teriakan, barang jatuh, dan angin kencang. Bahkan Selena dapat mendengar detak jantungnya sendiri.

Keadaan hening beberapa saat hingga ia bisa mendengar pintu kamarnya diketuk.

Tok... tok... tok...

"Selena, ini ibu. Keluarlah, keadaan sudah aman."

Mendengar suara Ribkah membuat rasa takut dan khawatir di dalam diri Selena sedikit berkurang. Ia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan menuju pintu.

"Selena, kau baik-baik saja kan? Keluarlah, ibu sangat ingin melihat kondisimu."

Suara Ribkah kembali terdengar, namun saat memegang kenop pintu seketika ia teringat akan ucapan ayahnya.

'Dengarkan ayah Selena, apa pun yang terjadi jangan pernah keluar dari kamar. Jika ada yang memanggil mu, mengancam mu jangan pernah tertipu. Ayah dan ibu tidak akan berbicara pada mu malam ini.'

Selena mundur perlahan dari pintu, ia menatap horror pada pintu kamarnya.

"Selena sayang?"

Pintu itu bahkan tidak terkunci! Mana mungkin ibunya tidak bisa membuka pintu itu. Bahkan ayahnya mempunyai kunci cadangan pintu kamarnya.

"Selena!"

"Diam! Kau bukan ibuku!" Balas Selena.

"Apa maksud mu sayang? Apa yang terjadi?" Suara yang terdengar seperti Ribkah dipenuhi nada khawatir.

"Pergi! Pergi dari rumahku!"

"Buka pintu ini! Buka gadis sialan!" Suara lembut ibunya berubah menjadi suara wanita tua, serak dan berat.

"Tidak!"

"Buka! Cepat buka! Keluarga Aharon harus mati!" Seseorang dari balik pintu semakin keras mengetuk pintu.

"Apa yang sudah kau lakukan pada kedua orang tuaku?!"

"Hihihi..."

Wanita tua itu tertawa. Suara tawanya begitu mengerikan. Selena cepat-cepat menjauh dari pintu dan kembali bersembunyi dibalik selimut.

"Hihihi... Semua keluarga Aharon akan mati..."

Suara tawa itu kini diikuti oleh gedoran keras di pintu kamarnya. Suara barang-barang jatuh di luar kamarnya kembali terdengar. Cakaran dan ketukan di jendela sangat jelas.

"Selena Aharon, Hihihi... Kau akan mati."

Tubuh Selena bergetar hebat. Suasana begitu dingin namun tubuhnya dibanjiri keringat. Ia kembali menangis ketakutan. Malam ini adalah malam terburuk yang pernah ia lalui dan akan menjadi kenangan terkelam dalam hidupnya.

Gangguan tersebut baru hilang saat matahari muncul dari ufuk timur. Dan selama itu juga Selena menangis dan terjaga.

An Aharon (Veneficus Academy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang