SURAT CINTA NING ZURAIDA
Episode 1
Ngabdi Tanpa Gengsi"Ning, ayo sini. Ikutan lihat ada Kang Sampah baru. Ganteng!" Nafisah sahabat Ning Zuraidah berteriak sambil setengah berlari dari balkon asrama mereka di lantai dua lalu berdiri di pintu kamar mereka.
"Haduh, apaan sich, Nafis? Sudahi keisengan kamu godain Kang Badri dan pasukannya itu. Gak pantes!" Ning Zuraida yang sedang nderes kitab Fathul Mu'in untuk persiapan sorogan sebagai kewajiban santri kelas syawir nanti malam menjawab dengan nada sedikit menghardik.
"Loh, Ning. Yang ini 'prajurit' baru. Ganteng banget!" Nafisah menjawab dengan sedikit melompat-lompat seperti anak kecil kegirangan dapat hadiah permen.
Prajurit adalah istilah yang dipakai para santri putri asrama Azzubaidah Pesantren Darul Furqon untuk menyebut rombongan Kang Santri yang membawa gerobak sampah dari asrama ke asrama.
Rombongan ini dipimpin oleh Kang Badri yang sangat masyhur dengan julukan Kang Berbintang karena wajahnya dipenuhi jerawat besar-besar laksana bintang. Ia adalah ketua unit persampahan di struktur kepengurusan induk pesantren.
Mereka memindahkan isi tong-tong sampah ke gerobak untuk di bawa ke pusat pengelolaan sampah induk Pesantren ini. Di sana ada banyak Kang Santri dengan berbagai macam tugas. Ada yang memilah, mengatur penjualan sampah layak jual, mendaur ulang, serta memproses menjadi kompos untuk sampah-sampah organik dan memproses sampah plastik menjadi biji plastik.
Ah, paling-paling dia kerjain aku. Demikian Ning Zuraida memutuskan untuk mengabaikan sahabatnya itu di tengah ingatannya tentang instalasi pusat sampah pesantren mereka.
"Ning, sumpah nyesel njenengan Ndak mau ikutan!" teriak Nafisah sambil berlalu.
Tak lama terdengar suara teman-teman lainnya bersorak sorai menggoda. Macam-macam kalimat bernada menjatuhkan mental itu terdengar. Meski kalimatnya baik namun kalau dengan nada menggoda dan teriak-teriak gitu mana bisa disebut memuji, kan?
Kang Prajurit baru itu mungkin memang tampan beneran sehingga banyak yang ikutan menggoda bersama Nafisah. Demikian pikir Ning Zuraidah.
Sudah jadi kebiasaan di sini kalau ada Kang Santri baru yang masuk asrama dengan alasan apapun maka harus menghadapi kerasnya tempaan mental dalam bentuk sorakan santri putri seperti itu.
"Ning, kata Ana dia itu tetangganya yang seorang Gus dari pondok di Malang!" Nafisah datang dengan suara bercampur nafas memburu karena lari-lari kembali ke kamar.
"Hah? Seorang Gus mau jadi petugas sampah?" tanya Ning Zuraida keheranan.
"Lah ya, itu!" jawab Nafisah.
"Ah, jangan-jangan dia Gus tukang cari sensasi aja. Minta jadi prajurit sampah biar bisa masuk pondok putri," jawab Ning Zuraida tak acuh.
"Lah, njenengan ini gimana, sich? Kang yang bertugas sebagai prajurit masuk pondok putri begini kan sudah bertugas minimal dua tahun di instalasi sampah induk. Otomatis dia itu kan Gus yang sudah ngurus sampah selama minimal dua tahun," protes Nafisah.
"Kayaknya kamu sudah terpesona sama 'Gus Sampah' itu, Fis. Gak bisa berfikir obyektif," protes Ning Zuraida kembali sebagai balasannya.
"Loh, ya njenengan yang tidak obyektif. Dia kan memang ganteng dan sudah berkutat sama sampah minimal dua tahun sebelum boleh jadi prajurit. Artinya dia emang Gus yang gak pakai gengsi-gengsi. Bukan Gus sombong sama nasabnya. Kalau dia dapat tugas masuk pondok putri ya itu rezekinya dia. Rezekinya kita juga tidak lihat 'Kang Badrun Berbintang' melulu." Kali ini Nafisah menjawab dengan ekspresi lucu di wajahnya.
"Astaghfirullah, kok jadi soal rezeki gimana, sich?" Ning Zuraida merespon dengan sedikit bingung.
"Ingat, Ning. Baca baik-baik surat Ibrahim ayat 2. Eh, ayat 7. Kalau kita bersyukur maka kenikmatan hidup kita ini akan ditambah oleh Allah SWT. Kalau kita kufur maka adzab Allah itu sangat pedih." Kali ini ekspresi wajah Nafisah sungguh membingungkan Ning Zuraida. Antara serius namun lucu. Benar secara teks namun tidak pada konteksnya.
Sahabatnya ini memang pribadi yang cerdas, lucu, menyenangkan, sekaligus baik hati.
"Kamu ini kok jadi ngaco. Awas jangan-jangan kena 'mahabbah' Gus Ganteng itu, loh," komentar Ning Zuraida sambil melempar permen di tangannya ke pangkuan Nafisah yang kini sudah duduk bersila di hadapannya.
"Njenengan juga awas 'kuwalat' Gus ganteng itu. Dari tadi suudzon melulu. Ntar jadi jodohnya Gus itu kapok tau rasa, loh. Eh, kok 'kuwalatnya' enak gitu, ya? Aku juga mau, hahahaha!" Kali ekpresi jujur Nafisah tak tertutup lagi. Ia tertawa ngakak tanpa beban.
"Eh, siapa sich namanya Gus itu?" tanya Ning Zuraida penasaran.
"Kata Ana namanya Gus Falih. Tahun ini beliau semester empat Ma'had Aly. Sudah mondok di sini enam tahun," jawab Nafisah tak acuh sambil mengambil dua bantal lalu melemparnya di sisi Ning Zuraida.
Satu bantal miliknya dan satu lagi milik sahabat tersayangnya yang selalu serius belajar dan menghafal Al-Qur'an. Nafisah mengerti kenapa Ning Zuraida seperti itu. Ia memiliki beban masa depan untuk mengelola pesantren besar milik orang tuanya di Mojokerto.
"Hem, Gus Falih ya namanya," Ning Zuraida bergumam.
"Nah, sekarang kau sebut namanya. Tanda-tanda kuwalat mulai bereaksi!" ucap Nafisah sambil tertawa ngakak kembali.
"Apaan sich kamu ini. Sudah ah. Kok jadi godain aku!" Ning Zuraida ikut tertawa ngakak. Terlebih kemudian Nafisah mulai menyanyi lagu dangdut zaman nenek-nenek mereka berjudul sebuah nama.
Ning Zuraida tahu lagu itu sering diputar oleh orang kampung kalau acara pernikahan. Suaranya sangat keras hingga tak terhindar lagi dari gendang telinganya yang memiliki kecerdasan auditori. Dengan cepat ia hafal lirik suara merdu Elvy Sukaesih itu.
Sebuah nama terukir di hatiku
Dalam membekas tak mudah terhapuskan
Indah namanya, hai seindah orangnya
Kala kusebut hai terbayang wajahnyaKarena dia aku bisa menangis
Karena dia aku bisa tertawa
Karena dia aku bisa bahagia
Karena dia aku bisa merana=================
Hayo, siapa yang nyanyi pas baca alenia akhir ini? Usianya patut direnungkan, hihihihi. Semoga kisah Gus Falih dan Ning Zuraida ini bisa saya lanjutkan segera, Njih.
Postingan ini nulis langsung post. Belum editing. Akan senang kalau ada masukan. Pokoe post dulu aja buat hiburan di tengah liburan. Hehehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta Ning Zuraida
General FictionSeorang santri tampan rupawan menjadi petugas sampah yang baru. Gerobak sampah berwarna biru yang biasanya ditarik Kang Badri yang berwajah khas karena berjerawat besar-besar kini beralih tangan. Para santri putri penghuni Pesantren Darussalam heboh...