Prolog

684 21 2
                                    

Suara denting bel di pintu masuk menggema kembali. Seseorang datang mengenakan payung yang telah dilipat dengan air masih menetes disetiap ujungnya. Aroma kopi menguar memenuhi seluruh ruangan, disertai kepulan kepulan kecil dari setiap cangkir di meja yang menghangatkan sementara diluar sana hujan mengguyur tanpa ampun. Sesekali barista memainkan keahliannya dibalik meja bar. Tak banyak pengunjung sore ini. Hanya seorang pria berjas hitam dengan pekerjaannya yang berserakan diatas meja, sepasang orang sepuh di sudut ruangan, dan seorang wanita berusia akhir 20 sedang duduk menikmati cokelat hangat di samping jendela kaca.

"Maaf aku telat." Wanita itu mendongak mendapati pria yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga.

"Aduh mas, kok hujan-hujanan? Kan aku udah bilang kalo hujannya masih deres mas tunggu sampe reda aja. Nanti kalo mas sakit gimana?" Cerca sang wanita sambil kembali mengamati pakaian yang pria itu kenakan hampir seluruhnya basah. Bahkan rambut dan wajahnya pun masih menitikan air sedikit demi sedikit.

"Aku gamau kamu nunggu terlalu lama lagi, Na." Pria tadi mengambil tempat dihadapan Rana.

"Aku kan udah biasa nunggu mas Bima." Rana tersenyum jahil.

"Kamu nyindir aku?!" Rana terkekeh pelan melihat ekspresi Bima yang terkejut.

"Aku ga bermaksud buat nyindir. Tapi kan emang kenyataannya gitu kan, mas?" Rana memanggil salah seorang pelayan dan memesan Affogato panas untuk Bima.

"Sampe kapan kamu mau manggil aku mas? Aku berasa tua banget tau ga." Cibir Bima seraya menggulung lengan seragam dorengnya.

"Kan mas emang tua. Soooo old." Rana mengerling jahil ke arah Bima yang disambut dengan cubitan dikedua pipi wanita itu.

"Aku ga setua itu. Cuma beda 5 tahun." Bima merentangkan telapak tangannya ke hadapan Rana yang disambut dengan tepisan keras dari Rana.

"Ishhh. Yauda. Aku panggil, kakak Bima."

"Pintar." Bima mencubit pipi kanan Rana gemas.

"Aku berasa adenya kakak." Rana mencari sesuatu dari dalam tasnya.

"Emang kamu maunya apa aku?" Rana menghentikan aktivitasnya untuk menatap Bima yang sedang melipat tangan keatas meja seraya menatapnya jahil.

"Yauda kalo gamau ngakuin aku." Rana mengeluarkan sebuah kaos dan celana panjang dari dalam tasnya.

"Mama kakak tadi nitip ini. Katanya baju kesayangan kakak ketinggalan pas kemarin pulang ke rumah."

"Mama aku yang nitip atau kamu yang minta?" Bima mengerling jahil pada Rana.

"Ishhh! Yauda kalo gamau dipake juga gapapa." Bima langsung cepat - cepat mengambil pakaian itu dari atas meja dan membawanya ke kamar mandi. 10 menit kemudian Bima kembali dengan baju basah yang telah dilipat rapih.

"Makasi yaa." Bima mengacak pelan rambut Rana sebelum duduk dihadapannya.

"Aku bukan anak kecil lagi kak. Udah 27 bentar lagi 28!" Rana menyesap kembali coklat hangatnya.

"Udah 27 bentar lagi 28, tapi kelakuannya masih kaya anak SMA." Rana menyipitkan matanya menatap Bima sebelum akhirnya pria itu menyerah. Rana tidak dalam mood yang baik sepertinya.

"Kamu kenapa, Na?" Bima menatap Rana lekat-lekat berusaha mencari sesuatu yang disembunyikan wanitanya.

"Gapapa, kak." Rana menghindari tatapan Bima dengan mengamati hujan diluar.

"Aku ada tugas ke Maluku. Mungkin satu atau dua bulan. Susah buat pulang, tapi aku usahain buat pulang kalo kamu mau." Seperti biasa, Rana hanya menggeleng dan tersenyum pada Bima.

"Aku bakal ngurus semuanya sama mama dan bunda aku. Nanti kakak pulang dan kita pastiin semuanya." Rana menggenggam jemari Bima yang terasa dingin dibawah kulitnya.

"Tapi, na..." Bima ingin wanitanya mengatakan semua ketakutan yang dia rasakan. Dia ingin Rana mengatakan bahwa dia takut setiap kali Bima pergi, dia ingin Rana mengatakan bahwa dia mau Bima selalu ada untuknya, atau hal-hal yang dulu kerap kali menjadi sumber perselisihan mereka. Setahun berlalu tanpa perselisihan mengenai itu membuat Bima merasa Rana tak lagi menginginkan dia tinggal.

"Aku mau kakak disini sama aku. Tapi kakak juga punya tanggung jawab sama negara ini. Aku harus siap berbagi kakak waktu aku setuju jadi bagian hidup kakak. Lagi juga bukan kerusuhan atau sejenisnya kan, kak?" Bima mengangguk pelan.

"Dan kakak tau, aku bakal terbang kesana secepat mungkin kalo kakak sakit. Aku bakal jadi dokter pribadi buat kakak sejauh apapun kakak pergi." Rana mengedipkan sebelah matanya sebelum menarik tangan dari genggaman Bima.

"Aku gaada shift malem hari ini. Kakak berangkat kapan? Jalan dulu yuk?" Rana membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas.

"Aku berangkat besok malem." Rana menghentikan semua gerakannya seketika.

"Mau aku bantuin kakak packing?" Bima menggeleng pelan.

"Harus ada beberapa berkas yang aku urus sebelum pergi agak lama." Hening sejenak melingkupi mereka.

"Oh yauda kakak mending pergi sekarang aja. Beresin semua biar kakak bisa cepet packing dan istirahat."

"Rana...." Bima menarik tangan Rana ke dalam genggamannya.

"Aku gapapa, kak." Rana mengusap lembut pipi Bima. Menekuri tulang pipinya yang tegas hingga ke rahang dan dagunya.

"Aku pergi?" Rana mengangguk dan menarik tangannya dari wajah Bima.

"Take care, Bima.." Bima tersenyum mendengar kebiasaan Rana menyebut namanya tanpa menggunakan embel-embel Kak ketika mengucapkan take care.

"Sampe ketemu dua bulan lagi." Bima mengangkat bajunya yang mulai lembap.

"I'll miss you, Kirana." Bima mengusap pipi lembut Rana sebelum pergi keluar dari kedai kopi tersebut.

Rana hanya dapat memandangi punggung Bima yang menghilang dibalik pintu kedai. Bibirnya mengucapkan I'll miss you, too tanpa suara. Wanita itu kembali menyesap coklat yang tak lagi hangat. Ia memandangi keluar jendela kaca besar disampingnya yang menjajakan pemandangan kota dimalam hari setelah hujan mulai reda. Berulang kali ia merapalkan dan meyakinkan diri bahwa dia telah setuju untuk berbagi Bima. Tidak hanya untuk dirinya, tapi untuk keluarga Bima, keluarganya, sahabatnya, bahkan untuk negaranya sendiri.

Stole Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang