Bakal ada bencana besar sepertinya.
Aku baru saja menabrak Raffi dari belakang. Hingga tubuhku jatuh bersamaan dengan tubuhnya. Sulit untuk dipercaya. Tangan kanan Raffi menahan tubuhku yang jatuh disampingnya. Tidak mengerti bagaimana Raffi bisa secepat itu menahan tubuhku dengan cepat.
Waktu seakan berhenti. Kami berdua terpaku dalam posisi yang tidak bisa kami jelaskan. Posisi kami yang sangat dekat. Mata kami yang saling bertemu. Raffi dengan tatapannya yang berbeda. Bukan tatapan tajam yang menusuk seperti kemarin-kemarin. Kilauan matanya tersirat ke-khawatiran.
"Raffi!" suara teriakan Riska memanggil Raffi.
Suara teriakan Riska itu sontak menyadarkanku bahwa waktu kembali berjalan.
"Ma-maaf, Raf," maafku seraya bangkit. Duduk untuk sekedar membersihkan kerikil-kerikil dari baju olahragaku. Beruntung tanganku tidak ada yang luka sedikit pun.
"Raffi, tangan kamu nggak apa-apa kan?" tanya Riska khawatir. Sontak aku mendongak ke atas. Sekedar melihat Raffi yang sudah berdiri. Sengaja untuk melihat tangannya yang sedang dipegang Riska. Tangan Raffi... memar. Ada luka gores terlihat jelas disana.
Itu, pasti karena dia menahan tubuhku. Raffi rela membiarkan tangannya terkena aspal lapangan yang kasar.
"Nggak apa-apa, cuma kayak gini doang. Nggak ada sakit-sakitnya," ucap Raffi sambil mengusap luka gores di tangannya. Menghilangkan kerikil-kerikil kecil yang menempel pada tangannya.
"Tapi merah-merah gitu," Riska masih memperhatikan luka di tangan Raffi. Tak lama dari itu, matanya dengan cepat beralih kepadaku. Seperti biasanya, dengan sinis. "Enak lo ya, sengaja nabrak Raffi biar bisa deket gitu maksudnya? Munafik banget. Liat nih gara-gara lo tangannya jadi merah-merah gini!"
Aku menunduk. Merasakan kepalaku yang semakin pusing. Mencoba melihat dengan jelas dengan pandanganku yang semakin kabur. Aku memejamkan mataku sekilas lalu mencoba lagi untuk melihat. Masih kabur.
Tiba-tiba sebuah tangan mengangkat tubuhku untuk membantuku berdiri. Tangan Opi. Dia tiba-tiba datang menghampiriku.
"Lo nggak apa-apa kan?" tanya Opi menatapku masih dengan memegang tubuhku. Aku menggeleng. Memberitahu Opi bahwa aku baik-baik saja.
"A-aku nggak sengaja, Ris," balasku menatap Riska lalu beralih menatap sekitar. Meskipun buram, aku tahu bahwa seluruh pasang mata sedang menonton kami pada saat ini.
"Nggak sengaja? Kalo nggak sengaja emang mata lo kemana?" tanya Riska terdengar sarkastik.
"Stop Ris! Biarin aja," ujar Raffi datar. Menarik tangan Riska untuk menjauhiku.
"Tapi Raf, tunggu!" Riska menepiskan tangan Raffi. Lalu mensejajarkan tubuhnya di depan Opi. "Dan lo, Pi. Temen baru lo itu bilangin ya, dia tuh jangan kegatelan jadi orang. Munafik banget bilang nggak sengaja tapi sengaja buat deket-deket Raffi. Jangan cari perhatian deh," ucap Riska dengan mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Opi.
"Riska!" suara Raffi sedikit meninggi. Seperti ingin memperingati Riska untuk menghentikan ucapannya.
"Apa? Fana gatel? Riska, lo yang seharusnya ngaca! Dari dulu tuh lo yang paling gatel ngedeketin Raffi mulu. Sadar dong dia itu bukan siapa-siapa lo!" sembur Opi menepis tangan Riska yang berada tepat di depan wajahnya.
Riska membalas perkataan Opi. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, karena yang aku rasakan sekarang adalah pusing di kepalaku. Opi dan Riska masih terus saling berdebat. Tidak ada yang menghentikan mereka sepertinya. Dan Raffi hanya diam. Meskipun tidak jelas, aku tahu bahwa Raffi saat ini sedang menatapku lurus-lurus. Bukan dengan mata tajamnya. Sirat matanya seperti menatap awas melihatku. Tidak pernah lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainy Time
Ficção AdolescenteHujan membawanya dalam kebahagiaan. Dalam waktu, ia diajarkan bagaimana saat hujan bersamanya. Mengajarkan dirinya menjadi sosok yang kuat, lebih tegar dalam kerapuhannya. Meskipun sekilas bersama hujan, ia tahu pada akhirnya luka yang dideritanya p...