BAGIAN 2

353 20 0
                                    

Malam terus merambat semakin larut. Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi segera menghentikan larinya, setelah berada di luar perbatasan Desa Marong sebelah barat. Rangga menurunkan bocah laki-laki yang sejak tadi dikepitnya dengan tangan kiri. Bocah itu tersenyum, memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih ini membalas dengan senyum lebar pula. Sementara, Pandan Wangi sudah menghempaskan tubuhnya di atas sebatang pohon yang tumbang sambil menghela napas panjang.
"Kenapa, Pandan...?" tegur Rangga.
"Tidak apa-apa," sahut Pandan Wangi, pelan.
"Kau menyesal atas kejadian barusan?" tanya Rangga ingin tahu.
"Untuk apa disesali? Meskipun kita baru sedikit mengisi perut, tapi lumayan juga untuk melemaskan otot. Sudah lama aku tidak pernah bertarung lagi, Kakang," sahut Pandan Wangi seenaknya.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. Memang sudah ada tiga purnama ini mereka tidak menemukan tindak kejahatan. Bahkan selama pengembaraan ini, baru malam ini menemukan desa dan mengisi perut dengan makanan yang layak. Tapi kejadian barusan, membuat nafsu makan mereka jadi hilang. Dan tanpa disadari mereka sama-sama memandang bocah kecil yang bertubuh kotor penuh lumpur ini.
"Seharusnya aku memang tidak datang kesana tadi. Maaf, aku sudah merusak suasana makan kalian berdua," ucap bocah itu pelan.
"Bukan salahmu, Adik Kecil. Mereka itu memang lalat yang merasa dirinya lebih bersih dari orang lain. Tidak sepatutnya mereka bersikap begitu padamu. Kau juga manusia, bukan binatang menjijikkan," kata Pandan Wangi lugas.
"Aku memang menjijikkan. Mereka memang pantas berbuat begitu padaku. Semua orang juga akan berbuat begitu padaku. Tapi, kalian tidak jijik dan takut padaku," kata bocah itu lagi.
"Adik kecil, siapa namamu?" tanya Rangga seraya tersenyum.
"Wicana," sahut bocah itu pelan, menyebutkan namanya.
"Malam-malam kau berkeliran. Apa tidak punya orang tua dan tempat tinggal?" tanya Rangga lagi.
Bocah berusia sepuluh tahun yang mengaku bernama Wicana itu hanya menggelengkan kepala saja sambil tertunduk. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi jadi saling menatap sebentar. Dan kembali mereka mengarahkan pandangan pada bocah kecil yang masih duduk bersila dengan kepala tertunduk menekuri tanah berumput didepannya. Sedangkan Rangga duduk bersila di atas pohon kayu yang sudah tumbang ini.
"Kau orang dari Desa Marong juga?" tanya Rangga lagi.
"Bukan," sahut Wicana tetap pelan suaranya, sambil mengangkat kepalanya sedikit.
Dan Wicana menatap Pendekar Rajawali Sakti beberapa saat, lalu beralih pada Pandan Wangi. Sedikit dia menghela napasnya yang kecil. Begitu ringan hembusan napasnya, sehingga hampir tidak terdengar.
"Lalu, kau berasal dari mana?" desak Rangga.
"Aku tidak tahu," sahut Wicana tetap pelan suaranya.
"Tidak tahu...?" ujar Pandan Wangi seperti tidak percaya.
"Kau sudah cukup besar, Wicana. Paling tidak, bisa tahu tentang dirimu. Kau tentu tahu orang-tuamu, dan di mana tempat tinggalmu," kata Rangga lagi dengan suara lembut.
"Aku dan Pandan Wangi bermaksud baik, Wicana. Kalau kau masih punya orang tua, kami berdua akan mengantarkanmu kembali pada orangtuamu. Tapi kalau memang sudah tidak punya lagi, kami akan mencarikan orang tua yang baik untukmu. Paling tidak, masih ada hubungan saudara atau kerabat dengan orang tuamu. Atau mungkin, tetanggamu di desa asalmu sendiri."
"Aku tidak punya orangtua. Aku juga tidak tahu asal-usulku. Yang jelas, aku tahu-tahu sudah ada di dalam hutan. Aku pergi ke desa hanya untuk mencari hidup. Hanya itu saja...," kata Wicana tegas.
"Kau berkata sungguh-sungguh, Wicana?" tanya Pandan Wangi masih belum percaya.
Wicana mengangguk mantap.
"Kau berani sumpah?"
"Apa itu sumpah?" tanya Wicana tampak tidak mengerti.
"Janji," ujar Rangga memberi tahu.
Wicana terdiam sesaat, kemudian mengangguk.
Rangga dan Pandan Wangi kembali saling berpandangan, kemudian kembali menatap dengan sorot mata tidak mengerti pada bocah laki-laki bertubuh kurus dan kotor penuh tanah berlumpur ini. Sementara, yang dipandangi hanya diam saja. Sorot matanya yang kosong tertuju lurus ke depan, ke arah Desa Marong yang kelihatan sunyi seperti tengah terlelap tidur.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Rangga sudah membuat api untuk mengusir hawa dingin yang semakin menggigilkan ini. Sedangkan Pandan Wangi sudah berpindah duduknya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Dan Wicana tampak duduk bersila dengan tubuh tegak. Sikapnya seperti orang tengah bersemadi. Kelopak matanya tetap terbuka, namun pandangannya sejak tadi tertuju lurus kedepan. Kelihatannya, seperti ada yang tengah diperhatikan.
"Mereka datang...," ujar Wicana perlahan, seperti tidak sadar.
"Siapa yang datang, Wicana?" tanya Pandan Wangi agak tersentak kaget.
Wicana juga kelihatan tersentak kaget mendengar pertanyaan Pandan Wangi barusan. Langsung kepalanya berpaling menatap wajah cantik gadis itu. Kemudian tatapannya berpindah pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila disamping si Kipas Maut ini.
"Maaf, aku harus pergi. Aku tidak ingin mencelakakan orang baik seperti kalian. Maaf...," ujar Wicana seraya bangkit berdiri.
"Wicana! Mau ke mana kau...?!" seru Pandan Wangi.
Tapi Wicana sudah berlari cepat, dan lenyap di dalam hutan yang langsung berbatasan dengan Desa Marong sebelah barat ini. Pandan Wangi yang sudah hendak bangkit akan mengejar, jadi mengurungkan niatnya. Rangga sudah menangkap pergelangan tangan gadis itu, dan memintanya duduk lagi.
"Tidak perlu dikejar, Pandan," ujar Rangga agak datar suaranya.
"Kenapa...? Dia masih kecil, Kakang. Kalau terjadi sesuatu dengannya di dalam hutan, bagai-mana...?" terdengar cemas sekali nada suara Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, lalu melangkah dua tindak ke depan. Pandangan matanya tertuju lurus kedepan. Saat itu, terdengar lolongan anjing hutan yang sangat panjang dan memilukan dari kejauhan. Tapi, suara lolongan itu terasa seakan-akan dekat sekali di depan mereka. Pandan Wangi jadi berdiri juga, dan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam. Kedua pendekar itu seperti mendengarkan alunan lolongan anjing hutan yang begitu panjang, membuat hati terasa seakan tergiris mendengarnya.
"Ayo kita pergi," ajak Rangga tiba-tiba.
"Ke mana...?" tanya Pandan Wangi.
Tapi belum juga Rangga bisa menjawab, mendadak saja berkelebat beberapa bayangan di sekitar mereka. Dan tahu-tahu, kedua pendekar muda dari Karang Setra ini sudah terkepung sekitar sepuluh orang. Satu di antara mereka, adalah wanita berusia setengah baya berbaju warna merah muda yang cukup ketat. Sehingga membentuk tubuh yang indah dan ramping. Wajahnya juga masih kelihatan cukup cantik. Sedangkan yang lain adalah laki-laki dengan usia berbeda-beda. Dan mereka semua sudah langsung menghunus senjata masing-masing yang beraneka ragam bentuk dan ukurannya. Memang, merekalah orang-orang yang berada di kedai tadi. Tampak Kumbala berdiri dekat di sebelah kiri wanita cantik berusia setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.
"Mau pergi ke mana kalian, heh...?.'" bentak Kumbala ketus.
"Ke mana saja kami suka. Apa urusanmu, pakai tanya segala...?" dengus Pandan Wangi, tidak kalah ketusnya.
"Jangan harap bisa pergi ke mana-mana, sebelum meninggalkan kepala kalian berdua! Ha ha ha...!"
Suara tawa Kumbala langsung disambut teman-temannya dengan tawa terbahak-bahak juga. Sementara, Pandan Wangi dan Rangga hanya saling melemparkan pandangan saja. Mereka tahu, orang-orang seperti Kumbala dan teman-temannya ini tidak akan mau berhenti kalau belum dibuat babak belur. Kedua pendekar itu sering berhadapan dengan orang-orang seperti ini. Dan mereka sudah tidak terkejut lagi menghadapinya.
"Apa yang kau inginkan, Gendut?" dengus Pandan Wangi, langsung menuding Kumbala.
"Nyawamu, Cah Ayu. Tapi..., aku lebih menginginkan tubuhmu. Ha ha ha...!" sahut Kumbala, kembali tertawa terbahak-bahak.
Dan yang lainnya juga ikut tertawa. Hanya wanita yang berada di sebelah Kumbala saja yang tetap diam membisu. Matanya menatap dengan sorot mata tajam sekali pada Pandan Wangi, seakan ingin membakar hangus tubuh si Kipas Maut itu dengan kilatan matanya.
"Boleh! Asal, kau bisa menjatuhkan aku, Gendut," tantang Pandan Wangi.
"Phuih! Kau benar-benar perempuan setan yang sombong! Rasakan nanti" dengus Kumbala, jadi berang.
Pandan Wangi hanya tersenyum sinis saja. Sedangkan Kumbala sudah melangkah hendak mendekati si Kipas Maut ini. Tapi ayunan kakinya jadi terhenti, begitu tangannya dicekal wanita setengah baya yang berada di sebelahnya.
"Dia bagianku, Kumbala. Kau urus saja pemuda itu. Tapi, ingat jangan sampai mati dulu," ujar wanita itu, sambil menyimpan senyum penuh arti.
"Kau juga jangan membunuhnya, Rasemi," balas Kumbala sambil mendengus.
Dan mereka sama-sama melangkah menghampiri lawan yang diinginkan. Sementara, yang lain tetap berada pada tempatnya, dengan sikap siap menyerang. Sedangkan Pandan Wangi dan Rangga masih tetap kelihatan begitu tenang. Walaupun mereka kini berhadapan dengan dua orang yang sudah menghunus senjata. Sementara delapan orang yang mengepung rapat dengan senjata terhunus, siap menunggu aba-aba.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Hampir bersamaan, Kumbala dan wanita setengah baya yang dipanggil Rasemi melompat menerjang lawan masing-masing. Tapi, tampaknya kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah siap sejak tadi. Dan begitu mendapat serangan, mereka langsung bergerak cepat meliukkan tubuh untuk menghindar.
Sementara itu, dengan gerakan sedikit berputar Pandan Wangi melepaskan satu sodokan cepat, setelah berhasil menghindari tebasan pedang Rasemi yang mengarah ke leher. Begitu cepat sodokan tangan kirinya, sehingga Rasemi yang memandang enteng jadi tersentak kaget. Bahkan dia terlambat berkelit menghindarinya. Akibatnya sodokan tangan kiri Pandan Wangi tepat menghantam perutnya.
"Hegkh!"
Rasemi kontan terlenguh pendek. Tubuhnya langsung terbungkuk, merasakan mual pada perutnya. Saat itu juga, Pandan Wangi sudah melepaskan satu pukulan yang sangat keras, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam ke wajah wanita ini.
Plak!
"Akh...!"
Rasemi jadi terpekik, begitu pukulan yang dilepaskan Pandan Wangi tepat menghantam wajahnya. Akibatnya, dia jadi terdongak ke atas. Lalu, kembali Pandan Wangi melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu cepat luar biasa, langsung menghantam dada wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik ini.
"Aaakh...!"
Kembali Rasemi menjerit keras. Dan seketika, tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Salah seorang yang kebetulan berada di belakangnya, cepat menangkap tubuh wanita ini, hingga tidak sampai terjerembab ke tanah. Sementara itu, Rangga juga sudah bisa memasukkan satu pukulan keras ke dada Kumbala. Akibatnya, laki-laki gemuk ini terjajar ke belakang sambil menjerit.
"Setan! Bunuh mereka...!" teriak Kumbala geram setengah mati.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, delapan orang yang memang sejak tadi sudah siap menyerang, langsung berlompatan sambil berteriak-teriak. Namun pada saat itu juga, tiba-tiba terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menyambar mereka. Begitu cepat bayangan ini bergerak, sehingga tidak ada seorang pun yang sempat menyadari lagi. Dan....
Bret!
"Akh!"
"Aaa...!"
Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang begitu menyayat. Tampak lima orang langsung jatuh terkapar dengan leher terkoyak berlumur darah. Mereka menggelepar di tanah sambil mengerang meregang nyawa, membuat yang lain jadi terlongong bengong tidak mengerti. Namun saat itu juga, terlihat lagi bayangan itu berkelebat cepat bagai kilat, membuat tiga orang ini menjerit kesakitan.
Ketiga orang itu langsung ambruk menggelepar dengan leher juga terkoyak cukup lebar. Tampak darah berhamburan dari leher mereka yang terkoyak. Hanya sebentar saja mereka bisa bergerak menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Kumbala dan Rasemi jadi terbeliak melihat teman-temannya kini sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Sementara, bayangan itu tidak terlihat lagi sedikit pun juga.
Bukan hanya mereka saja yang terbelalak kaget tidak mengerti. Tapi Rangga dan Pandan Wangi juga jadi terlongong bengong. Saat itu, Kumbala yang lebih dulu tersadar sudah cepat memutar tubuhnya, dan langsung berlari sambil berteriak-teriak keras seperti ketakutan melihat hantu.
"Silumaaan...! Setaaan...!"
Rasemi yang mendengar teriakan Kumbala langsung tersentak sadar. Dan tanpa banyak bicara lagi, tubuhnya segera melesat pergi dari tempat itu. Tinggal Rangga dan Pandan Wangi saja yang masih tetap diam, memandangi tubuh-tubuh yang bergelimpangan di sekitarnya dengan leher terkoyak cukup lebar. Darah masih terlihat mengalir keluar menggenangi tanah berumput ini.
"Kau lihat, bayangan apa itu tadi, Kakang?" tanya Pandan Wangi begitu tersadar.
"Hhh...," Rangga hanya menghembuskan napas saja.
Walaupun Pendekar Rajawali Sakti tadi sempai melihat bayangan yang datang berkelebat begitu cepat tadi, tapi sangat sulit untuk bisa melihat jelas. Rangga tadi begitu terkejut. Sungguh tidak disangka kemunculan bayangan yang begitu cepat, langsung membantai habis orang-orang ini. Bahkan tak ada seorang pun yang bisa menyadarinya lagi lebih dulu.
"Aaauuu...!"
Saat itu terdengar lolongan anjing yang sangat panjang dan menyayat, membuat kedua pendekar muda itu jadi tersentak kaget. Lolongan anjing itu terdengar sangat dekat seakan-akan ada di sekitar tempat ini. Sesaat Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan. Tak lama, terdengar suara bergemerisik semak belukar dari arah sebelah kanan. Maka cepat-cepat mereka memutar tubuhnya ke tanah. Dan....
"Wicana...."
Rangga dan Pandan Wangi mendesis bersamaan, begitu melihat seorang bocah kecil yang bertelanjang dada muncul dari dalam semak belukar. Bocah itu berhenti melangkah, dan memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar kedua pendekar itu. Kemudian, ditatapnya Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
"Kalian tadi ingin tahu, dari mana aku berasal. Kalau masih ingin tahu, ikutlah aku," ajak Wicana, seperti tidak peduli pada mayat-mayat yang bergelimpangan.
Pandan Wangi dan Rangga saling melemparkan pandangan. Dan belum juga mereka bisa membuka mulut, Wicana sudah memutar tubuhnya dan terus melangkah masuk kembali ke dalam semak. Sebentar kedua pendekar muda dari Karang Setra ini memandangi, kemudian bergegas melangkah mengikuti.
Mereka terus berjalan cepat mengikuti ayunan langkah kaki kecil bocah itu, dan menyejajarkan ayunan kaki disampingnya. Semula, memang terasa cepat jalannya. Tapi setelah disejajarkan dan diapit dari kanan dan kiri, kedua pendekar itu merasakan langkah kaki Wicana jadi lambat.
Cukup jauh juga mereka berjalan menembus hutan yang tidak begitu lebat ini, sehingga cahaya bulan cukup mampu meneranginya. Dan begitu mereka tiba di tempat yang banyak batu-batuannya, Wicana berhenti melangkah. Tepat di depannya terdapat sebongkah batu paling besar, yang bagian atasnya pipih. Batu itu berbentuk bulat seperti sebuah altar persembahan. Rangga dan Pandan Wangi memandangi batu ini, searah dengan pandangan mata bocah laki-laki yang diapitnya.
"Dari batu itulah aku berasal," kata Wicana sambil menunjuk ke arah batu bulat pipih di depannya.
"Maksudmu, kau lahir di sana, Wicana?" tanya Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu maksudmu...," ucap Wicana.
"Maksudku, ibumu melahirkan di atas batu Itu," Pandan Wangi menjelaskan, seraya melirik Rangga sedikit.
"Aku tidak punya ibu. Yang jelas aku tahu-tahu ada di sana. Dan batu itu tempat asalku. Jadi, itulah rumahku," sahut Wicana tegas.
"Kau ini aneh, Wicana. Semua orang pasti di lahirkan. Dan yang melahirkan itu seorang ibu. Jadi tidak mungkin muncul begitu saja dari dalam batu," kata Pandan Wangi semakin tidak mengerti ucapan-ucapan bocah ini.
"Aku berkata benar. Aku sudah ada di sana, dan tidak tahu apa itu lahir. Aku tidak tahu, siapa ibuku. Tahu-tahu, aku sudah ada di sana," kata Wicana lagi.
"Ya, sudahlah. Kami berdua tidak mau lagi meributkan soal asal usulmu. Yang penting sekarang, malam ini kita semua istirahat. Dan besok pagi, aku akan mencarikan orang yang bisa mengurusmu dengan baik. Kau tidak mau hidup sendirian di dalam hutan, kan...?" ujar Rangga tembut seraya menepuk pundak bocah ini.
Wicana hanya diam saja.
"Benar, Wicana. Aku tidak ingin lagi melihatmu terhina seperti sampah. Kau tidak mau jadi gelandangan, kan...?" sambung Pandan Wangi.
Wicana tetap diam, seakan tidak mendengar apa yang diucapkan kedua pendekar ini.
"Ayo, kita cari tempat nyaman untuk istirahat," ajak Rangga.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka kemudian melangkah meninggalkan tempat penuh batu. ini. Dan di sepanjang perjalanan, Wicana terus diam membisu. Sementara, dalam kepala Rangga dan Pandan Wangi masih terus bergayut teka-teki ten-tang bocah ini. Mereka benar-benar tidak mengerti tentang diri Wicana. Segala yang dibicarakan bocah ini, sama sekali sulit diterima akal. Bahkan sepertinya Wicana juga tidak mengerti setiap kata yang diucapakan mereka berdua.

***

107. Pendekar Rajawali Sakti : Titisan Anak SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang