Lima

3.5K 379 4
                                    

Musyawarah besar atau Mubes pertama yang mereka lakukan adalah hari ini. Kampus sudah tampak kosong, lantaran Mubes selalu di mulai pukul 3 sore.

Gori yang baru selesai dengan kuliahnya pun tampak terlihat lelah. Untuk hari ini, mata kuliahnya penuh, belum lagi di tambah dengan Mubes yang pasti akan berlanjut hingga pukul sepuluh malam, melihat tingkat kepuasan dari senior.

Gori harus hadir, jika ia ingin angkatannya selamat. Sebagai biang kerok di angkatan, Gori selalu di jadikan sebagai pelampiasan. Para senior akan lebih sering bertanya pada Gori, dan itu akan berlangsung hingga tahap ke perkelahian jika jawaban Gori tidak memuaskan.

Netra matanya memandang kearah lobi kelas yang mulai tampak ramai dengan kedatangan senior. Mulai dari alumni, hingga senior yang masih sibuk dengan tugas akhirnya. Ada Dewa juga disana. Satu-satunya yang membuat moodnya naik hanyalah Dewa.

Tersenyum lebar, Gori melangkah dengan riang kehadapan laki-laki itu.

"Hai masa depanku" sapa Gori ramah saat sudah di depan Dewa. "Udah ganteng, pinter lagi. Ngerepotin perasaan orang aja bang" Gori berdecak. Matanya masih memandang Dewa dengan berbinar-binar.

Dewa mendengkus. Acara masih belum di mulai, gadis di depannya benar-benar membuatnya muak. Apa ia terlalu cepat datangnya?

Melirik jam tangannya, Dewa berdecak. Sudah lewat lima belas menit dari waktu yang di janjikan. Ia benci orang yang tidak bisa taat sama waktu dan janji. Maka dari itu, Dewa berjalan masuk kedalam kelas untuk menemui panitia, dan meninggalkan gadis itu.

"Lah, bang Dewa mau kemana? Nanti duduk bareng ya?" Gori mengikuti langkah Dewa menuju kelas.

Tidak menghiraukan gadis yang berada di belakangnya, Dewa masuk semakin dalam. Indra pendengarannya masih bisa menangkap suara Gori.

Dewa menghampiri salah satu panitia, yang saat ini berdiri altar kelas.

"Mulai jam berapa? Udah telat ini" desis Dewa.

Si panitia menunduk takut, matanya melirik ke kanan kiri berharap bisa menemukan sang ketua. Mimpi apa dia semalam, hingga hari ini harua menghadapi Dewa. Walaupun ganteng, tetap saja sifat Dewa seperti titisan iblis. Belum lagi ada Sasa, si calon senior garang nantinya.

"Eh, kumpulin dong dulu semua panitia, gue mau brifing bentar" perintah Gori.

Dewa menggeram. Berani-beraninya junior yang satu ini memotong dirinya.

"Lo ada masalah apa sama gue?" Sinis Dewa.

Masih dengan senyum lima jarinya, Gori menggeleng. "Enggak ada bang. Aku emang mau ngebrifing mereka dulu, sebelum acara dimulai. Abang tunggu di luar aja sebentar, okei" perintah Gori seenaknya, kemudian berjalan ke tengah kelas saat melihat semua panitia sudah berkumpul.

Melihat Dewa yang keluar dari kelas, Gori memerintahkan salah satu panitia untuk menutup pintu, agar memberikannya privasi. Tadi, saat jam makan siang, sebenarnya Gori sudah melakukan brifing. Hanya saja, melihat keterlambatan waktu seperti ini, Gori merasa harua kasih arahan lagi.

Wajahnya yang tadi memasang senyum lima jari kini berganti dengan wajah judes. Matanya memandangi para panitia satu-satu.

"Gue udah baca scrip kalian, udah lihat juga slide. Bahkan udah hapal tata denah. Semuanya udah di luar kepala gue. Jadi, gue bakal bantu kalian hari ini, asal kalian jangan mempermalukan gue. Ini acara kalian. Sempat saja nanti ada senior yang tanya, dan kalian gak tau jawabannya, saat itu juga gue jatuhin kalian dan gak bakal tolong. Paham kalian?" Tanya Gori serius.

Semua para panitia mengangguk dan menjawab paham dengan serentak. Memang, diantara semua SC, hanya Gori yang selalu mengarahkan mereka. Apalagi biasanya Gori yang selalu di serang oleh senior, membuat gadis itu harus hapal di luar kepala tentang pembicaraan mubes kali ini.

"Ini waktu udah ngaret. Kalian panggil semua senior buat masuk. Biar acara dimulai" perintah Gori lagi, dan langsung membubarkan panitia untuk mengerjakan perintah Gori.

Tata bangku sudah di bentuk seperti huruf U. Dimana pada bagian kanan, di isi oleh SC, dan bagian kiri di isi oleh panitia. Sedangkan di bagian atas di isi oleh senior. Sesuai permintaan Gori tadi, gadis itu tepat berada di samping Dewa. Dan di sebelahnya ada Andra, selaku komting kelasnya.

Acara mulai berjalan dengan damai. Hanya ada beberapa adu mulut yang terjadi. Dan seperti dugaan, Gorilah yang paling banyak di tanya mengenai kesiapan para panitia untuk pelaksanaan KBM.

Saat jam sudah menunjukan pukul 5 sore lewat, Gori bisa merasakan perutnya mulai perih. Ia lupa makan siang kali ini, karna terlalu sibuk membatu para panitia untuk menyiapkan mubes.

Gerakannya sudah mulai tampak gelisah, belum lagi bibirnya berkali-kali meringis. Tangannya yang tadi terparkir indah di atas meja, kini sudah turun kearah perutnya, meremasnya beberapa kali saat merasaka perih luar biasa.

Dewa dan Andre melihat ke gelisahan gadis itu. Dewa hanya menatap, sama sekali tidak berniat untuk menjawab.

"Lo kenapa?" Bisik Andre, yang masih bisa di dengar oleh Dewa.

"Magh gue kayaknya kambuh. Lupa makan siang. Ini gue gak boleh izin keluar buat makan gorengan dulu gak?" Bisik Gori yang juga masih bisa di dengar oleh Dewa.

Mendengar ucapan Gori, Andre menggeleng tegas. Tangannya langsung memegang lengan Gori, seakan tidak akan membiarkan gadis itu pergi. "Tahan bentar lah Sa! Entar kalau ada senior yang tanya, gue gak bisa. Please! Lo tau kan, mereka bakal libas kami kalau gak bisa jawab?" Pinta Andre memelas.

Gori bingung. Dia harus memilih antar melindungi panitia dan teman-temannya atau pergi keluar untuk makan. Karna percayalah, Senior sekarang yang tampak tenang karena ada Gori. Gadis itu tidak segan-segan jika ada senior yang membentak. Apalagi jika ia pergi keluar sebentar, bisa-bisa habis teman dan panitia di buat senior yang bisa merajarela.

Mengangguk pelan, Gori akhirnya memilih untuk menunggu sebentar lagi, sampai mahgirb.

Ia memilih untuk mengisi perutnya dengan air minum. Mengambil botol kemasan yang di depannya, Gori berusaha membuka tutuo botol. Tubuhnya yang lemah, dan tangan penuh keringat membuatnya kesusahan untuk membuka.

"Minta tolong kalau gak bisa!" Ujar Dewa yang langsung mengambil botol minuman yang di pegang Gori, membukanya dengan mudah, lalu kembali memberikan kepada gadis itu.

Gori tentu saja bahagia mendapat perlakuan itu. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum lima jari khasnya. Manis sekali, sampai Dewa mengerjab pelan.

"Jadi imamku, yuk!" Kalimat itu refleks terlontar dari mulut Gori. Gori kembali mengerjab, ada semburat merah di kedua pipinya, saat menyadari arti kalimatnya.

Obsession Love (DREAME)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang