2021
Aku benci mengakui bahwa mereka benar, bahwa kehadiran seseorang selalu terasa lebih berharga begitu ia memilih meninggalkan... dan surat ini adalah tanda penyesalan.
***
2020
Di dunia ini ada beberapa hal yang tak mengenal mati, seperti waktu yang tak pernah berhenti atau kenangan yang masih menyiksa meski seseorang memilih pergi, juga cinta.
"Cinta? Omong kosong!" desis gadis itu dengan napas tertahan.
Melepas heels yang ia kenakan, gadis itu membiarkan kaki telanjangnya menjejak trotoar. Perih, tapi ia tak lagi peduli.
Kalimat-kalimat dari Papa kembali menggema di telinganya.
"Kamu buta, Tera. Banyak anak yang bahkan memimpikan posisi kamu saat ini."
Gadis itu mengusap lipstick-nya dengan kasar. Memangnya siapa yang minta? Ia bahkan tak diberikan pilihan untuk menolak sejak awal. Melepas gelang dan cincinnya, gadis itu membuangnya sembarangan, bersama heels yang tak pernah terasa nyaman.
Ia tidak pernah meminta semua ini. Tidak harta, tidak juga segala mewah yang ia kenakan saat ini.
Gaun hitam itu ia angkat sebatas lutut. Tak peduli pada angin yang meniup bahu terbukanya. Ia ingin berteriak, tapi tak pernah ada suara yang keluar. Semua amarahnya membentuk kabut hitam yang mengendap di dada, yang membuatnya sesak tanpa sebab, yang membuat isaknya kian memberat.
Malam masih terlalu diam untuk mengoloknya yang berjalan tanpa tujuan. Hingga ia lelah dan memilih berhenti. Tubuhnya gemetar dengan pandangan yang memudar. Air mata menggenang di kelopaknya, mengalir perlahan bersama isak yang kemudian muncul bersahut-sahutan.
Ingatannya memutar lagi adegan di mana ia dicaci. Tamparan keras tadi juga masih terasa begitu panas di pipi. Belum lagi bekas luka yang masih ia simpan di hati.
"Dengan bersikap seperti ini, kamu cuma bikin malu keluarga kita, Tera!"
"Keluarga?" gumamnya pelan. Ia mengusap air matanya kasar. "Bullshit."
Lelah, ia berhenti. Menempatkan diri di trotoar, tak peduli pada kendaraan yang masih berlalu-lalang meski sudah hampir tengah malam. Menyandarkan kepala pada tiang lampu jalan, mata sembabnya mengerjap, pedih. Dadanya sesak, terlalu sesak sampai udara terasa berat untuk diraihnya.
Rambut sebahu gadis itu tergerai, menutup sebelah matanya yang perlahan memejam. Keningnya berkerut tak nyaman, membiarkan angin malam merengkuh tubuhnya.
Jika ini jalan panjang, ia ingin menepi. Sejenak, meletakkan semua dan bermimpi. Karena rasanya lelah sekali ....
Karena rasanya, ia ingin berhenti.
Ia bahkan tak lagi paham apakah ia hidup atau mati. Karena, jika hidup seberat ini, apalagi yang ia takutkan setelah mati? Bukankah semua nanti tetap akan pergi? Apa salahnya mendahului?
"Nama belakangmu itu akan kamu bawa sampai mati, Tera. Inget itu."
Napas gadis itu tersekat. Tiba-tiba ia membuka mata dengan debar jantung yang bertalu-talu, sebelum akhirnya ia bangkit dan berjalan membelah jalan.
Telinganya seolah tuli pada klakson dan makian yang bersahutan. Kini ia memejam, memikirkan siapa yang akan tersenyum atau menangis di pemakamannya.
Sampai seseorang datang dan mendorongnya keras, membuatnya terbentur aspal. Suara teriakan kembali gadis itu terima, hingga ia tak sempat mengeluhkan perih di siku dan punggungnya.
Mati sepertinya tak semenyenangkan yang ia kira.
"Bangun lo!"
Gadis itu mendongak dan mendapati seseorang yang tak lebih menyedihkan darinya. Wajah orang itu lebam. Hoodie kelabu yang ia kenakan pun menyisakan jejak darah yang masih basah.
Ia memutuskan untuk tidak peduli. Gadis itu bangkit, tapi tangan cowok itu mencekalnya.
"Lo ngapain, Brengsek!" maki gadis itu yang hanya dibalas dengan satu kata.
"Diem!"
Cowok itu mendorongnya ke trotoar, membuat gadis itu mendesis. Barisan kendaraan yang tadi terhalang pun mulai memudar dengan sisa makian yang masih bisa gadis itu dengar.
"Kalau mau mati jangan nyusahin orang, bisa? Mereka bahkan nggak kenal lo! Lo nggak mikir mereka harus bayar ganti rugi dan berurusan sama polisi? Tolol!" Cowok itu mengeluarkan cutter dari saku celana dan mengulurkannya. "Pakai ini biar nggak repotin orang lain. Ngerti?"
Gadis itu mengerjap, menatap cutter merah dengan ukiran kasar huruf T di ujungnya. Jemarinya gemetar hebat saat meraih cutter dari tangan cowok itu. Namun seolah tak peduli, cowok itu pergi. Dan gadis itu mulai tenggelam dalam tangisannya sendiri.
[]
repost, 22 April '21
KAMU SEDANG MEMBACA
Forget Me
Teen Fiction"Kamu adalah pertemuan juga perpisahan yang layak dikenang. Sedang aku adalah memori yang akan kamu tinggalkan." Kumpulan surat itu Tera tumpuk untuk dirinya sendiri juga Arta yang telah pergi ... berharap di balik tiap diksi, kehadiran cowok itu bi...