Bagian III : Kembali ke dalam garis

9 2 0
                                    



Selepas aku menguburkan orang berbaju zirah hitam itu tepat di belakang rumah dan mengubur baju zirah yang ia kenakan di liang berbeda. Saat itu aku melepas baju zirah yang ia kenakan karena bagi anak umur 7 tahun yang ingin menguburkan seorang yang ia bunuh, baju zirah hitam itu terlalu berat. Yang membuatku terkejut ternyata ia adalah seorang wanita, seingatku aku tak pernah bertemu ataupun melawan orang-orang dengan baju zirah hitam yang di punggungnya terdapat gambar anjing berkepala lima yang menggigit seluruh Rodjord.

Saat itu kami sempat beradu mantra, aku rasa dia bukan orang sembarangan karena dia dapat mengeluarkan mantra negatif tingkat tinggi yang akan langsung membuat seseorang mati dan menjadi debu. Mantra itu adalah nahraka smrtichi prach, termasuk kedalam mantra tingkat tinggi aku mengetahuinya ketika mendatangi Lazzarrus untuk melakukan penelitian dan pembuatan mantraku sendiri.

Tapi untungnya mantra yang ia keluarkan hanya mengenai salah satu dari boneka tiruanku yang hidup, dan menyisakan tiga. Sebelum ia mengeluarkan mantra-mantra berbahayanya lagi aku mengikatnya dengan mantra yang ku keluarkan dari ketiga boneka tiruanku, dan memenggal kepala perempuan itu dengan sekali tebas ke lehernya yang terlindungi helm. menggunakan mantra, sabia flacara a mortiij mantra itu berbentuk pedang api. Dan itu kulakukan setelah menghindari banyak tebasan pedanganya dan saat di kamarku tebasan pedangnya mengenai rak buku dan menjatuhkan jimat tsiganiku. Jimat itu adalah tiga bulu yang diikatkan dengan akar dan di kaitkan ke sebuah tali, tentunya itu adalah benda keramat bagi yang lulus ujian tsigani.

Rodjord adalah sebutan dari keseluruhan wilayah yang membentang dari ujung Strejner sampai Argya. Ada sekitar 15 wilayah kerajaan yang terhampar di seluruh Rodjord. Sekarang ini, aku menetap di Strejner dan kedepannya aku akan mengelilingi seluruh kerajaan untuk melakukan ekspedisi.

Setelah aku mengambil tas kecil dari kulit yang ia kenakan di pinggangnya yang ternyata di dalamnya berisikan surat dari kedua orang tua ku. Pikiranku benar-benar kacau saat itu dan menjatuhkan diriku berbaring di kasurku ditemani lentera yang menyala di sudut kanan kamarku sembari memegang surat dari Ayah dan Ibu yang ternyata isinya sama persis seperti 33 tahun yang lalu. Aku tak mengerti hubungan antara kejadian 33 tahun lalu dan kejadian saat aku kembali ke masa ini.

Jika kejadian yang kuingat, aku mengetahui rumah telah kosong dan sepucuk surat tertinggal di atas meja makan, tak ada orang berzirah hitam, aku tak dapat menguasai mantra dengan baik. Namun hal itu terjadi sebaliknya, Saat kami berdua beradu mantra, tak kusangka mantra yang pernah kupelajari tidak hilang dan jimat dari ujianku selepas menjadi Tsigani ternyata ikut terbawa kembali ke masa ini, kutemukan saat aku sedang beradu mantra dengannya dan terjatuh dari rak buku yang ada di kamarku.

Seharusnya sama persis jika memang ini duniaku 33 tahun yang lalu, tapi pada kenyataan sekarang ini sangat berbeda jauh, dan benar hari ini adalah hari selasa. Rasanya enggan aku memikirkan kejadian-kejadian ini, aku pun mulai memejamkan mata tak berharap apapun hingga aku tertidur.

Perlahan-lahan aku mulai merasakan tubuhku sedang diguncang-guncang oleh seseorang, aku pun samar-samar mendengar namaku dipanggilnya, "Hey...., bangun Deva! Hey, bangun!" Sembari terus berusaha membangunkanku ia terus-terus memanggil namaku, dan setelah beberapa saat aku pun membuka mataku perlahan. Ternyata itu adalah Indra, aku dapat melihatnya dengan jelas karena sinar matahari menembus jendela kamarku yang entah kapan terbuka.

Spontan aku bertanya kepadanya, "Kau datang dengan siapa?". Aku pun berusaha bangun dan beranjak dari kasur sembari menunggu jawaban Indra. Karena pikirku dia akan datang bersama Lani, adiknya. Ternyata aku tak harus mendapatkan jawaban darinya, ketika aku berjalan keluar kamar dan melihat Lani berdiri di ambang pintu rumahku yang terbuka.

"Masuklah!" Kataku singkat, sembari berjalan menghampirinya untuk memastikan apakah ingatanku ini benar atau tidak jika mereka hanya datang berdua. Karena jika benar, setelah ini kami bertiga akan menuju panti asuhan tempat Indra dan Lani tinggal. Ia berjalan masuk ke dalam rumah, dan langsung menuju Indra yang sekarang sedang ada dibelakangku.

"Apa yang terjadi semalam? Rumahmu sangat berantakan dan banyak barang-barang yang hancur," Tanyanya kepadaku, seisi rumahku porak-porandah hancur karena kami saling beradu mantra, meja, kursi, vas bunga, lampu minyak dan seisi rumah banyak yang rusak dan tak dapat dipakai lagi. Tapi setidaknya semalam setelah aku menguburkan orang itu, rumah ini sempat ku bersihkan.

"Waktu yang tidak tepat untuk bercerita, lebih baik kita menuju panti saja," Kataku sembari masuk ke dalam kamar, untuk berkemas.

"Kalian pergilah dahulu, nanti aku susul, dan aku akan menceritakannya kepada kalian," Tandasku.

"Baiklah, aku tak memaksamu, aku duluan," Jawab Indra sembari menggandeng tangan Lani berjalan keluar.

Setelah selesai berkemas dan mandi, tak lupa aku memasukkan surat, pena, sebuah buku kosong dan sebotol tinta kedalam tas kecil. Aku pun keluar rumah dengan menggendong sebuah tas besar yang berisikan pakaian dan makanan yang bisa ku bawa pergi dan sebuah tas kecil di pinggangku.

Seharusnya tidak seperti ini, karena yang aku ingat mereka datang dan kemudian menanyakan kenapa aku terlihat sedih dan rumahku amat sepi. Jika ingatanku tidak salah, 33 tahun yang lalu merekalah yang mengajakku tinggal di panti asuhan.

Tapi sekarang semua sudah tidak seperti yang aku ingat 33 tahun yang lalu, dan aku sedikit demi sedikit kehilangan beberapa ingatanku karena segala sesuatu yang ada tidak berjalan dengan semestinya. Saat aku tertidur semalam, suara itu berkata bahwa aku harus terus berjalan sesuai garis yang telah aku lewati hingga aku berakhir kembali ke masa ini. Sambil terus berjalan menuju panti asuhan, aku terus memikirkan kenapa suara itu berkata seperti itu.

Sekuat apapun aku berusaha mengingat kenapa aku kembali ke masa ini, tetap saja aku tak dapat mengingatnya. Tato ditangan kananku pun masih menjadi misteri, kenapa ia tak ikut kembali seperti sedia kala dank arena itu aku selalu mengenakan pakaian yang berlengan panjang. Aku tak ingin orang-orang mengetahui apa yang tertulis di sepanjang lengan tanganku, adalah sekumpulan mantra kuno yang terus berkembang seiring waktu aku memepelajari mantra dan menjadi tsigani. Mantra yang menjadi tato di tangan kananku ini seperti memiliki kehidupan sendiri dan terus berkembang.

Ada ide yang terpikirkan olehku, untuk mencatat satu-satu nama orang yang aku temui agar aku dapat kembali ke garis yang dimaksudkan suara dalam mimpiku itu. Tapi anehnya aku tak ingat sama sekali detail kejadian sebelum aku berakhir di 33 tahun yang lalu ini. Selain itu ada hal yang membuatku janggal sebelum aku kembali lagi di hari selasa kemarin, kenapa aku bisa kembali di hari yang sama tapi melewatkan momen saat orang tuaku berangkat ke kerajaan utama.

Dari jalanan utama desa yang sangat ramai lalu-lalang warga desa, kereta-kereta yang ditarik kuda, pedagang ataupun para ahli sihir yang sedang melakukan perjalnan dan ekspedisi, di ujung sana aku dapat melihat bangunan yang cukup besar yaitu panti asuhan tempat Indra dan Lani tinggal. Tiba-tiba saat berjalan aku teringat kejadian, dan hal itu akan segera terjadi.

Tak lama setelah aku mengingat kejadian apa yang akan terjadi, dari kejauhan terdengan suara seseorang berteriak dengan lantangnya, "Beri Jalan! Minggir!". Di susul dengan suara hentakan tapal kuda yang beradu dengan jalanan desa yang tersusuh dari batu-batu. Ia terus meneriaki orang-orang yang sedang ada di tengah agar minepi. Ya, mereka semua adalah utusan dari kerajaan Utama yang sedang melewati desaku untuk pergi menjaga perbatasan yang tak jauh dari desa ini. Pasukan kerajaan dengan baju zirah berwarna perak, dan tentunya mereka adalah orang-orang yang berbeda dengan orang yang kubunuh semalam.

Sesampainya di depan Panti Asuhan, Indra dan Lani menyambutku. Mereka berdua mengajakku masuk untuk bertemu dengan pemilik panti asuhan. Sebelum aku meminta ijin untuk tinggal di sini, kuambil surat dari Ayah dan Ibu dari dalam tas pinggangku untuk kuserahkan kepada pemilik panti asuhan. Panti asuhan ini di kelolah oleh sepasang suami istri yang akan mengajariku banyak hal kedepannya dan memberikanku sebuah surat ijin memasuki wilayah ke tiga kerajaan utama untuk bertemu dengan Sol 7 tahun dari sekarang, guru yang akan mengajarkanku, Signus, Indra dan Lani banyak mantra.

Kala CakraWhere stories live. Discover now