Ini sudah terhitung tiga hari aku di Pelita Jaya. Dan, untuk kedua kalinya aku melihat laki-laki itu datang terlalu pagi, lebih awal dari kedatanganku.
Raffi.
Keadaan kelas masih sangat sepi. Belum ada yang datang. Kecuali, ya Raffi. Tentu saja, ini masih jam enam. Masih terlalu pagi.
Masih berada di depan pintu kelas. Aku melihatnya yang sedang menidurkan kepalanya diatas meja dengan tangan yang menjadi tumpuan bantalannya. Masih ragu untuk berjalan menuju mejaku sendiri. Terlalu malas untuk berdekatan dengannya.
Aku mendengus, mengingat hal yang sama seperti kemarin. Aku ragu untuk berjalan menuju mejaku sendiri karena ada Raffi di belakangnya. Aku sudah terlalu malu di depannya akibat dua hari lalu. Aku yang permalukan diriku sendiri di depannya.
Kemarin, aku bisa menuju mejaku sendiri tanpa harus melihatnya, menghiraukannya, menganggap dia tak ada. Aku bisa, meskipun memang sedikit aneh karena kami di dalam satu ruangan dan itu tidak ada satu pun suara yang keluar. Hanya keheningan yang ada.
Kalau kemarin bisa, itu berarti sekarang aku harus bisa. Biarpun nanti hanya hening yang mengisi.
Memang butuh dua kali berpikir kalo harus berhadapan dengan Raffi. Aku mulai memutuskan untuk berjalan menuju ke mejaku. Seperti kemarin, anggap Raffi tak ada.
Raffi mengubah posisinya. Sekarang dia sudah mengangkat kepalanya dan menegakkan tubuhnya untuk bersandar di kursi. Mata kami bertemu. Iya, setelah itu aku memilih untuk mengalihkan pandanganku dengan menunduk. Berjalan cepat ke mejaku.
Hening lagi.
Tanpa suara.
"Kayak anak kecil aja." Raffi membuka suara setelah beberapa detik aku mulai duduk di kursiku.
Butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan Raffi. Sungguh bodoh, sampai detik ini juga aku belum mengerti. Aku menoleh ke belakang. Menemukan Raffi dengan seringai senyumnya. Aku mengangkat daguku sekilas padanya, mewakili atas pertanyaanku 'apa' padanya.
"Handsaplast udah nggak pantes buat lo," ucap Raffi dengan datar.
Mataku melebar. Mengerti apa yang Raffi maksud. Ini pasti gara-gara handsaplast yang masih menempel di lututku. Luka di lutut kiriku yang sehabis jatuh dari sepeda hari Minggu kemarin. Dan itu, gara-gara Raffi.
Aku membalikkan tubuhku. Tidak mau melihat Raffi terlalu lama.
"Trus kenapa? Suka-suka aku dong mau dikasih handsaplast atau nggak. Emang harus anak kecil yang harus pake handsaplast? Trus ada yang ngelarang gitu? Eh ini luka juga gara-gar--"
"Belum sembuh juga? Apa lo doyan pake handsaplast?" sela Raffi dengan pertanyaannya yang membuatku ciut.
"Ra-kamu." Aku melanjutkan kalimatku yang sempat terpotong karenanya.
Sebenarnya sedikit kaget mendengar pertanyaan pertama yang dilontarkan Raffi. Begitu ambigu.
"Nggak penting buat kamu!" jawabku.
"Fine, terserah lo," balasnya tenang namun sedikit mengesalkan.
"Dasar cowok," ucapku seraya memutar tubuhku untuk berhadapan dengannya lagi. "Aneh," lanjutku menekankan kata itu di depannya.
Raffi sudah mengubah posisinya lagi seperti awal. Menidurkan kepalanya lagi diatas meja. Tidur lagi?
Aku mendengus. Percuma kalo ngomong sama dia pasti tidak dihirauin. Aku membalikkan tubuhku lagi ke depan. Males kalo harus melihat dirinya berlama-lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainy Time
Teen FictionHujan membawanya dalam kebahagiaan. Dalam waktu, ia diajarkan bagaimana saat hujan bersamanya. Mengajarkan dirinya menjadi sosok yang kuat, lebih tegar dalam kerapuhannya. Meskipun sekilas bersama hujan, ia tahu pada akhirnya luka yang dideritanya p...