9 : Mencintai Air Langit

753 52 3
                                    

Satu hari kemarin absen dari sekolah rasanya sangat membosankan bagi Fana. Berada di rumah seharian karena harus beristirahat. Iya, karena kejadian malam itu, keesokkannya Fana harus beristirahat total di rumah. Hari ini, ia sudah masuk sekolah kembali. Meskipun sebenarnya Tere belum mengizinkan Fana untuk bersekolah hari ini tapi Fana memberontak, ia tetap ingin sekolah karena takut ketinggalan pelajaran. Akhirnya Tere membuat keputusan untuk mengizinkan Fana pergi ke sekolah dengan syarat diantar jemput oleh Tere dan mulai hari ini Fana tidak diizinkan membawa sepeda karena kekhawatiran Tere yang begitu takut dengan keadaan Fana.

Fana berjalan di sepanjang koridor menuju kelasnya. Dengan sengaja Fana berhenti sejenak di depan mading yang terpampang di koridor. Sekedar melihat-melihat isi dalam mading tersebut. Matanya seketika berhenti pada puisi yang ditulis diatas kertas biru muda. "Mencintai Air Langit". Jari-jarinya terangkat untuk menyentuh permukaan kertas biru muda itu. Ingin merasakan bagaimana perasaannya saat membaca puisi tersebut.

Kehadiranmu yang tiba-tiba turun dari langit biru mampu membangkitkan semangat hidupku

Ketika kau mulai dengan aksimu,
Caramu yang berisik dan mampu mengecoh suasana yang menari-nari diatas genting
Menandakan bahwa kau adalah periang

Aku suka saat kau mengganggu tanah kering yang sedang menikmati hangatnya Matahari

Karena...
Sifat pengganggumu itu sukses membuat paduan aroma khas hujan itu muncul.

Aku suka menatapmu yang memberi sentuhan pada bunga
Seakan menjadikan kehidupan itu semakin indah

Aku juga suka saat kau berhenti dengan aksimu
Kau menyisakan pelangi yang indah

Sangat indah, sampai perasaanku telah jatuh dan bilang bahwa aku mencintaimu

Aku mencintai air langit -RAP-

Fana memejamkan matanya sekilas saat ia menghembuskan nafasnya berat. Tentang seseorang yang sangat mencintai hujan rupanya.

"Raffi Andrian Pramana," ucap seorang dibalik belakang tubuh Fana. Fana membalikkan tubuhnya dan menemukan Opi yang sedang senyum kepada Fana. "Kenapa? kagum sama puisi buatan Raffi?" tanya Opi saat Fana menatapnya kebingungan.

"Itu puisi buatan Raffi?"

"Iya, kenapa? Nggak percaya? Dari inisialnya aja udah ketauan kalo itu singkatan nama Raffi." Opi tersenyum geli saat Fana menunjukan wajah bingungnya.

"Kenapa kamu yakin banget kalo itu puisi Raffi? Kalo ternyata itu inisial nama orang lain gimana?"

"Lebih dari yakin kalo itu puisi punya Raffi. Soalnya, puisi itu gue yang nemuin di buku tulis Raffi. Kertas itu keselip di dalam bukunya. Tulisannya aja coba lo liat deh, itu kan tulisan Raffi."

"Aku mana tahu tulisan Raffi, aku nggak pernah lihat tulisannya. Kalo kamu wajar, dari dulu kamu deket sama dia," balas Fana matanya meneliti tulisan di kertas biru muda, puisi milik Raffi.

"Terus puisi Raffi yang nempelin di sini siapa?" tanya Fana menoleh ke Opi yang berada di sebelahnya.

"Guelah haha, abisnya gue pikir itu puisi bagus buat di pajang," jawab Opi diselingin tawa renyahnya. "Eh, Raffi juga belum tau kalo gue nempelin puisinya."

"Kamu nempelin puisinya tanpa bilang ke Raffi? Kalo dia nyariin gimana?" tanya Fana yang sepertinya agak panik.

"Kalo gue bilang dulu, pasti dia nolak puisinya buat dipajang disini, Fan. Kalo dia nyariin? itu nggak mungkin. Dia pasti bakalan cuek bebek. Karena sebenarnya, gue dulu juga pernah nemuin puisi karya dia. Gue juga pajangin puisinya waktu itu tapi dia cuek-cuek aja nggak nyariin puisinya."

Rainy TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang