Cinta Yang Tak Ku Sadari - Part 3

35 1 0
                                    

{1 April 2020}

"Vina. Sekarang Kamu siapkan berkas-berkas yang akan saya gunakan untuk meating malam ini. Dan pastikan juga kamu sudah menghubungi pak Handoko untuk mempersiapkan keperluan meating sebentar malam. Kerjakan semuanya dengan baik karna Saya tidak mau Client kita kecewa."

"Baik Bu."

Yahh, tadi itu aku. Inilah kegiatanku sekarang. Dua minggu yang lalu aku resmi menjadi Direktur di perusahaan ayahku. Dan disinilah tempatku sekarang. Di ruangan besar ini. Setiap harinya aku disibukkan dengan pekerjaan ini dan itu yang tak pernah ada habisnya. Aku hanya berkutat dengan laptopku dan sesekali berkunjung keluar menemui Clent-clientku.

Waktuku kini betul-betul tersita dengan ini semua, tapi aku menyukainya. Aku sama sekali tak pernah mengeluhkan ini semua. Bukan tanpa alasan aku menyukai rutinitasku saat ini. Yahh, kalian betul. Aku sengaja melakukan ini semua karna aku ingin melupakannya. Simple sekali bukan? tapi mengapa aku begitu sulit melakukannya. Semua cara telah ku lakukan, tapi tetap saja. Dimana ada waktu senggang. Aku pasti memikirkannya.

Dia masih selaku ku pikirkan dan masih selalu ku rindukan. Seperti saat ini, aku sedang istirahat makan siang di kantin kantor. Saat-saat seperti inilah, bayangan
tentang dirinya pasti bermunculan. Aku tak bisa menghindari hal itu dan menghentikan ini semua dalam sekejap saja.

Cinta yang telah ku berikan untuknya sudah terlalu besar hingga tak bisa semudah itu ku tarik kembali dan mengatakan kalau aku sekarang membencinya. Tidak!! Semuanya tidak bisa semudah itu. Jangankan untuk membencinya, melupakannya saja itu sangat sulit kulakukan.

Cinta ini sudah berakar kuat dihatiku. Aku sulit menghilangkanya dari hati dan pikiranku. Dan kini ku sadari kalau aku telah gagal menjalankan tekadku. Aku memang tidak bisa melupakannya.

"Woy, ngelamun aja."

Seruan yang lumayan keras itu membuatku terangkat dari kemelut pikiranku tetang dirinya yang tak akan pernah ada habisnya ini. Orang yang tadi mengagetkanku adalah Dimas. Dia sahabatku sejak kecil. Dia pria terbaik yang pernah kutemui selama ini. Dia selalu bisa membuatku menghilangkan sejenak beban pikiranku dan dia selalu ada untukku disaat aku betul-betul membutuhkan seseorang yang bisa membuatku merasa lebih baik.

Kami bersahabat sudah sangat lama. Orang tuanya dan orang tuaku juga sudah saling mengenal baik. Dulu kami sering bersama,
kemana pun dan apapun yang kami lakukan, kami pasti akan melakukannya bersama-sama, hingga tak ayal banyak orang-orang disekita kami yang mengira kalau kami ini memang memiliki hubungan spesial. Tapi itu semua tak benar.

Dan begitu aku menikah, aku tak pernah lagi bertemu dengannya, hingga 3 minggu yang lalu kami dipertemukan kembali dan hubungan kami masih tetap terjalin baik.

"Loe ini lagi mikirin apa sih. Dari jauh gue liatin, loe kayak orang yang nggak bernyawa gitu tau nggak. Dieeemmm aja."

Dia memulai pertanyaan yang sebetulnya dia sendiri pun tau apa jawabannya. Tapi mungkin dia hanya ingin mengalihkan perhatianku saja. Makanya dia melakukan
hal itu.

Dia menatapku lekat, aku pun melakukan hal yang sama.

"Ke. Lupain dia. Loe harus bisa hidup deperti dulu. Kalau loe masih mikirin dia, loe hanya akan stak disini. Gue juga udah kangen banget ama sahabat gue yang dulu. Yang periang, yang hidupnya tuh bebas, nggak ada beban sama sekali. Sekarang, bahkan loe ketawa pun. Itu rasanya hambar, Ke."

Aku mendesah berat mendengar perkataannya. Sebetulnya aku juga menginginkan hal itu, tapi mau
bagaimana lagi, aku masih tak bisa melakukannya. Dia begitu berarti untukku. Meskipun dia tak pernah melakukan hal apapun padaku, tapi hati ini betul-betul
tak bisa melupakannya. Dia begitu berpengaruh dan menguasai hatiku.

"Gue belum bisa, Dim. Dan mungkin nggak akan pernah bisa. Loe tau sendiri kan bagaimana gue sangat mencintai dia. Walaupun dia nggak pernah melihat kearah gue, tapi gue udah terlanjur sayang ama dia, Dim. Gue nggak bisa hilangin itu semua. Semua cara juga udah gue coba, tapi tetap aja, gue masih belom bisa lupain dia. Dan mungkin gue memang nggak akan pernah bisa ngelupain dia."

Kali ini dia yang mendesah berat mendengar perkataanku. Aku tau dia juga tersakiti melihatku seperti ini. Tapi yah mau bagaimana lagi. Aku sendiri bahkan tak bisa mengendalikan perasaanku.

"Terius gimana dengan perceraian loe?"

DEGG

Perceraian, satu kata itu berhasil menghentikan detak jantungku. Yah aku lupa, aku lupa kalau seminggu yang lalu, aku mengajukan surat gugatan perceraian ke pengadilan. Dan sekarang berkasku itu masih terproses disana.

Aku kembali mendesah, punggungku ku
sandarkan pada badan kursi yang ku duduki saat ini. Kini bertambah lagi satu masalah yang menjerat pikiranku.

"Kalau loe emang masih cinta ama dia. Kenapa loe lakuin itu?"

Aku menatap Dimas dalam-dalam. Pertanyaannya tadi sangat masuk akal. Yahh... Kenapa aku melakukan itu semua?

"Harusnya. Kalau loe emang masih cinta ama dia. Loe lakuin dulu sesuatu yang mungkinnya bisa kembali menyatukan kalian. Bukannya loe langsung ambil jalan
hukum kayak gini."

"Gue udah lelah berjuang sendirian, Dim. Gue juga udah yakin kalau dia nggak akan pernah bisa melihat gue.. Gue ambil jalan itu supaya gue bisa ngelupain dia. Tapi-"

Dadaku kembali sesak. Airmata yang sudah sejak tadi ku tahan, kali ini tak dapat ku tahan lagi. Aku mulai terisak, perih yang teramat perih itu kembali kurasakan.

"Tapi gue nggak bisa, Dimas. Gue betul-betul nggak bisa lupain dia. Dia berarti banget buat gue."

Dimas mendekatkan dirinya dan merengkuhku kedalam pelukannya. Aku semakin terisak, airmata ku yang mengalir begitu deras kini sudah membasahi kemeja
putihnya.. Sahabatku itu terus saja menenangkanku.

"Usstt... Tenang yah. Kalau loe mau. Gue bisa bantuin loe lupain dia."

Aku menghentikan tangisanku sejenak. Wajahku terangkat menatap wajahnya yang kini menatapku dengan serius.

"Kalau loe mau, gue bisa bantu loe lupaian dia. Gue juga sakit, Ke. Liat loe setiap saat seperti ini. Gue pengen loe itu bahagia. Gue nggak mau sahabat yang paling gue sayang terluka. Gue pengen loe terus bahagia dalam hidup loe, Ke."

Aku kini diam dan terus memikirkan perkataannya. Sejujurnya aku juga ingin bahagia seperti apa yang dikatakannya. Tapi kebahagiaanku adalah Nico. Namun
aku sadar, hal itu tak mungkin bisa ku dapatkan.

"Kalau gitu cintai gue Dimas. Buat gue juga bisa mencintai loe."

Dimas membulatkan matanya mendengar perkataanku tadi yang memang agak gila. Tapi hanya itu cara terbaik yang bisa membuatku lupa padanya. Hanya dengan mencintai orang lain, lambat laun perasaanku padanya pasti akan menghiang. Dan aku yakin Dimas bisa melakukannya.

Menurutku juga, aku pasti bisa mencintai Dimas karna selama ini aku sudah menyayanginya, meskipun hanya sebatas sahabat. Tapi sayang itu bisa ku ubah dalam ikatan yang lebih dari sekedar sahabat. Kedengarannya sih memang gila. Tapi tak ada cara lain lagi. Aku juga sudah tak ingin terus-menerus berada dalam pusaran sakit hati ini. Aku ingin bahagia. Aku ingin melupakan semua sakit itu. Dan juga aku ingin terbebas darinya.

"Tolong bantu gue Dimas. Tolong bantu gue lupain dia. Loe pasti bisa bantuin gue."

Kulihat Dimas tersenyum lembut padaku. Aku juga berusaha tersenyum padanya.. Dia kembali merengkuhku, kehangatan rengkuhannya ini selalu bisa membuatku tenang. Yahh. Aku sekarang yakin untuk
mengambil keputusan ini. Aku yakin akan memulai cinta yang baru. Aku akan belajar mencintai sahabatku yang sudah pasti bisa membuatku bahagia.

"Aku akan melupakanmu, Nico. Aku betul-betul akan melupakanmu."

_To Be Continue_


Jangan lupa ketik tanda ⭐ yah sayang sayangkooohhh😉😘🤗


HASNA ANNA
MAKASSAR, 07 APRIL 2020
18.41 WITA

Kumpulan Cerpen (HasnaAnna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang