Rajutan Jelek (BounPrem)

3.3K 131 4
                                    

Rajutan Jelek © Imorz

Prem membawakan sesuatu yang bukan selera Boun sama sekali. Katanya, itu buatan tangan sendiri.


Prem datang dengan senyum cerah dan sebuah tas belanja di tangan kanan. Di belakangnya angin menerpa dengan kencang dan ketika Boun membuka pintu, tangannya secara reflek merapikan rambut Prem yang berantakan.

"Ada apa?"

Karena Prem tidak biasanya datang secara tiba-tiba tanpa memberikan pesan terlebih dahulu. Ada tiga opsi: Prem ingin memamerkan kaset permainan terbaru, Prem ingin belajar bersama, Prem ingin mengajaknya berkencan. Opsi terakhir dilakukan karna Prem baru saja diberi uang saku oleh keluarganya.

Prem mengangkat tasnya tinggi hingga menutupi setengah wajah. "Aku membawakanmu sesuatu yang menarik!"

"Pasti kaset game terbaru, ya?"

Prem masuk kedalam dan menggeleng. "Game keluaran terbaru memang menarik, tapi ini jauh lebih menarik!" Ia menyerahkan tas tadi lalu mengusap kedua lengannya. "Astaga, dingin sekali."

"Ayo ke kamarku."

"Paman dan Bibi mana?"

"Pergi mengunjungi Nenek."

"Wah, berarti hanya ada kita berdua."

Boun tersenyum pada Prem yang menaiki tangga dengan riang. Seolah-olah sudah seperti rumah sendiri saking seringnya ia bertandang. Entah untuk kunjungan resmi seperti hari Natal atau kunjungan biasa, seperti saat ini.

Kamar Boun tidak besar, tidak pula kecil. Kira-kira cukup untuk empat orang laki-laki dewasa tidur bersama. Dindingnya berwarna putih dengan poster kelompok musik jadul Inggris di dekat lemari dan pigura berisi foto tim klub renang.

Prem menatap refleksi diri di depan cermin setubuh. "Hidungku merah," kemudian melepas jaket dan tas punggung. "Hei, Hia. Kau punya apa?"

"Coklat?"

"Boleh sekali."

Adapun Boun berlagak seperti pelayan kafe ketika Prem datang—karena anak itu benar-benar menganggap kediaman Boun seperti kediaman sendiri, suruh-menyuruh Hia nya sudah seperti ritual selamat datang.

Matanya melirik setiap tumpukan komik yang berjejer. Semuanya sudah kenyang Prem baca, sepertinya Boun tidak punya waktu (atau uang jajan berlebih) untuk membeli serial terbaru komik kesayangan. Ia duduk bersila di dekat kasur, menghadap pintu, menunggu Boun dan coklatnya.

"Prem—oh, kau tampak lucu duduk bersila begitu. Ini coklat panasmu."

"Terima kasih."

Boun meraih tas berian dan duduk persis di sampingnya. "Kau memberiku apa?"

"Untuk kali ini, aku tidak ingin kita bermain tebak-tebakan. Buka saja."

"Apa kau menuntut balasan?"

"Kalau kau mampu, Hia."

"Hei..."

Prem terkekeh dan melotot pada tas belanja, mengisyaratkan pemuda itu untuk segera membuka hadiahnya.

Boun merogoh. Rupanya sebuah sweter hijau tua dengan rajutan inisial B besar di tengah-tengah. Boun mengernyit sedangkan Prem tersenyum bangga hingga tangannya bersedekap.

"Sweter?"

"Betul, sweter. Sweter yang keren, beken, dan tentunya kekinian."

Boun memang bukan ahli di bidang fesyen, tapi sweter hijau di tangannya ini tidak terlalu bagus untuk dipakai ke luar rumah. Ia tidak percaya Prem memiliki selera yang buruk soal pakaian, padahal sehari-harinya Prem cukup memiliki style yang tinggi. Tapi kenapa giliran ia memilihkan untuknya, ia memilihkan sweter jelek, warnanya hijau tua pula. Apa hijau lumut? Tentunya tidak disukai Boun sama sekali.

"Itu buatanku."

Pernyataan Prem semakin membuat ia dilema. Bisa gawat kalau Prem tahu kalau sweter rajutannya tidak sesuai selera penerima.

"Hei, Hia. Aku tahu buatanku tidak terlalu bagus, kau jangan membandingkannya dengan merek-merek terkenal di luar sana, jelas aku kalah." Prem mengambil sweter di tangan Boun lalu memasangkannya hati-hati. "Yang perlu kau tahu, aku yang membuat ini, khusus untukmu. Yang kupikirkan ketika membuat ini itu kamu tahu."

Ada secuil perasaan bersalah setelah mendengarnya, Boun menatap Prem yang memperhatikan penampilannya turun-naik. Lelaki itu tersenyum lalu mengeluarkan dua ibu jari, "Tidak terlalu buruk. Ayo kita bercermin! Kau juga harus melihatnya."

Boun berdiri di depan cermin, menelaah penampilan terbarunya. Prem berada di belakang, berusaha memperbaiki lipatan sweter hingga utuh di tubuh Boun. Wajahnya menyembul di balik pundak, "Bagaimana menurutmu, hmm? Hia?"

"Kalau boleh jujur—"

"Ya, aku tahu astaga. Buatanku jelek dan—"

"Tapi karena ini buatanmu kurasa aku akan memakainya seminggu penuh."

"Masih kurang."

Boun menoleh ke samping. "Sebulan?"

"Selamanya," canda Prem. Ia kembali memperbaiki lipatan sweter. "Hanya bercanda. Kau bisa memakainya kapan pun kau mau, Hia. Asal kau tidak keberatan."

"Prem."

"Hmm?"

"Ke sini, aku mau menciummu."

"Hahaha!"

Dan di depan cermin setubuh itu Boun menangkup wajah Prem, menciumnya, bersama dengan sweter jelek buatan yang tercinta.

Kalau sudah buatan tangan kekasih hati, mau sejelek apa pun itu, kau masih bisa merasakan kehangatan kasih sayang di setiap rajutannya.

Boun benar-benar memakainya selama seminggu penuh.

.

.

.

Selesai.

Drables Thai CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang