BAGIAN 5

336 21 0
                                    

Eyang Bendowo langsung melompat kekanan, sambil mengebutkan tongkat kayunya ke arah perut bocah kecil yang dirasuki iblis ini. Tapi dengan gerakan sangat manis dan indah, Wicana berhasil menghindari sabetan tongkat laki-laki tua berjubah putih itu.
Sementara, Rangga sudah duduk bersemadi di bawah pohon, untuk memulihkan tenaga setelah pertarungannya tadi. Tidak lama Pendekar Rajawali Sakti bersemadi, kini sudah bangun lagi. Dia langsung melihat Wicana ini tengah bertarung sengit melawan seorang laki-laki tua berjubah putih. Di dalam semadinya tadi, sayup-sayup Rangga masih bisa mendengar pembicaraan mereka tadi. Tapi dia tidak tahu, siapa orang tua berjubah putih itu. Dan, apa hubungannya dengan Wicana...?
Namun semua pertanyaan yang bergayut dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti hanya tinggal beban saja. Dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak mungkin ikut terjun dalam pertarungan itu. Rangga hanya bisa diam saja dan terus menyaksikan pertarungan yang semakin meningkat dahsyat. Memang sangat aneh. Seorang laki-laki tua bertarung menyabung nyawa dengan seorang anak kecil berusia sepuluh tahun.
"Ghraugkh...!"
Sambil menggerung keras, tiba-tiba saja anak kecil itu melesat tinggi ke atas. Dan tubuhnya langsung menukik dengan kecepatan bagai kilat sambil mengibaskan tangannya yang kurus kecil itu ke kepala orang tua ini.
"Haiiit..!"
Namun dengan tangkas orang tua berjubah putih itu berkelit menghindar. Dan pada saat itu juga, tubuhnya dimiringkan ke kiri, hingga tangan kirinya menyentuh tanah. Dan secepat kilat dilepaskannya satu tendangan ke atas dengan kaki kanan.
"Yeaaah...!"
Diekh!
Di saat berada di udara, memang sulit bagi Wicana untuk bisa menghindar serangan balasan itu. Maka tak pelak lagi, tubuhnya jadi melambung tinggi terkena tendangan kaki kanan yang begitu keras dan menggeledek ini.
"Ghrauuugkh...!"
Namun bocah berusia sepuluh tahun itu cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara. Lalu manis sekali kakinya menjejak tanah kembali. Dan pada saat itu juga, tangan kiri Eyang Bendewo masuk ke dalam lipatan jubahnya. Begitu keluar, di dalam genggaman tangan itu terlihat sebuah benda berupa batu berbentuk segitiga yang memancarkan cahaya kehijauan.
"Aaargkh...!"
Wicana kontan menjerit dan menutupi wajah dengan kedua tangannya yang kecil, begitu melihatnya. Dia seperti tidak sanggup menantang cahaya kehijauan yang terpancar dari batu segitiga ditangan kiri orang tua berjubah putih itu.
"Ghrauuugkh...!"
Sambil menggerung dahsyat, Wicana tiba-tiba saja melesat cepat luar biasa sekali, meninggalkan tempat itu.
"Hey! Jangan lari kau...!" bentak Eyang Bendowo.
Tapi, lesatan Wicana begitu cepat sekali. Hingga belum sempat Eyang Bendowo melakukan sesuatu, bocah kecil itu sudah lenyap ditelan gelapnya malam.
"Setan...! Cepat sekali dia kabur...!" gerutu Eyang Bendowo, tampak kesal.
Orang tua itu memasukkan kembali batu segitiga berwarna kehijauan itu ke dalam lipatan jubah putihnya yang panjang dan agak longgar ini. Kemudian, kakinya lalu melangkah hendak pergi. Tapi baru saja terayun tiga langkah, dia berhenti lagi. Langsung tubuhnya diputar berbalik. Dan pandangannya langsung tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap berdiri tegak memandangi. Beberapa saat mereka terdiam dan hanya saling berpandangan saja. Dan perlahan kemudian, mereka sama-sama melangkah mendekati. Kini mereka berhenti pada jarak sekitar tiga langkah lagi.
"Terimalah salam hormatku, Eyang," ucap Rangga seraya menjura memberi hormat.
"Jangan bersikap begitu padaku, Anak Muda," ujar Eyang Bendowo, seraya mengangkat tangan kanannya yang memegang tongkat sedikit. Rangga kembali menegakkan tubuhnya. "Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda. Tidak perlu kau jelaskan, kenapa kau bisa bentrok dengan bocah setan itu," kata Eyang Bendowo langsung.
Rangga agak terkejut juga, karena orang tua itu seperti sudah tahu tentang dirinya. Namun, dia tidak mau berpikir lebih jauh lagi.
"Maaf, apakah Eyang tahu siapa dia...?" tanya Rangga, dengan nada hati-hati.
"Ya, aku mengenalnya. Dan sudah bertahun-tahun aku mengejarnya. Tapi setiap kali berhasil mengalahkannya, dia selalu saja dapat menyelamatkan diri dengan meninggalkan raganya. Dan sekarang, dia menggunakan tubuh seorang bocah. Hhh! Perbuatannya sudah keterlaluan. Sama sekali tidak lagi menghargai sesama makhluk hidup." jelas sekali terdengar nada kekesalan pada suara Eyang Bendowo.
"Aku tidak mengerti maksud kata-katamu, Eyang," ujar Rangga.
"Sulit dimengerti, Anak Muda. Tapi bagimu yang sudah terkenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti, rasanya persoalan apa pun bisa dimengerti," sahut Eyang Bendowo.
Rangga kembali tertegun, karena orang tua ini sudah mengetahui dirinya. Padahal sama sekali namanya belum diperkenalkan. Tapi, Eyang Bendowo sudah mengetahuinya lebih dulu. Dan kembali Rangga tidak mau lagi memikirkannya, disadari kalau dirinya sudah sangat kondang. Maka tak heran kalau orang akan langsung bisa mengenali, dengan hanya melihat penampilannya. Memang tidak ada lagi pendekar di kolong langit ini yang menggunakan baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung. Yang ada hanya Pendekar Rajawali Sakti!
"Tolong jelaskan siapa dia, Eyang. Dia sudah menimbulkan banyak korban di desa ini. Dan perbuatannya harus bisa dihentikan," pinta Rangga tegas.
"Dia bukan siapa-siapa bagiku, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Eyang Bendowo, kini terdengar pelan suaranya.
"Maksud, Eyang...?"
"Hhh...!"
Eyang Bendowo menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Seakan, dia begitu berat untuk mengatakannya. Sementara, Rangga terus menunggu penjelasan orang tua ini dengan sabar. Tapi, Eyang Bendowo malah terdiam seperti merenung. Tampak jelas sekali kalau raut wajahnya jadi berselimut mendung yang sangat tebal. Sehingga, membuat kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut.
"Kau ada hubungan keluarga dengannya, Eyang?" tebak Rangga, langsung.
"Tidak...," sahut Eyang Bendowo sedikit mendesah.
"Lalu?"
"Dia muridku."
"Murid...?!"
Rangga jadi terbeliak kaget tidak mengerti. Dipandanginya orang tua berjubah putih yang seperti pertapa ini. Sungguh belum bisa dipercaya kalau Wicana itu murid Eyang Bendowo ini. Dan sama sekali tidak ada bayangan dalam pikirannya.
"Ceritanya sangat panjang. Aku sendiri menyesal, karena telah mengangkatnya menjadi murid. Dan sekarang, dia membuatku susah. Sehingga aku terpaksa meninggalkan pertapaanku, kembali mengarungi kehidupan dunia," terdengar lirih dan perlahan sekali suara Eyang Bendowo.
Sedangkan Rangga hanya diam saja. Dia tidak tahu, apa yang harus dikatakan lagi. Rasanya sulit sekali menggerakkan lidah, mengucapkan kata-kata untuk orang tua ini. Bisa dirasakan, bagaimana sakit hatinya kalau orang yang sudah dipercaya dan dibekali ilmu-ilmu, ternyata mengkhianatinya. Terlebih lagi, bagi seorang pertapa seperti Eyang Bendowo ini.
"Dia seorang anak malang. Dia kupungut, ketika tempat tinggalnya dihancurkan gerombolan perampok. Kedua orang tuanya, juga saudara-saudaranya mati terbunuh. Juga seluruh penduduk desa itu. Tidak ada yang hidup lagi, kecuali Wicana saja. Itu juga dalam keadaan terluka yang sangat parah. Semula aku sendiri sudah hampir tidak sanggup menyembuhkannya. Tapi, rupanya Sang Hyang Widi berkehendak lain. Wicana bisa bertahan hidup, dan kembali sehat. Kemudian aku mengajarkannya ilmu-ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kedigdayaan...," Eyang Bendowo mulai bercerita.
Sementara, Rangga tetap diam mendengarkan.
"Semula aku memang bangga sekali terhadapnya. Dia amat patuh, dan cepat menangkap semua pelajaran yang kuberikan. Tapi setelah usianya menjelang dewasa, sikapnya jadi berubah. Dia selalu menyendiri dan sering melamun. Kalau kutanya, tidak pernah dijawab. Hingga suatu saat, ketika aku turun gunung, diam-diam dia mencuri sebuah kitab pusaka milik warisan keluargaku dan mempelajarinya secara diam-diam. Kau tahu, kitab itu sangat berbahaya jika tidak digunakan secara benar. Dan Wicana tidak tahu bahayanya. Hingga pada akhir kitab, dia melakukan kesalahan yang seharusnya tidak boleh terjadi."
"Apa yang dilakukannya, Eyang?"
"Darah mudanya tergoda. Waktu melakukan semadi, muncul seorang wanita yang sangat cantik.
Sebenarnya, wanita itu hanya godaan saja. Tapi, dia tidak tahu dan tidak bisa mengendalikan diri lagi. Akhirnya, Wicana masuk ke dalam perangkap. Dia telah berbuat maksiat dengan wanita itu, yang seharusnya tidak boleh dilakukan."
Rangga mengangguk-angguk. Langsung bisa dimengerti, apa yang dilakukan Wicana pada wanita jelmaan itu.
"Lalu...?"
"Setelah semua itu berakhir, Wicana baru sadar. Tapi, semuanya sudah terlambat dan harus menanggung akibatnya. Wicana harus berubah menjadi makhluk siluman setengah manusia dan setengah serigala. Aku yang cepat mengetahui, tidak ada pilihan lain lagi. Daripada dia membunuh banyak manusia hanya untuk memuaskan dahaga saja, maka dia harus kubunuh dengan tongkatku ini. Tapi tindakanku sebenarnya merupakan kesalahan paling parah yang pernah kulakukan selama hidupku. Aku lupa, dia tidak bisa mati dengan hanya sebatang tongkat bambu. Yang mati hanya tubuhnya saja, tapi rohnya tetap hidup. Dia akan mencari tubuh lain untuk membunuh setiap orang yang dijumpai. Dan kini, dia memakai tubuh bocah kecil yang tak berdosa sama sekali," papar Eyang Bendowo.
"Tapi dia tidak meminum darah korbannya, Eyang," ujar Rangga.
"Memang. Dalam keadaan seperti itu, dia tidak lagi membutuhkan darah. Dia sudah bisa hidup hanya dengan meminjam tubuh orang lain. Tapi, nafsunya untuk membunuh tidak akan pernah padam, seperti layaknya seekor serigala. Dia akan terus mencari korbannya. Sulit untuk bisa membunuhnya Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada satu senjata pun yang bisa membunuhnya, kecuali pusaka peninggalan warisan keluargaku. Senjata itu adalah Mustika Kumala Hijau ini," Eyang Bendowo lalu mengeluarkan batu segitiga berwarna hijau itu dari balik jubahnya. "Tapi selama ini, aku tidak pernah punya kesempatan untuk menggunakannya... Dan setiap kali kukeluarkan, Wicana selalu saja cepat bisa kabur."
"Kalau begitu, harus menggunakan cara yang lebih tepat, Eyang," ujar Rangga.
"Ya, memang harus menggunakan cara yang tepat. Hanya saja, cara itu belum kutemukan. Sedangkan aku hanya seorang diri saja menghadapinya," nada suara Eyang Bendowo terdengar mengeluh.
"Sekarang kau tidak sendiri lagi, Eyang," kata Rangga.
Eyang Bendowo tersenyum.
"Eyang, kalau bertemu lagi dengan Wicana, aku yang akan menghadapinya. Sementara, kau mencari celah yang tepat untuk menggunakan mustika itu," kata Rangga.
"Kau tidak akan bertahan lama menghadapinya, Rangga. Tubuhnya kebal terhadap segala macam pukulan dan tendangan. Bahkan dengan senjata sekali pun. Menggores kulitnya sedikit saja, sulit dilakukan."
"Aku akan berusaha, Eyang," ujar Rangga seraya tersenyum.
Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Dia sendiri tidak tahu, kenapa bisa tersenyum. Sedangkan wajah Eyang Bendowo berangsur cerah kembali. Kehadiran Pendekar Rajawali Sakti, seakan membawa titik cahaya yang menerangi hati orang tua ini. Eyang Bendowo serasa mendapatkan cahaya semangat kembali. Dia yakin, dengan bantuan Pendekar Rajawali Sakti, pasti bisa mengatasi Wicana yang setengah siluman itu.

107. Pendekar Rajawali Sakti : Titisan Anak SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang