[ FOUR ]

11K 1.4K 172
                                    

Seberkas cahaya putih menyilaukan membuat kedua mataku mulai membiasakan cahaya di ruangan tersebut. Aku tidak memiliki minat untuk melakukan kegiatan favoritku hari ini, aku merasa begitu hampa dan juga tak memiliki sesuatu untuk menjadi peganganku. Karena satu-satunya yang membuatku bertahan sudah pergi.

Tok!

Suara ketukan berulang di pintuku membuatku sedikit terkejut, "Renjun, boleh aku masuk?" suara rendah itu muncul dan berada di balik pintu. Jaemin sudah bersedia di depan pintu kamarku, aku penasaran apakah ia menungguku semalaman atau memang ia baru saja berdiri di sana.

Dan mengingat soal kejadian semalam membuatku sedikit kesal. Bayang-bayangnya seakan-akan hadir didalam kepalaku, menghantuiku dalam celah-celah sempit yang tak terduga. Bahkan tidur pun terasa tak nyenyak, aku merasa di awasi sesuatu. Dan aku mencoba berpikir positif, semoga saja itu hanya pikiranku saja.

Aku bergegas beranjak dari tempat tidurku dan berjalan ke arah pintu, membuka pintu untuk si Jaemin. Dia segera masuk dengan kedua tangan yang bekerja ; memegang segelas susu hangat dan juga dua sandwich yang lezat. Jaemin meletakkan saraan untukku di atas meja dekat tempat tidurku.

"Selamat pagi, Renjun. Bagaimana dengan tidurmu?" kejadian semalam membuatku merinding. Tapi, kali ini berbeda. Aku rasa dia juga berbeda jika fajar telah menyingsing. "Baik," jawabku ragu.

"Maafkan aku atas insiden semalam. Renjun," Jaemin meminta maaf, dia kembali mengungukit kejadiam semalam. Sebenarnya aku membenci membahas yang sudah lalu, tapi kali ini aku membiarkannya. Lebih baik untuk menerimanya seperti keluarga dan membiarkan ia menjelaskan.

"Aku tak bermaksud membuatmu ketakutan. Tapi, aku ingin lebih dekat denganmu, Renjun. Rasanya kita seperti Orang asing, padahal kita begitu dekat. Dan aku membuatkanmu sarapan untuk memulai hubungan yang baik denganmu, aku juga akan mengantarmu ke sekolah hari ini. Aku tak terima penolakan, Renjun." jawabnya membuatku merasa aneh. Makna yang ia sampaikan terkesan baik, mungkin. Walau ada paksaan di akhir yang mengatakan dia tak menerima sebuah penolakan.

"Ya, kau memang berada di sisiku saat ini. Jaemin," kepalaku sedikit dilanda pening, tidak begitu menyakitkan tapi membuatku sedikit khawatir. "Kita memang dekat, karena kita adalah keluarga. Baiklah, aku akan berangkat bersamamu, dan aku akan bersiap-siap sebentar lagi." jawaban itu membuatnya tersenyum lebar. Aku bisa melihatnya dari samping.

Kami saling bertatapan, bedanya aku terlihat santai dan dia tampak menelisik. "Apakah ada Orang lain di sini selain diriku. Renjun?" pertanyanya membuatku bingung. Aku masih tak tau jawaban dari mimpiku, entahlah. Itu mimpi atau bukan.

"Tidak," sanggahku cepat. "Kau yang pertama hadir pagi ini, dikamarku." ujarku dengan penekanan. Seulas senyum aneh kembali hadir, oh tidak lagi. "Jangan tersenyum seperti itu, kau kembali menakutiku, Jaemin." tambahku dan dia segera merubah senyumnya menjadi sehangat mentari. Sedikit mencurigakan tapi juga membuatku sedikit mengurangi rasa waspadaku sebelumnya.

Jaemin mendekat dan dia menyentuh tangan kananku, dia menyentuhnya dengan lancang. Dia tak melakukan hal yang aneh, bagiku. Jadi aku tak perlu menepisnya dengan begitu kasar. "Tanganmu begitu lembut, namun sangat di sayangkan karena tangan kasar seseorang menyentuhnya." sorot matanya meredup, dari kata-katanya terdengar makna bahwa aku cemburu.

"Tak ada yang menyentuhku selain diriku dan juga kau, Jaemin. Kau bertindak aneh pagi ini, apakah kau selalu begini?" tanyaku.

Jaemin menggeleng pelan, "Tanganmu masih sama, tak akan berubah. Tetap cantik, dan juga lembut." Jaemin hampir mencium punggung tanganku namun aku segera menariknya. Dia tak terlihat kesal maupun marah.

"Jung," aku tak mengerti mengapa aku menyebut nama itu. Seketika tubuh Jaemin menegang dan tak lama kembali rileks, kedua matanya memandangku. Tak seperti kemarin, kini tampak mencurigaiku.

Psycho | Jaemren ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang