1 : First

568 20 1
                                    

■Raffi

Aku menatap kursi-kursi meja makan didepanku yang tidak diduduki oleh siapapun. Hanya aku yang berada di meja makan. Menatap meja makan seperti ini membuatku malas untuk menyantap roti bakar yang telah disiapkan Bi Nah. Sudah hampir dua tahun semenjak mama pergi, aku terbiasa makan sendiri seperti ini tanpa ditemani oleh siapapun.

Mataku beralih saat roti bakar berselai coklat ada didepanku. Bi Nah yang menaruh roti bakar itu tepat didepanku. Bi Nah menatapku dengan prihatin. Seolah dia tahu apa yang aku rasakan saat ini. Ya, dia sangat mengetahuiku. Bi Nah tahu segalanya tentangku dari aku masih kecil, karena beliau sudah mengurusku sejak umurku lima tahun.

"Nak Raffi dimakan rotinya, nanti nggak anget loh!" ujarnya menyuruhku untuk memakan roti bakar yang berada di depanku.

Aku mengangguk, mengiyakan perintahnya.

"Bi, Papa pulang jam berapa?" tanyaku sambil memotong roti bakar itu dengan santai.

Bi Nah terlihat seperti menelan ludahnya sendiri saat aku menanyakan tentang Papa. Aku tahu Bi Nah sulit untuk menjawabnya. Aku tahu Bi Nah tak mau melihatku sedih karena aku selalu menanyakan hal itu kepada Bi Nah. Tapi apapun itu, Bi Nah selalu menjawab pertanyaanku dengan jujur.

"Bapak baru pulang tadi sekitar setengah empat, bapak sih nggak lama kesini. Kesini cuma ngambil baju abis itu ke bandara. Katanya bapak sih ada proyek di Surabaya. Trus katanya juga bapak cuma sehari aja disana," jelas Bi Nah.

Aku terdiam mendengar penjelasan Bi Nah barusan. Membuat paru-paruku kembali merasakan sesak yang sama berulang kali. Bi Nah menarik nafasnya, seakan dia merasa bersalah melakukan itu. Bi Nah melihatku dengan tatapan khawatir. Sekali lagi, dia sangat tahu perasaanku saat ini.

"Aku nggak apa-apa, Bi." Aku mencoba memberi tahu Bi Nah bahwa aku baik-baik saja.

Bi Nah tersenyum kepadaku dan mengangguk mengerti ucapanku.

"Makasih ya, Bi," ucapku lalu membalas senyumannya.

"Iya, Bibi permisi dulu ya. Mau nyuci baju soalnya," pamitnya lalu berjalan ke dapur.

Aku menatap punggung Bi Nah yang mulai menjauh, lalu aku kembali menatap roti bakarku yang belum sempat aku makan. Aku masih belum nafsu untuk sarapan. Bayang-bayang kebersamaan dulu saat Mama belum pergi meninggalkanku tiba-tiba muncul begitu saja. Dulu, meja makan ini penuh dengan kebersamaan aku, Mama dan Papa. Tetapi dua tahun belakangan ini semua berubah. Tak ada lagi pecah tawa yang mengisi ruang makan ini.

Sejak mama meninggal dua tahun lalu. Semuanya berubah. Terutama Papa. Papa yang sekarang sok sibuk dengan pekerjaannya. Papa yang selalu pulang larut malam dan berangkat sebelum matahari muncul. Sampai akhirnya aku sangat jarang bertemu dengan Papa. Bahkan bisa terhitung aku hanya beberapa detik bertemu Papa. Entah dirumah atau disekolah. Itu saja aku tidak pernah berbicara apapun. Padahal ketika Mama belum meninggalkanku dan Papa. Papa selalu pulang kerja tepat waktu.

Papa seperti melantarkanku begitu saja. Kalau dulu orang yang paling maju buat memperhatikanku adalah Papa. Sekarang Papa adalah orang yang paling tidak peduli terhadapku. Aku yakin sekarang, mungkin papa lupa bahwa adanya aku di dunia ini. Yang dia ingat hanya pekerjaannya.

Dan satu hal lagi. Aku tak yakin kalau Papa terus bekerja tanpa ada waktu istirahat yang panjang. Minggu yang seharusnya dipakai untuk waktu bersantai, Papa malah tidak ada dirumah. Ia lebih memilih ke kantor dan mengurus pekerjaannya.

Aku mencurigai hubungan Papa dengan Tante Nita. Tante Nita yang notabenenya adalah sahabat Mamaku. Aku pernah melihat Papa dan perempuan itu sedang berjalan bersama di salah satu Mall dan mereka terlihat sangat akrab bahkan serius saat berbicara. Aku memang belum tahu pasti, tapi aku yakin itu sebabnya Papa hanya punya sedikit waktu dirumah. Aku rasa Papa sering menginap dirumah Tante Nita dan tentang pekerjaannya yang super itu adalah Bullshit.

Rainy TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang