[ ONE ]

27.2K 2K 381
                                    

Aku sempat berpikir bahwa hidupku akan baik-baik saja saat Ayah pergi dinas keluar kota selama beberapa bulan ke depan. Namun nyatanya tidak, pagi ini aku di beri kejutan oleh Bibi yang menjadi temanku sejak kecil.

"Tuan meninggal."

Perkataan Bibi pagi itu membuatku seperti tersesat di dalam mimpi buruk. Semua tampak berkabut, tak ada jalan keluar. Semua hampir sama, jalan setapak yang selalu membawaku berputar-putar. Aku terjebak, sendiri.

Mommy meminta pemakamannya jangan di tunda hingga esok. Ia ingin mengakhiri segalanya sekarang, dan aku bisa melihat kedua matanya yang terus mengeluarkan cairan bening. Ia menangisi kepergian suami yang ia sangat cintai. Aku juga merasa sedih, tapi aku tidak pandai menunjukkan perasaanku. Dan aku tidak memahaminya.

"Mom. Jangan menangis, Dad juga pasti sedih melihat Mommy menangisi kepergiannya. Kita harus mengikhlaskan kepergiannya."

Mommy menatapku tajam. Kedua matanya berkilat amarah, "Kamu tidak tahu apa yang aku alami saat ini, dan jangan mengaturku, Renjun."

"Mom, i'm sorry. Aku memang ga tau apa yang Mommy alami saat ini. Tapi, aku ga mau Mommy terpuruk seperti ini, kita harus move on walau rasanya sangat susah di lakukan. Daddy juga pasti ga mau melihat Mommy seperti ini."

"Berhenti untuk peduli padaku. Kamu tidak tahu apa-apa mengenai diriku. Dan aku tidak suka denganmu yang sangat penakut dengan segala hal yang bahkan belum pernah kau coba dalam hidupmu."

"Mom." lirihku.

Mommy menjauh dariku dan teman-teman Daddy satu persatu menghampirinya dan menyampaikan rasa dukanya. Bunga lily putih bertumpuk di atas makamnya, aku lupa. Lantas ku taruh bunga lily yang ku beli tadi pagi saat menuju makam untuk mengantar kepergiannya.

Kenanganku bersama Dad mulai berputar. Sejak kecil aku memang dekat dengan Dad, bahkan kami sering menghabiskan waktu berdua untuk berjalan-jalan mengitari hutan di dekat rumah kami atau pergi ke pantai untuk melihat matahari terbenam. Dad, i miss you.

No, we miss you.

"Aku turut berduka cita, Renjun." ujar temanku yang datang dan berdiri di sampingku.

Dia memakai pakaian formal seperti yang lain. Serba hitam, tanda berkabung.

"Terima kasih Taehyung."

Dia tersenyum. Dia satu-satunya temanku di SMA, kami pun tidak begitu dekat. Hanya sebatas menyapa, teman pulang sekolah, dan ya hanya itu saja. Dia tetap berada di sisiku sementara satu persatu tamu pamit pulang. Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Kenapa masih di sini? Hari sebentar lagi menjelang malam." ucapku datar.

Sekali lagi ia tersenyum, memamerkan senyum polosnya. "Aku temanmu. Ingat, dalam suka dan duka. I'm with you."

Aneh.

Aku tak suka dengan ucapannya tadi. Ada makna lain yang tersirat, aku tidak menampilkan bahwa aku tersinggung atau terlihat benar-benar tidak menyukainya. Aku hanya bersikap sewajarnya, diam tanpa ekspresi apapun.

"Bagaimana kalau kamu pulang bersamaku?" tawarnya.

"No, thank's." jawabku datar.

"Ayolah Renjun. Apakah kau tidak takut dengan Orang jahat di luar sana yang bisa mencelakaimu kapan saja?"

"Tidak Taehyung."

"Renjun, kenapa kamu menolaknya? Aku khawatir jika kamu pulang sendirian." ujarnya yang membuatku merasa sedikit jengah.

"No, thank's Taehyung."

Aku berjalan menjauhinya yang memaksaku untuk ikut pulang bersamanya. Aku tidak mau, lebih baik aku berjalan sendiri menuju rumah tanpa ada sosok menyebalkan seperti dia.

Aku sedikit terhuyung ke belakang saat ada yang menarik bahuku. Pelakunya tak lain adalah Taehyung, tentu dia. Memangnya mau siapa lagi?

"Jangan menyendiri Renjun. Aku temanmu, dan sudah kita saling membagi duka bersama-sama bukan?"

Kedua mataku memicing tak suka. Ia sudah tahu posisi kami hanya teman, tapi dirinya bersikap seolah-olah sangat dekat seakan-akan kami lebih dati itu. Dan aku membenci hal itu.

"Engga semuanya aku harus bagi denganmu. Dan aku juga butuh privasi setelah semua ini. Permisi." jawabku datar dengan tatapan menusuk.

"I'm sorry Renjun. I'm so sorry."

"It's okay."

Ia tidak mengejarku lagi. Memang sudah seharusnya begitu. Dan dia memutuskan untuk pergi sendiri, ku alihkan pandanganku ke arah Mommy. Ia sibuk bercengkrama dengan beberapa teman bisnis Dad. Aku ingin mengajaknya pulang namun tatapan yang ia layangkan kepadaku terlihat bahwa aku tidak boleh mendekatinya, apalagi menawarinya pulang bersama.

Matahari mulai terbenam. Dan aku memutuskan untuk pulang dengan rasa baru. Duka yang tak dapat terobati, karena satu-satunya penyembuh duka ini telah meninggalkan dunia ini untuk selamanya.

Daddy telah pergi. Membawa semua kesenangan kami di saat bersama, dan semua itu tidak akan terganti. Dan sekarang aku sendirian, aku takut.

• • • •

FF pertama saya tentang Jaemren.

Jaemren Shipper mana suaranya?

Jangan lupa comment yang banyak ya, biar cepet updatenya.
Tapi jangan bilang next dan sejenisnya.

See u again!

Psycho | Jaemren ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang