Slice of Life : Thursday (ThirdGun)

562 26 4
                                    

Slice of Life : Thursday © Celengdebu

.

.

.

Gun duduk melipat kaki, jari-jari dijalin erat mendekap lutut kemudian merapatkannya di depan dada yang berbalut sweater longgar warna coklat, sudut-sudut alisnya melengkung, bibirnya mengerucut lalu meniup iseng poni di samping pipi, helai-helai yang kembali memanjang setelah dipotong dua bulan lalu.

Dia beringsut, masih menghuni ujung sofa yang kosong di sebelah kanan dengan bantal kumamon tergeletak menyamping, mengarah pada dua cangkir kopi yang salah satunya tandas tanpa bekas di atas meja. Satu lagi bersisa separuh dengan bibir cangkir terpoles krim yang tadinya berbentuk daun palem. Pekat, gurih—dan bukan buatannya. Gun lebih menyukai teh atau susu ditambah sepotong kue untuk pengganjal perut jika sedang agak lapar. Berbeda dengan seseorang, lambung Gun tak mampu menampung terlalu banyak makanan.

Third berdiri membelakanginya, di dapur yang terlihat jelas dari ruang tempat Gun duduk, punggungnya bergerak sibuk di depan wastafel dan Gun tak berminat mengganggu, perutnya penuh oleh makan malam barusan—kare daging mentega buatan Third yang sedang mencuci piring dalam diam. Televisi di depannya menyala tanpa suara dan Gun hanya berkedip tak paham dengan apa yang dibicarakan tokoh utama pada lawan mainnya di layar kaca. Lebih tak paham lagi kenapa dia harus memilih film ini diantara sekian banyak DVD di rak koleksi Third. Jenis yang tak terlalu disukai Gun tapi langsung dimainkan oleh Third karena Gun iseng menarik DVD tersebut tanpa melihat lalu menyerahkannya dengan yakin, "Aku ingin menonton yang ini!"

Sambil memutar mata menghindari tirai jendela yang terbuka, Gun meraih cangkir sambil meraba sofa, mencari dimana remote controlyang tadi dipegang Third sebelum pemuda itu beranjak membawa peralatan makan ke dapur. Meski dia enggan mendengar dialog film itu, namun setidaknya cukup ramai untuk menyela sunyi karena Third terlalu sibuk untuk sekedar menoleh ke ruang tengah, gerakan tangannya pun tak bersuara. Gun bahkan bisa menangkap denting gelas yang ditaruh di lemari dapur tanpa perlu menajamkan telinga, rasanya tak nyaman, apalagi bunyi detik jam yang mendadak terdengar malah membuat suasana makin lengang.

Bingkai jendela berderik mengusik Gun hingga dia menoleh, tirai warna pastel itu tertiup dan melambai di seberang, gestur yang biasanya terlihat cantik namun tidak kali ini. Gun bergidik sambil merapatkan duduknya, "Third! Tutup jendelanya dong!"

"Kenapa?"

"Dingin."

Pemuda itu menyahut singkat, "Tutup saja sendiri."

Menggerutu, Gun meletakkan cangkir dengan kasar, menendang kumamon dari sofa dan berdiri sambil menyipit. Jendela itu hanya beberapa langkah darinya dan Gun harus mengingatkan dirinya sendiri jika apartemen Third bukan berada di lantai bawah sehingga mustahil bagi apapun dan siapapun untuk muncul dari udara sebab berandanya bukan terletak di sana.

Jika memang manusia.

Gun mengibaskan kepalanya sendiri, tidak, dia tidak boleh berpikir macam-macam, bukan sekali-dua kali dia tidur di apartemen Third dan selama itu tak ada hal aneh selain karpet monokrom membosankan yang selalu digelar kembali walau sudah diganti hari sebelumnya. Perlahan dan agak berjinjit, Gun mendekati dinding yang entah mengapa mendadak jauh dari jangkauan. Kepalanya miring ke kiri dan menatap tajam langit gelap di luar kaca sambil berpikir apa setiap malam memang langitnya segelap itu. Gun tak pernah memperhatikan meskipun siang, bukan tempat favoritnya.

Angin diluar sana berhembus meniup wajahnya dan tirai itu bergerak lagi.

Klotak!

Gun berjengit, reflek berhenti melangkah dengan bahu berkedut.

Drables Thai CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang