Nul

57 6 0
                                    

Bunga berguguran karena musim dingin hampir datang. Nenek itu tidak lagi keluar untuk menyiraminya. Mungkin karena udara yang terlalu dingin, mungkin juga karena hujan sudah melakukannya.

Semalaman Ronald menyelimuti dirinya sambil menikmati secangkir kopi panas. Kertas kosong ditemani sebuah pulpen meringkuk di depannya. Matanya terpaku melihat kelopak bunga yang jatuh di halaman rumah nenek itu.

Ia ingin menulis lagu, tetapi hari terlalu dingin hingga otaknya ikut membeku.

"Aku mendengarmu semalam", kata nenek itu dari jendela rumahnya.

Ia menghentikan langkahnya, lalu menoleh, memastikan kalimat itu diucapkan untuknya.

"Kau mau menyanyikannya untukku? Sekali lagi", katanya.

Ronald berdeham pelan, memastikan tenggorokannya cukup basah untuk menjawab, "Aku akan pergi membeli kopi".

"Kalau begitu, aku akan memberikan biji kopiku. Aku berjanji kopinya akan terasa enak. Bagaimana?"

Ronald setuju untuk menyanyikan sebuah lagu dengan biji kopi sebagai bayarannya. Nenek itu menggunakan baju berlapis dan sweater untuk keluar memberikan setoples besar biji kopi.

Kopinya memang enak. Nenek itu memenuhi janjinya. Karena itu, Ronald juga menepati janjinya.

Ia memilih piano untuk menemani suaranya, bermain dengan lembut sambil membuka jendelanya. Membiarkan angin masuk walaupun rasanya seperti menusuk-nusuk tulang punggungnya.

Setelah menyanyikan sebuah lagu tentang musim dingin, ia tidur tanpa menulis apapun untuk lagu barunya.

###

"Semalam kau menyanyikan lagu yang berbeda".

Ronald menghentikan langkahnya lagi. Tidak hanya dunia hiburan yang memprotes segala karyanya. Bahkan tetangganya pun memprotesnya atas lagu yang ia mainkan sepenuh hati.

"Aku akan pergi membeli biji kopi".

"Apa kopinya tidak enak?"

Ronald menggeleng. Bukan, bukannya tidak enak. Kopi itu sungguh luar biasa. Tapi ia tidak bisa menerima bayaran untuk ini.

"Tidak, kopinya pasti enak. Selalu enak. Aku selalu meminum jenis yang sama sejak aku masih bekerja. Suamiku yang meninggal beberapa bulan lalu selalu membawakannya dari sebuah negara tropis di Asia. Baiklah kalau menurutmu memang tidak enak. Lidah kita memang sedikit berbeda".

"Maafkan aku".

"Untuk apa?"

"Kopinya".

"Tidak, tidak. Itu memang harga yang harus kubayar untuk sebuah lagu yang sangat indah. Kau menyanyikannya dengan baik, terimakasih".

Ronald tertegun melihat senyum di bibir nenek itu.

Bahkan nenek itu berterimakasih.

Sebuah rasa yang sudah sangat lama tidak ia icipi.

"Kopinya sangat enak, terimakasih. Aku kemari untuk mengatakan itu".

###

Keesokan harinya, udara semakin dingin. Salju pertama sudah turun tadi malam. Beberapa tempat  diselimuti salju tipis yang akan menumpuk di hari esok.

Ronald kembali berjalan melewati halaman rumah nenek itu lagi. Ia perlu mengurus izin tinggalnya ke kedutaan.

Nenek itu tidak terlihat di dalam rumah. Jendela dan pintunya ditutup rapat-rapat, sepertinya menghalangi udara dingin untuk masuk. Tetapi, secarik kertas di pagar kayu menarik perhatiannya.

Bagaimana Tuhan menciptakan suara emas seperti itu? Terimakasih atas lagu musim dinginmu. Aku menyukainya. Aku ingin tahu judul lagu itu, aku sudah mencari di internet tapi tidak menemukan apa-apa.

Ronald tersenyum, lalu membalas surat itu dengan pena yang diikatkan di pintu. Perasaan hangat mengaliri hatinya. Sudah lama sejak ada yang memujinya.

Kau tidak akan menemukannya di internet karena lagu itu belum pernah dinyanyikan sebelumnya. Winter. Itu judulnya.

###




As The Song Goes By [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang