Jemari Yang Terluka

79 1 0
                                    

SURAT CINTA NING ZURAIDA

Episode ke-3
Jemari Yang Terluka

Allahu Akbar Allahu Akbar
Allahu Akbar Allahu Akbar

Suara adzan dhuhur dari masjid terdengar sangat nyaring di instalasi sampah induk ini meskipun lokasinya tersembunyi di belakang asrama putra Al-Akbar yang merupakan asrama paling tua. 

Masjid Darul Furqon yang megah memiliki posisi di tengah kompleks pesantren dengan luas sekitar sebelas hektar. Di sebelah baratnya adalah komplek makam keluarga besar pendiri pesantren ini. Belum terlalu banyak makam di situ.

Selepas jama'ah shalat ashar para santri putra banyak yang berziarah sambil belajar, lalaran ataupun nderes Al Qur'an di makam kompleks  Mbah Yai. Ada gazebo besar untuk peziarah duduk. Adapun makamnya berbentuk terbuka beratap langit dan bunga-bunga Kamboja berbatang lurus serta halus tumbuh subur dan rajin menjatuhkan bunga-bunganya.

Iya, batang Kamboja di sini sangat halus batangnya.  Tidak seperti umumnya pohon Kamboja yang tumbuh di Kuburan dimana batangnya berliuk bahkan tumbuh benjolan-benjolan seperti orang "udunan" atau bisulan. Konon pepohonan itu bisa merasakan situasi alam kubur.

"Sudah adzan ashar. Aku mau ikut jama'ah dulu, ya," ujar Gus Falih. Ia teringat hendak duduk di gazebo makam sesudah shalat untuk memenuhi target riyadhoh waqi'ah yang sedang dijalaninya.

Dua puluh lima kali surat waqiah dibaca setiap bakda shalat lima waktu yang dijaga dengan berjamaah selama tujuh hari disertai puasa. Di hari terakhir dibaca sebanyak seratus dua puluh lima kali sehingga jumlahnya menjadi seribu. Ini adalah riyadhoh ijazah keluarganya yang telah turun temurun dilaksanakan.

"Loh, Gus. Gak mau baca surat Ning Zuraida dulu?" tanya Kang Badri.

"Enggak. Kan sudah jelas kemungkinan besar surat itu palsu," jawab Gus Falih sambil berlalu. Sebentar kemudian ia berbalik dan mendatangi Kang Badri yang tengah memegang surat berbentuk origami pesawat terbang yang telah dibuka.

"Kang, ini saya sobek saja dulu, ya. Biar pada tenang dan nggak kepo." Tanpa menunggu persetujuan Gus Falih mengambil surat itu lalu menyobek-nyobeknya menjadi serpihan kecil yang tak mungkin terbaca isinya. Dilemparkannya serpihan itu ke bak sampah terdekat.

"Maaf ya aku duluan enggak bantu memilah sampah organik dan anorganik. Besok pagi aku aja yang bertugas 'panen' di kandang sapi Kyai Maksum," tukasnya sambil berlari cepat meninggalkan instalasi sampah tempatnya berkumpulnya pasukan yang dipimpin Kang Badri ini.

Panen adalah istilah untuk mengumpulkan kotoran sapi dalam keranjang rotan khusus untuk dibawa ke pengolahan limbah organik menjadi pupuk. Biasanya sekali panen minimal terkumpul dua puluh keranjang rotan.  Maklum sapi penghuni kandang lumayan banyak.

"Waduh, padahal kita sudah semangat mau baca surat Ning Zuraida. Biarpun palsu gak apa-apa. Tetap menyenangkan kalau atas nama Ning super cantik itu. Iya gak, Kang?" tanya Kang Badri pada Kang Noval.

"Iya." Serempak semuanya menjawab meskipun yang ditanya hanya Kang Noval.

"Jadi sekarang kita semua shalat jamaah juga saja. Hari ini kita kurang akas (rajin) sehingga sudah ashar namun belum memilah sampah. Ayo, kita susul Gus Falih," tukas Kang Badri.

Semua berjalan tanpa semangat. Menyesali serpihan untaian kata yang kini terburai dalam serpihan. Terbayang wajah ayu berwibawa dalam senyum menawan dalam benak remaja santri pengabdi ini. Tak ada yang sanggup mengabaikan pesona Ning Zuraida.

Sementara ini kecuali Gus Falih.

*********

"Ning, tadi Gus Falih tidak ikut ngambil sampah. Jangan-jangan ia dipindah tugaskan," ucap Nafisah dengan nada cemas. Dua alisnya yang tebal itu bertaut. Bibirnya yang biasanya banyak menyungging tawa tampak turun berbentuk parahu terbalik.

Surat Cinta Ning ZuraidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang