Tiga

3.9K 373 13
                                    

Boleh di baca dari awal ya, soalnya saya revisi besar-besaran dari chap satu.

Rapat angkatan sudah berjalan dua jam lebih, dan Gori masih belum menemukan titik akhirnya. Ia sudah jengah dan ingin cepat-cepat kembali pulang kerumah.

Rapat angkatan kali ini memang dilakukan sangat serius, mengingat dalam dua hari lagi akan diadakan rapat besar jurusan atau sering di sebut Mubes (Musyawara besar). Selama mubes nanti, para senior akan datang dan mempertanyakan semua tentang persiapan KBM yang akan mereka lakukan.

Dan sebagai SC, mereka tidak boleh ketinggalan sedikitpun informasi, karna mereka bertugas sebagai orang yang akan mempertahankan hasil dari panitia. Bisa di katakan, SC itu bertugas menjaga para panitia agar senior tidak mengambil alih acara KBM.

Sedari mulai, rapat mereka hanya membahas tempat diadakannya KBM nant, apakah sudah sesuai dengan standar yang sudah di buat, seperti adanya hutan, sungai, dan tanah lapang pada daerah KBM akan di berlangsungkan. Gori tidak ada menangkap sedikitpun isi dari rapat. Pikirannya sekarang di penuhi oleh Dewa, laki-laki pujaan hatinya, sampai sebuah getaran pada ponselnya membuyarkan lamunan Gori.

Bang Bagas Calling...

Melihat nama teman abangnya, Gori segera mengangkat.

"Apa?" tanya Gori lemas. Tangannya sedari tadi sibuk mencabuti rumput yang berada di dekatnya.

"Ri, lagi dimana?" tanya Bagas dari seberang.

"Masih di kampus bang, rapat angkatan" Gantian, kini Gori tampak sibuk menusuki semut tanah yang berlalu lalang di dekatnya.

"Abang lagi di kampus nih dek, habis ketemu teman. Udah mau pulang gak?"

"Maunya pulang bang, tapi Gori gak bisa pulang begitu saja" jawab Gori lemas dan hampir saja ingin menangis.

"Ya udah abang kesitu buat izinin. Posisi dimana sekarang? Abang lagi di parkiran"

"Di parkiran juga bang, di parkiran motor, dekat lapangan basket"

"Oh, yang ngumpul buat lingkaran itu ya?" tanya Bagas memastikan.

Gori mengangguk refleks, "Iya bang" jawabnya geram, karena masih menyiksa semut-semut yang berada di dekatnya.

"Okei, abang udah lihat. Bentar ya, abang baru keluar dari mobil"

Gori hanya menggumam, lalu mematikan sambungan telpnya.

"Lo mau balik ya?" tanya Asep yang sedari tadi memperhatikan Gori.

Gori mengangguk, "Iya, gue mau nata hati dulu di rumah. Pengen nangis di pelukan bang Satria" jawabnya . "Lo kabarin aja kesimpulan hasil rapat. Gue yakin, senior nanti nyerang gue waktu Mubes" ucapnya.

"Permisi, boleh tau komtingnya yang mana?" suara bass Bagas mengintrupsi diskusi mereka. Tubuh besarnya menutupi teriknya cahaya matahari, hingga membuat para gadis, teman-teman Guri terkesima.

Bagas dengan jas formalnya memang selalu menarik kaum hawa. Apalagi wajahnya yang tampan dengan tubuh besar dengan tinggi 198 cm nya. Ia tampak terlihat seperti raksasa.

"Saya bang, Andre" Andre, komting angkatan Gori berdiri menyapa Bagas. "Ada apa ya bang?" tanya Andre bingung. Tubuhnya yang hanya sampai 173 cm membuat ia harus mendongakan kepala saat berbicara dengan Bagas.

"Andre, boleh saya permisikan Gori, eh maksud saya Salsa. Kita lagi ada acara keluarga" ucap Bagas tenang.

Andre mengangguk, matanya berkeliaran mencari keberadaan Gori.

"Ri, abang lo jemput nih" teriak Andre sedikit kencang, agar Gori bisa mendengar suaranya. Berhubung angkatan mereka sampai 150 orang.

Gori berdiri sambil menyeret tas kampusnya. Jas lab gadis itu di ikatkan di pinggangnya.

"Ndre, kabarin hasil rapatnya ya!." ucap Gori sebelum berjalan kearah Bagas.

Layaknya seperti memperlakukan Bagas sama dengan para abangnya, Gori merangkul lengan Bagas. Tubuhnya yang hanya punya tinggi 162 cm benar-benar terlihat mungil di samping Bagas, hanya sampai seperut laki-laki itu.

"Kamu kenapa sih? Kok lemas banget?" tanya Bagas bingung melihat tingkah adik temannya yang tidak seperti biasanya.

"Patah hati bang. Gori pengen nangis" lirih Gori, yang kini menyandarkan tubuhnya di lengan Bagas.

Langkah Gori sudah seperti di serek oleh Bagas.

"Patah hati sama siapa? Sini bilang ke abang orangnya" ucap Bagas serius. Kakinya berhenti melangkah, membuat Gori juga ikutan melangkah.

Wajah sendu lengkap dengan mata berkaca-kaca Gori membuat Bagas menghela nafas. Di tariknya gadis itu kedalam pelukannya. Kakinya kembali melangkah berjalan, sambil merangkul Gori dengan wajahnya menghadap perut Bagas.

"Abang belum makan siang, makan dulu ya kita, baru pulang. Bang Aceng udah di resto" ajak Bagas sambil mengelus kepala Gori.

Gadis itu hanya mengguk pelan, enggan membuka suara, karena tahu suaranya pasti akan serak karena ia benar sedang menangis saat ini.

"Udah jangan nangis, nanti abang cariin cowok baru" hibur Bagas sambil membuka pintu penumpang untuk Gori.

Perlakuan Bagas yang sama seperti perlakuan Satria dan Kendrow membuat Gori merasa nyaman saat di samping laki-laki itu. Begitu juga dengan teman abangnya yang lain, bang Aceng, bang Rip dan bang Samsul. Itu semua panggilan sayang dari Gori kepada teman abang-abangnya. Bersyukurlah Bagas, karna namanya tidak di aneh-anehkan oleh Gori.

Begitu juga dengan Bagas, ia menyangi Gori sudah layaknya seperti adik kandung. Malah kalau di bolehkan Satria, ia bisa mengangkat Gori sebagai adiknya yang sah, dan masuk kedalam KK keluarganya. Sifat Gori yang manja, tomboy, blak-blakan, dan peduli membuat siapapun yang mengenal gadis itu pasti akan langsug sayang. Tapi entah laki-laki mana yang sudah mematahkan hati adiknya ini. Bagas tidak terima, tentu saja.

Lihatlah, selama di perjalanan, Gori hanya mendesah, lalu melamun. Begitu terus, sampai membuah Bagas pengen balik ke kampus Gori dan membawa laki-laki yang mematahkan hati adekknya ini untuk berlutut minta maaf.

Yang benar saja, masa gara-gara pria itu, Gori jadi pendiam seperti ini. Hilang sudah adiknya yang tukang bully dan cerewet.

"Mau pulang aja Ri? kok kayaknya enggak semangat sama sekali" ucap Bagas memecah keheningan.

Gori kembali mendesah berat, kepalanya menggeleng pelan. "Gori pengen makan es krim bang" ucap gadis itu tiba-tiba.

Tanpa menunggu respon Gori lagi, Bagas menepikan mobilnya saat melihat mini market. laki-laki itu segera masuk kedalam mini market dan meninggalkan Gori yang masih terlihat melamun di dalam mobil Bagas.

"Nih!!" Bagas meneyrahkan sebuah kresek putih besar kepada Gori.

Gadis itu menatap Bagas dengan bingung. Netranya berganti menatap Bagas dengan kresek yang berada di pangkuannya.

"Ini apa bang?" tanya gadis itu masih terlihat bingung.

"Tadi katanya mau es krim. Itu abang belikan" jawab Bagas, kemudian kembali menghidupkan mobilnya.

Gori bisa merasakan pahanya dingin. Mungkin karena efek es krim yang sedang ia pangku. Memeriksa isinya, Gori terbelalak tidak percaya. Bagas membelikannya es krim Magnum seplastik dengan varian rasa.

Gori menggeleng tidak percaya, kenapa abangnya yang satu ini begitu boros. Maksudnya beli es krim sampai seplastik begini apaan? Ya kali Gori bisa habiskan semuanya secara langsung, apalagi mereka harus makan siang dulu. Gori yakin, es krimnya pasti akan mencair. Sayang banget, lirih Gori pelan.

Obsession Love (DREAME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang