Lima; Yang Pernah Pergi, Regi

3.8K 559 125
                                    

2021

Karenamu, aku mulai bertanya pada diriku sendiri tentang apa yang kuingini
Sepertimu yang mencintai puisi
Atau orangtuaku yang mencintai ambisi

***

2020

"Mimpi lo apa?"

Kalimat Arta berpengaruh lebih dari seharusnya. Tera bahkan sempat merasa tidak normal karena orang yang ia kenal bisa dengan mudah menjawab pertanyaan itu.

Rea misalnya.

"Mimpi lo apa, Re?"

Gadis itu menjawab tanpa perlu berpikir lama. Dokter, katanya. Tentu saja. Ayah Rea adalah dokter bedah yang sudah memiliki nama. Ibu Rea juga bekerja di bidang yang sama, yang meski tidak sehebat Ayahnya, tapi tetap saja keluarga mereka terlihat begitu sempurna.

Sedang saat Rea bertanya pada Tera, lagi-lagi gadis itu hanya menggeleng dan tertawa.

Tidak ada. Tera tidak pernah membayangkan masa depannya. Ia adalah daun yang jatuh di atas air mengalir. Hidup membawanya ke mana saja dan ia tak bisa melakukan apa-apa.

Kalimat Arta terus berulang, sampai Tera pun ikut penasaran. Sebenarnya, ia terlahir untuk apa? Apa selama ini ia hidup hanya sekadar hidup? Apakah Tera tak lebih dari raga yang tak memiliki jiwa?

"Tera ...."

Suara itu membelai lembut telinga Tera, membuat gadis itu mengerjap, mendapati tatap teduh cowok di sisinya.

"Apa?"

Namanya Regi, satu nama yang pernah membuat gadis itu berbagi.

Alasannya sederhana; Regi satu-satunya.

Tera tidak memiliki siapa-siapa. Tidak ada telinga yang mau mendengar keluhannya, atau tangan yang menepuk pundak lelahnya. Dan di saat itu, hanya Regi yang ada.

Dulu ... sebelum dia memilih pergi.

Meski tidak semua hal bisa Tera ceritakan, setidaknya dengan adanya Regi, ia tak merasa sendirian.

Meski mereka mengenal dengan cara yang ingin Tera lupakan, harus Tera akui kalau Regi pernah begitu berharga baginya. Cowok itu memiliki akses khusus di hidup Tera, juga kunci rahasia untuk mendekati keluarganya.

Tersenyum samar, gadis itu memainkan jemarinya, membayangkan lagi spaghetti yang tadi ia tinggalkan begitu saja, juga Regi yang tetap tersenyum seolah tingkah Tera bukanlah apa-apa.

"Malam itu, lo nggak apa-apa, kan?"

Sejenak Tera membiarkan suara lagu dari radio mobil mengisi kosong di antara mereka, memberi jeda. Tangan Regi yang bertaut sempurna pada jemarinya membuat Tera tahu bahwa perhatian Regi miliknya.

Namun sekali lagi, Tera menolaknya. Ia menarik dirinya, risih pada atensi Regi yang tidak seharusnya.

"Malam itu?"

"Hmm." Regi menggumam, seolah keberatan dengan apa yang Tera lakukan. "Waktu Papa lo ajak pulang."

Oh.

Forget MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang