Pesantren Darul Furqon ini sudah cukup tua usianya. Empat generasi keluarga ndalem telah mengemban amanah perjuangan mendidik generasi penerus bangsa.
Ada delapan asrama di lingkungan pesantren ini. Empat dihuni santri putra dan sisanya santri putri. Masing-masing asrama memiliki pengasuh yang merupakan putra-putri pendiri yang artinya dari generasi ke-2.
Generasi keempat saat ini kebanyakan masih sekolah, kuliah atau bahkan masih balita. Karena itu ada banyak Gus dan Ning dzurriyyah di sini yang masih jomblo.
Beberapa dari mereka ada yang mondok di tempat lain namun ada juga yang membaur dengan santri mengenyam pendidikan di pesantren ini. Bahkan beberapa dari mereka tinggal di "gotha'an" santri. Bersikap dan bertindak sebagai santri biasa sebagaimana lainnya.
"Gus Falih itu ternyata kawan akrab Gus Shihab, loh. Mereka satu angkatan di Ma'had Aly," ujar Nafisah memulai percakapan dengan Ning Zuraida sesudah sorogan kitab Fathul Mu'in di kelas syawir. Mereka berjalan di lorong gedung Madrasah Aliyah yang kalau malam difungsikan sebagai ruang kelas Madrasah Diniyah menuju kantin induk pesantren.
"Loh, kok up date lagi informasi?" Ning Zuraida memandang sahabatnya itu dengan keheranan.
"Tadi habis sorogan aku nanya ke Gus Shihab," ujar Nafisah dengan bangga.
"Hah, kamu berani nanya urusan remeh kayak gini?" Ning Zuraida membelalakkan mata saking kagetnya. Gus Shihab adalah cucu Mbah Yai Anwar pendiri pesantren ini. Beliau masih muda serta jomblo. Salah satu dzurriyyah yang tinggal di asrama bersama santri dan memiliki tugas mengajar.
"Iyalah," tukas Nafisah sambil nyengir kuda.
"Emang kamu bilangnya bagaimana?" Ning Zuraida makin keheranan dengan tingkah Nafisah yang menurutnya su'ul adab.
"Aku bilang kalau njenengan naksir Gus Falih. Makanya aku nitipin dalam buat Gus Falih dari njenengan. Eh, Gus Shihab malah bilang supaya jangan naksir Gus Falih. Malah terus titip salam buat njenengan. Ning Zuraida sama aku saja. Begitu katanya," Nafisah bicara dengan tampang polos sembari duduk di bangku panjang kantin. Tangannya mencomot tahu isi di tangan kiri dan cabe di tangan kanan seraya menggigit buah merah pedas itu tanpa memedulikan ekspresi Ning Zuraida.
"Kamu ini isengnya kebangetan. Pantas saja Gus Shihab senyum-senyum padaku saat menyimak soroganku tadi. Eh, itu makam mbok yang sopan pakai tangan kanan aja!" Ning Zuraida gemas antara marah, tersinggung namun tertawa mengingat ekspresi wajah Gus Shihab.
Diacak-acaknya jilbab Nafisah yang sedang kepedesan karena menggigit cabe.
Wajahnya yang putih ayu menjadi bersemu merah di pipi akibat perasaan campur aduk dalam hatinya. Kecantikan Ning Zuraida memang kondang di kalangan santri putra senior yang bertugas sebagai ustadz.
Sorogan adalah metode kuno ala pesantren tradisional. Santri melalukan 'sorog' yang artinya menyetorkan atau menunjukkan kemampuan membaca kitab tertentu langsung di hadapan guru. Tujuannya adalah mendapatkan bimbingan secara pribadi sesuai kemampuan santri.
Metode ini adalah metode belajar yang sangat tua jauh sebelum pesantren tradisional nusantara menggunakan metode ini.
Rosulllah Muhammad SAW juga melakukan metode ini dalam mengajarkan Al-Qur'an kepada para sahabat dan disebut talaqqi. Maknanya belajar langsung dengan berhadapan guru. Metode talaqqi disebut juga musafahah.
Berhadapan langsung dengan guru ini membuat seorang murid atau santri memiliki sanad. Jika setiap murid berhadapan langsung dengan gurunya lalu guru itu berhadapan langsung dengan gurunya maka akan terus bersambung hingga Rosulllah Muhammad SAW.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta Ning Zuraida
General FictionSeorang santri tampan rupawan menjadi petugas sampah yang baru. Gerobak sampah berwarna biru yang biasanya ditarik Kang Badri yang berwajah khas karena berjerawat besar-besar kini beralih tangan. Para santri putri penghuni Pesantren Darussalam heboh...