1.6

541 90 3
                                    

{ mimpi dan bahagia }
::

Sorai

"Tante, aku mau les design grafis boleh nggak?"
Waktu itu gue masih kelas 1 SMA. Dari kecil gue suka banget sama yang namanya gambar-gambar. Awalnya cita-cita gue itu mau jadi animator, tapi makin kesini gue mau jadi graphic designer aja.

"Emang nanti kamu mau jadi apa?" Tanya ibu waktu itu.

"Mau jadi graphic designer, tan." Gue dengan bangga menjawab pertanyaan ibu tadi. Tapi jawaban beliau justru membuat gue mengubur mimpi gue dalam-dalam.

"Nggak ada uangnya, Rai. Udah... kamu masuk aja ke jurusan Psikologi atau Hukum. Lebih menjanjikan, kan?"

"Tante cuma mau yang terbaik buat kamu."

Orang tua selalu begitu, mereka selalu bilang apa yang terbaik untuk anaknya. Nyatanya, apa yang mereka anggap terbaik untuk kita, hanya menjadi beban bagi kita sendiri.

Ibu nggak mau dikecewain, gue juga nggak mau ngecewain beliau. But let me make you proud with my own way, not in your way.

Ibu gue itu pengacara, namun dia nggak seperti pengacara lainnya. Klien nya sedikit dan jarang. Dia juga nggak sukses-sukses banget. Makanya dia pake gue buat mewujudkan apa yang dia nggak bisa dia wujudkan.

Sayangnya, ibu gue salah orang.

Gue akhirnya menabung. Uang bulanan yang dikasih beliau selalu gue sisain setengahnya buat nabung buat les.

Gue sempat kerja ngejaga toko milik teman gue. Lumayan lah buat nambah-nambahin tabungan. Gue juga suka bantu band-band yang biasa dipake buat nikahan kebetulan papa nya Joceline, gue biasanya nyanyi bareng band itu. Tapi itu jarang banget.

Hingga akhirnya pas liburan pergantian semester gue masuk ke tempat les yang gue mau.

Gue sering pulang malam di hari tertentu. Gue selalu bilang kalau gue kerja kelompok atau ke toko buku, dan ibu selalu percaya sama perkataan gue.

Gue sempat nggak begitu memikirkan soal bagian cerita cinta dihidup gue. Apalagi jaman SMA, yang orang bilang cinta putih abu-abu selalu lucu dan selalu jadi kenangan nggak terlupakan.

Awalnya gue nggak percaya sama hal begitu. Toh bersama teman-teman dan sahabat gue, gue bisa bikin masa putih abu-abu gue berwarna dan indah.

Sampai akhirnya gue ketemu dia.

Joshua.

Waktu itu tahun ke dua gue berada di sekolah seni ini atau design grafis ini. Tempat les yang gue ambil ini mereka buka banyak bidang les seni, nggak cuma design grafis.

Kak Joshua waktu itu mengambil bidang lukis. Setiap sore gue selalu ngintip dia dari jendela ruang lukis. Kadang dia bisa sampai malam disana, nggak peduli kalau waktu les nya sudah selesai jam 6. Disana dia bisa sampai jam 9 malam.

"Eh, kamu anak design grafis kan?"

Waktu itu gue kepergok kak Joshua. Gue duduk didepan ruang lukis, tepatnya ketiduran sih.

"Eh, i-iya kak."

"Kamu belum pulang?"

"Ketiduran, hehe."

AROUND.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang