2. Kesialan yang hakiki

803 134 9
                                    

Terik matahari begitu menyengat siang itu. Terlihat Jelita dan Dara duduk diantara ratusan pasukan berbaju warna putih dan bawahan hitam. Mereka duduk di lapangan basket di bawah terik matahari.

"Jadi apa kalian sudah paham?!" Ucap seorang pria berjas almamater yang berdiri di depan dengan memegang payung bersamanya. Suara sok lantangnya keluar dari toa yang ia pakai dan menembus ke setiap sudut kampus.

"Siap! paham!" Ucap ratusan mahasiswa baru itu secara bersamaan. Membuat suara lantang mereka terdengar ke segala penjuru.

"Kalau begitu, kalian boleh pulang sekarang untuk mempersiapkan alat-alat yang diperlukan. Dan ingat! Besok jam 5 pagi sudah harus ada di kampus! Yang tidak tepat waktu, akan di tinggalkan dan tidak akan di berikan sertifikat! Ingat! Sertifikat merupakan salah satu syarat yang harus di penuhi agar kalian bisa meja hijau. Jadi kalau tahun ini kalian tidak dapat, haha silahkan ulangi di tahun depan! Selamat siang!" Ucap pria itu panjang lebar dan di selingi ancaman yang membudaya di setiap kampus. Ancaman tidak bisa sidang jika tidak mendapatkan sertifikat dari satu pelatihan tertentu. Heck!

Jelita dan Dara menyusuri jalanan kampus yang teduh dengan pepohonan rindang di kanan kirinya. Kampus mereka cukup luas dengan berbagai jurusan yang berbeda. Dan gedung jurusan ekonomi bisa terbilang cukup jauh dari gerbang utama kampus. "Lo punya ransel?" Tanya Dara sembari mereka melanjutkan langkahnya.

Jelita menggelengkan kepalanya. "Enggak. Ini mau beli aja." Jawab Jelita.

"Bareng ya Jelita. Gue cuma punya ransel ini sih, tapi kecil. Yang muat palingan dompet sama handphone." ucap Dara.

Mereka tampak lesu karna sudah di jemur oleh senior sedari tadi. Dengan alasan membangun kedisiplinan, para seniornya itu berlagak sesuka hati membuat para mahasiswa baru merasa terzalimi dengan di jemur dibawah terik matahari. Mengumandangkan perintah belok kanan, belok kiri, yang tak ada hubungannya dengan pengenalan kampus.

"Iya.. iya.. aku juga malas kalau ke mall sendiri." ucap Jelita setuju.

"Eh, btw untung tadi kita selamat ya." ucap Dara cekikikan.

"Iya..iya..", jawab Jelita antusias. "Untung banget tadi ada tangga kelantai dua. Jadinya bisa sembunyi deh. Kakak itu ganteng-ganteng seram iih." sambung Jelita dengan kekehan renyah terdengar dari suaranya.

"Haha iya untung banget." balas Dara dengan tertawa lebar.

Namun yang terjadi, 15 jam kemudian..

Rombongan fakultas ekonomi telah sampai di pinggiran hutan lindung. Kanan dan kiri mereka di kelilingi oleh tumbuhan hijau, semak belukar dan pepohonan yang menjulang tinggi. Bahkan para hewan liar pun bersembunyi didalam hutan itu.

Dara dan Jelita saling pandang dengan wajah yang sedih. Mengisyaratkan kesialan yang haqiqi yang telah datang menghujam mereka. Keduanya saling meneguk saliva masing-masing saat dilihatnya siapa kakak pembina untuk kelompoknya. Ya, dialah Reno Radiyan Purnomo dan sahabatnya Gilang Hesa. Senior yang sudah mereka tandai wajahnya dan ingin hindari.

"Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam" gerutu Jelita. Jelita menutup wajahnya dengan telapak tangan dan tertunduk dalam

"Tenang aja. Dia nggak kenal kita kok. Ya walau, sial banget bisa masuk kelompok ini!" ucap Dara menenangkan walau sebenarnya ia juga takut.

"Oke adik-adikku yang cantik dan yang tampan..", ucap Gilang memulai bicaranya. Sementara Reno berdiri disampingnya dengan tangan yang tersimpan di saku celananya. Terlihat maco dan cool.

Dapat Jelita dengar saat beberapa wanita di kelompoknya maupun kelompok lain, berbisik-bisik membicarakan ketampanan Reno. Termasuk juga lesung pipinya yang tercetak di kulit putih Reno yang membuat wanita begitu berdebar.

Jelita PermataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang