1. 8,2 Detik

166 6 0
                                    

Sore itu, Lalita membaca di salah satu artikel bahwa seorang ilmuwan berhasil menemukan kalau seseorang hanya butuh waktu 8,2 detik untuk bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia hanya mendengus tertawa saat membaca kalimat itu. Mustahil, pikirnya. Sebelum benaknya berjalan lebih jauh, mendadak handphonenya berbunyi, mengacaukan semua pikirannya. 

Ketika Lalita mengangkat telepon dari adik laki-lakinya, bukan hal ini yang ia ekspektasikan untuk terjadi.

Sejak kecil, ia memang menyukai hewan dan ia pun sempat bercita-cita untuk menjadikan dokter hewan sebagai profesi impiannya. Sayangnya, keinginan Lalita sempat ditepis oleh orang tuanya yang menginginkannya untuk mengambil bidang pekerjaan lain. Hal yang sia-sia, pikir Lalita, apalagi setelah beranjak dewasa ia malah mendalami profesi lain yang juga di luar keinginan orangtuanya.

"Kak, boleh ya titip Momo di apartemen kamu? Sekalian anterin Momo buat ke dokter hewan besok siang nanti."

Keluarga mereka memang mempunyai banyak binatang peliharaan, sebut saja; mulai dari empat ekor kucing, dua ekor sugar glider hingga satu akuarium yang dipenuhi dengan ikan hias. Hampir semua peliharaan keluarga Lalita diadopsi dari penampungan hewan milik suatu komunitas pecinta hewan yang cukup aktif. Salah satunya adalah Momo, kucing siam kesayangan Lalita yang sudah ia besarkan sejak lahir. Momo sudah cukup berumur, giginya sudah tidak setajam saat ia masih belia dan kegiatannya sehari-hari pun hanya bermalas-malasan saja.

"Hah? Momo sakit apa, Dek?" Lalita menutup artikel yang sedang dibacanya, mendengarkan kata-kata adiknya dengan seksama.

"Momo nggak mau makan. Udah dua hari keadaannya kayak ini."

"Kamu udah coba kasih dia wetfood?"

"Udah. Malah dimuntahin sama dia. Pengennya sih langsung dibawa ke dokter hewan besok pagi, tapi mendadak aku harus ke Bandung karena ada urusan di kampus. Kamu bisa kan?" jelas Luthfi—adik Lalita—dengan cepat.

Lalita mengerutkan dahinya, berusaha mengingat apakah ia dapat mengosongkan jadwal untuk besok. Setelah menghembuskan napas dengan pelan, ia pun mengiyakan permintaan adiknya. Semoga Momo tidak kenapa-kenapa, ujarnya dalam hati.

***

"Ayo dong Momo sayang, buka sedikit mulutnya."

Lalita mengelus tubuh Momo yang tegang, berusaha menenangkan kucing kesayangannya agar ia bisa memasukkan obat ke dalam mulutnya. Momo malah menggerung keras dan mengatupkan rahangnya semakin rapat, menyulitkan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh dokter hewan namun setelah berkali-kali dilakukan tetaplah gagal.

Dokter Andi hanya terkekeh, menggelengkan kepalanya dengan pelan.

"Udah Mbak Lalita, nanti aja dicoba lagi. Yang penting tadi udah saya suntik obat utamanya, untuk obat minumnya bisa diberikan di rumah saja. Mungkin dia takut karena disini banyak orang."

Klinik Hewan milik Dokter Andi ini memang tidak besar, hanya terdiri dari satu ruang pemeriksaan yang pada salah satu dindingnya dipenuhi oleh deretan kursi dimana para pemilik hewan peliharaan menunggu giliran mereka untuk dipanggil. Namun Dokter Andi merupakan dokter hewan yang andal dan penyayang, karena itu klinik kecilnya selalu penuh dari hari ke hari oleh para 'langganan'.

"Baik, Dok. Terimakasih banyak ya. Saya pamit dulu." tutur Lalita seraya tersenyum singkat.

"Sama-sama Lalita, kirim salam ya buat orang tua kamu," angguk Dokter Andi.

"Ya, selanjutnya?" Dokter Andi menyipitkan matanya, berusaha memfokuskan pandangan pada daftar pasien di tangannya.

"Rino?"

"Ya, saya sendiri." Seorang lelaki berdiri dari kursi tunggunya, berjalan ke arah meja periksa saat Lalita berusaha memasukkan kembali Momo ke dalam keranjang khusus untuk kucing miliknya. Tetapi–

"Momo!"

Tangan Lalita kurang sigap, Momo melompat melewati tangannya dan berlari kencang ke arah pintu keluar klinik. Lalita pun ikut berlari mengejar Momo, tapi kucing kesayangannya tersebut hilang dari pandangan begitu saja.

20 menit telah berlalu, tetapi Momo tak kunjung ditemukan. Bukan hanya Lalita, tetapi beberapa orang dari klinik hewan pun ikut mencari Momo. Mereka sudah mencari di berbagai sudut bangunan klinik, berjalan di daerah jalan raya sekitar klinik seraya memanggil-manggil nama Momo. Hasilnya? Tetap nihil. Lalita ingin menangis, pikirannya kalut. Bagaimana mungkin ia bisa begitu ceroboh? Momo sudah tua, ia terbiasa hidup dengan nyaman di rumah. Bagaimana cara ia mendapatkan makanan? Bagaimana kalau ia sampai tertabrak kendaraan? Bagaimana–

"Um–permisi, Mbak?" Sebuah suara milik seorang laki-laki membuyarkan khayalan Lalita. Mata Lalita terbelalak saat ia melihat Momo ada di gendongan lelaki tersebut.

"Momo!" Momo mengeong lirih saat Lalita merangkuhnya dengan tangannya. Lelaki itu hanya tertawa, paras wajahnya yang menarik ikut tersenyum.

"Tadi kucingnya sembunyi di bawah lemari. Ternyata ini yang dicari orang-orang ya?"

Lalita mengusap pelupuk matanya yang sudah digenangi air mata dengan tergesa-gesa, menganggukkan kepalanya dengan cepat.

"Makasih banyak ya, Mas!"

"Sama-sama." Lelaki tersebut melangkah mendekati Lalita, dan mengusap kepala Momo dengan pelan.

"Jangan kabur-kabur lagi ya Momo. Kasihan pemilik kamu sampai khawatir gitu."

Entah dari mana asalnya, tetapi Lalita dapat merasakan wajahnya bersemu merah dan jantungnya berdegup lebih cepat. Dalam sepersekian detik mulutnya bergerak–

"Dengan Mas siapa?"

Laki-laki itu menghentikan usapan tangannya ke Momo, dan menarik tangannya dengan cepat dan mengalihkan pandangan ke wajah Lalita.

"Rino Adhyaksa. Panggil gue Rino aja." Ia tersenyum lagi seraya mengulurkan tangannya ke Lalita.

Mungkin 8,2 detik itu memang nyata adanya.

***

@cosmosmidnight's note:

Halo semuanya! Cerita ini adalah spin-off dari Sparks (yang belum bisa kulanjutkan untuk saat ini :'D), but I hope you'll like it!

At the First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang