3. Adegan

60 1 0
                                    

"Nino? Kamu ngapain ke sini?"

Lalita kira ia sedang bermain di dalam adegan sebuah sitkom, hanya saja dirinya adalah satu-satunya pemeran yang tidak mengetahui naskah dari adegan yang sedang berlangsung. Ia mengerjapkan matanya sekali lagi, memandangi wajah Pak Barana, Production Manager di kantornya, yang sedang menatap Rino keheranan.

Tidak langsung menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya, Rino berdeham kecil. Dikarenakan hari itu masih terhitung akhir pekan, tidak ada sosok lain selain mereka bertiga yang menempati lobby–membuat keadaan kian kikuk.

"Uh–gue, gue mau ketemu temen," papar Rino singkat di tengah aura kecanggungan di antara mereka.

'Gue?' Rino kenal Pak Bara?

"Oh ya?" Barana mengerutkan keningnya saat mendengar jawaban Rino. "Siapa? Temen kamu kerja di gedung ini juga?"

Lalita melangkah mendekati mereka berdua, merasa harus menjelaskan perkara yang sebenarnya remeh ini. "Pak Bara, sebenar–"

Belum sempat Lalita menyelesaikan kalimatnya, ia terkesiap saat Rino beranjak maju dan meraih genggaman Lalita, menariknya ke dalam guyuran hujan yang masih turun dengan deras. Barana hanya bisa melongo menyaksikan kejadian yang berlangsung di depan matanya.

"Hei! Nino!"

Teriakan Barana teredam oleh gemuruh deraian air yang tumpah dari langit. Ia memandang Rino yang berlari menjauh bersama Lalita, melihat dengan masih tidak percaya saat pemuda itu dengan tergesa-gesa mengisyaratkan Lalita untuk memakai payung yang ia bawa bersamanya. Lalita hanya bisa tersenyum meringis dan menganggukkan kepalanya ke arah Barana sebagai gestur berpamitan.

"Gue duluan ya, Bang!" Rino pun menghentikan langkahnya sebentar hanya untuk berseru kembali ke arah Barana yang masih berdiri mematung di lobby.

***

Fiuh. Rino menghela napas lega saat ia akhirnya menutup pintu mobil dari terpaan angin dan hujan. Ia menoleh ke arah Lalita, yang sedang melipatkan kedua tangannya di dada, tetapi pandangan dari kedua matanya berkilat jenaka, seperti menahan tawanya untuk keluar.

"Maaf gue bikin lo hujan-hujanan," ujar Rino gelagapan, malu akan kelakuan impulsifnya yang cukup spontan.

Lalita pun hanya diam saja saat Rino mengambilkan handuk kecil miliknya yang terletak di kursi tengah, menyerahkannya kepada Lalita.

"Makasih ya. But you still owe me an explanation," tuntut Lalita tanpa memindahkan pandangannya dari Rino.

Untuk kesekian kalinya, Rino mengacak-ngacak rambutnya yang masih basah dari terpaan hujan saat benaknya bekerja keras untuk menjawab pertanyaan Lalita.

"Jadi," gumam Rino pelan, menutup matanya dan menyerah dari tatapan Lalita yang menusuk.

"Barana itu kakak gue."

Mata Lalita membelalak mendengar perkataan Rino. "Barana? Pak Barana atasan gue di kantor? Kalian kakak-adik?"

"Ya, dia kakak gue. Gue anak paling kecil di keluarga kita, umur kita memang terpaut jauh. And no, he's not my dad," urai Rino seperti membaca narasi dari pertanyaan-pertanyaan yang sudah ia hafal sebelumnya.

Sontak tawa Lalita pecah, hilang semua perasaan bingung yang terlintas di hatinya sedari tadi.

"Kenapa lo bisa pikir gue mengira lo anaknya Pak Bara?"

"I don't know. People keep asking me about that all the time. Apparently, he looks old enough to be one."

Lalita tertawa kembali, kali ini bersamaan dengan tawa Rino yang hangat, tidak seperti hujan yang turun tidak kunjung berhenti di luar mobil Rino.

"He does have a child 'though."

"Iya." Rino tersenyum kecil seperti sedang mengingat sesuatu yang menyenangkan hatinya. "Keponakan gue, Aya."

"Gue baru inget nama belakang kalian! Yaampun, tentu aja kalian bersaudara." Lalita kembali mengangguk paham, menggeleng-gelengkan kepalanya. Barana Adhyaksa dan Rino Adhyaksa. Sebuah detil kecil penting yang tidak ia sadari sebelumnya. Meskipun begitu, Lalita masih ingin tahu lebih banyak.

"Tapi kenapa kita harus lari dari Pak Bara?"

Dengan ragu, Rino bertanya balik, "Janji lo nggak akan ketawa denger jawaban gue?"

"Apaan sih." Lalita tertawa seraya memukul pelan bahu Rino. "Ya engga lah, buat apa gue ketawain juga?"

"Gue tahu kita baru kenal. Tapi gue pengen mengenalkan lo ke orang-orang terdekat gue dalam keadaan lebih pantas. Does that make sense?"

Lalita terdiam mendengar jawaban Rino, sedangkan pemuda itu kembali melanjutkan kata-katanya.

"Ada banyak hal yang belum gue tahu tentang lo dan ada banyak hal yang belum lo tahu tentang gue. Rasanya lebih baik kalau kita udah mengenal lebih jauh satu sama lain. Kenal orang itu butuh proses dan ngga cepat, gue tahu itu. Karena itu gue merasa nggak perlu buru-buru," jelas Rino.

Lalita merasa kerongkongannya tercekat, ia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi di lain sisi ia merasa ucapan Rino juga turut menyuarakan isi hatinya.

"No, gue masih boleh nanya lagi?" Menggigit bibirnya sendiri, Lalita kembali menatap Rino yang sibuk mengeringkan rambutnya yang kerap meneteskan air.

"Sure."

"Kenapa lo dipanggil Nino sama Pak Bara?"

"Oh." Rino memiringkan kepalanya, menunjukkan senyum kecil ke Lalita. "Itu nama panggilan kecil gue di rumah."

"Gue boleh manggil lo Nino juga?"

"Boleh."

Ekspresi Lalita kembali cerah. "Makasih udah jemput gue hari ini ya, Nino."

Rino hanya menggangguk singkat, tidak sadar kalau kedua telinganya sudah memerah saat mendengar Lalita memanggil namanya.


At the First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang