2. Permulaan

60 1 0
                                    

Ada 3 fakta yang Rino tahu tentang Lalita saat ini.

Pertama, ia beberapa tahun lebih muda dibanding Lalita. Bukan sebuah perkara besar sebenarnya, mengingat Lalita malah meminta (atau memohon?) Rino untuk tidak memanggilnya dengan sebutan 'Kak'.

Kedua, perempuan itu bekerja di sebuah perusahaan media di Jakarta Selatan, meskipun Rino belum tahu secara mendetail tentang hal itu. Lalita juga menghabiskan waktunya di akhir pekan sebagai makeup artist freelance—menilik dari profil Instagramnya—sebuah topik yang selalu meningkatkan antusiasme Lalita di setiap pembicaraan mereka.

Ketiga, Lalita tidak takut pada apapun—mungkin terkecuali kehilangan Momo. Dalam jangka waktu singkat ia berkenalan dengan Lalita, perempuan itu sepertinya selalu mengatakan semua hal yang ada di pikiran apa adanya.

Berkebalikan dengan Rino, yang cenderung reserved—kecuali di depan orang-orang terdekatnya—sampai ia sudah bosan dikomentari mengapa ia selalu mengatakan hal seperlunya saja, membuat semua orang terkadang sulit menebak maksud dan pikirannya. Bukankah seharusnya semua manusia seperti itu? Hemat energi dan mencegah adanya drama tidak penting, begitu kata dirinya. Ia tertawa geli sendiri, menyadari bahwa lebih mudah baginya untuk mengerti tentang gerak dan aksi binatang-binatang peliharaannya dibanding dengan memahami manusia yang kompleks.

Lamunan Rino buyar saat Dori, anabul kesayangannya, mengeong pelan seraya menggosok-gosokkan badannya ke kaki Rino, meminta perhatian dari dirinya. Rino perlahan bergerak ke posisi terduduk di lantai, lantas membalas afeksi Dori dengan mengelus kepalanya.

"Ah, Dori. Tunggu sebentar ya. Sebentar lagi makanan kamu aku siapin."

Ping!

Rino beranjak berdiri, meraih handphonenya dari sudut lemari, menatap layar yang menunjukkan sebaris nama yang akhir ini mulai familiar bagi dirinya.

Lalita Kinanti

Rino

Hari ini jadi?

***

Dua minggu yang lalu.

"Luka operasinya sudah hampir kering, tapi gue tetap pasangin perban ya. Mungkin dalam jangka waktu seminggu baru boleh dilepas."

Dokter Wisnu, yang merupakan keponakan Dokter Andi, berujar sembari melepaskan kacamatanya. Wisnu sendiri cukup sering membantu pekerjaan pamannya di klinik hewan tersebut. Rino yang mempunyai tiga ekor anabul, lumayan sering datang untuk melakukan suntik vaksin, memeriksakan anabulnya saat mereka sedang sakit atau hanya untuk grooming saja. Umur mereka yang berdekatan pun membuat Rino dan Wisnu cukup akrab dan sering berinteraksi baik di klinik ataupun di luar klinik.

Rino mengangguk. "Oke. Makasih banyak ya, Nu."

"Omong-omong, lo dicariin sama Mbak Lalita tuh kemarin-kemarin." Wisnu mengucap sambil melepaskan sarung tangannya ke atas meja periksa hewan.

"Hah? Lalita? Yang kucingnya bikin heboh klinik?"

Tersenyum jail, Wisnu terkekeh. "Iya, No. Gue udah kasih nomor WhatsApp lo ke dia kok."

Sontak mata Rino membelalak. "Kok lo ga bilang-bilang!"

"Halah, lo pura-pura ngomong gitu ke gue kayak kalian belom kenalan aja kan."

"Ya...iya sih." Menatap lantai klinik yang dihiasi keramik putih bermotif, Rino menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

Sebenarnya sudah dua minggu ia dan Lalita bercakap-cakap melalui aplikasi chat tersebut. Dari awal Rino tidak mempertanyakan bagaimana Lalita mendapatkan kontaknya—yang ternyata adalah ulah Wisnu—berhubung saat berkenalan pertama kali mereka hanya sempat bertukar nama dan Lalita langsung terburu-buru pergi. Heh. Seperti dongeng saja, Cinderella yang tergesa-gesa pergi karena takut spell-nya akan cepat memudar. Hanya saja Cinderella yang satu ini punya inisiatif untuk mencarinya kembali.

Wisnu mengambil sarung tangan sekali pakainya dari atas meja, mengedikkan kepala ke arah Rino yang sedang menatap layar handphonenya.

"Jadi, udah ngobrolin apa aja sama Mbak Lalita?"

***

Hujan deras yang mengguyur membuat Rino menyetir mobilnya dengan hati-hati menembus kemacetan Kota Jakarta. Memang belum genap setahun ia pindah kembali ke Jakarta atas saran keluarganya, tetapi lama-kelamaan Rino mulai bisa menikmati hiruk pikuk Jakarta beserta isinya yang sibuk.

Lalita Kinanti

Rino, maaf banget ternyata kerjaan gue belom selesai..

Lo mau nunggu di parkiran aja?

Rino Adhyaksa

Sans.

Gue udah parkir mobil ya.

Lalita Kinanti

Ok.

Setelah melalui 30 menit perjalanan dari rumahnya, ia sampai juga di kantor Lalita. Entah dari mana keberaniannya muncul, tiba-tiba saja kemarin ia menawarkan untuk menjemput Lalita yang masih harus masuk kantor di hari Sabtu ini. Lalita pun tidak sungkan menerima tawarannya. Rino pun mengacak-ngacak rambutnya—mengutuk dirinya yang mendadak merasa gugup.

Anjir, gue kayak anak remaja aja. Ia menggumam pada dirinya sendiri.

Rino menatap langit yang tidak kunjung berhenti menumpahkan air, dan memutuskan untuk keluar dari mobil. Kasihan kalau Lalita nggak bawa payung, pikirnya. Ia pun berjalan ke arah lobby kantor Lalita, memperhatikan lingkungan sekitarnya yang memberikan perasaan deja vu. Kenapa rasanya ia pernah berkunjung ke tempat ini ya?

Oh. That's her. Menggunakan sweater berwarna hitam, Lalita berdiri di depan lobby kantornya, tersenyum dan menunjukkan gestur akan pamit ke sosok lelaki berkemeja biru di sampingnya. Rino mengerutkan dahinya, rasanya lelaki itu familiar dari jauh—

"Nino? Kamu ngapain kesini?"

"Lah, Abang?"

At the First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang