BAGIAN 4

339 20 0
                                    

Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak lagi, saat Eyang Rambang memintanya tinggal untuk sementara di rumahnya. Apalagi, kedua pendekar dari Karang Setra itu juga harus mencari anak laki-laki yang dicurigai sebagai biang keladi dari semua pembunuhan kejam yang terjadi dalam beberapa hari di Desa Marong. Sedangkan Samirah, kelihatannya begitu enggan tinggal di rumah kakeknya ini. Dan entah kenapa dia selalu ingin dekat dengan Pandan Wangi. Bahkan memilih tidur satu kamar dengan gadis berjuluk si Kipas Maut itu. Eyang Rambang tentu saja tidak ingin menambah kesedihan Samirah. Maka Samirah kemudian diizinkan tidur satu kamar dengan Pandan Wangi.
"Kakang, aku masih belum yakin kalau Wicana adalah pelaku pembunuhan itu..." nada suara Pandan Wangi terdengar jelas ragu-ragu.
Saat itu, mereka tengah duduk berdua saja diberanda samping rumah Eyang Rambang, yang juga dijadikan sebuah padepokan untuk mengajar pemuda-pemuda Desa Marong berlatih ilmu olah kanuragan. Sementara dari arah bagian belakang, terdengar teriakan-teriakan murid Padepokan Bambu Kuning yang sedang berlatih.
Rumah Eyang Rambang memang sangat besar dan berhalaman sangat luas. Terlebih lagi di bagian belakang yang memang cocok dijadikan sebuah padepokan. Letak padepokan ini berada di tengah-tengah desa, sehingga menjadi keuntungan bagi Eyang Rambang. Dia tidak perlu sulit-sulit mencari murid. Desa Marong ini menyimpan banyak anak muda yang berbakat dalam ilmu olah kanuragan.
Dan baru-baru ini, Eyang Rambang mendapat ujian berat. Dengan adanya kejadian pembunuhan di Desa Marong, paling tidak dia harus bisa mengatasi persoalan pembunuhan yang terjadi secara beruntun, dengan luka sama pada setiap korbannya. Leher robek seperti terkoyak taring binatang buas.
"Tapi anak itu sangat aneh, Pandan," sahut Rangga.
"Aneh bagaimana, Kakang?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
"Perhatikan saja sendiri. Bocah itu tidak tahu asal-usulnya. Bahkan tidak tahu, siapa orangtuanya. Dan dia mengaku kalau lahir dari batu. Juga waktu kupegang, badannya dingin seperti orang mati. Bicaranya juga tidak menentu. Malah, dia sering tidak mengerti apa yang kita bicarakan," ujar Rangga memaparkan perasaan anehnya pada anak kecil yang mereka tolong semalam.
"Memang semua itu kuperhatikan, Kakang. Memang aneh. Tapi, apa itu bisa menjadi patokan untuk menuduh kalau dia adalah pelakunya...?"
"Aku belum berpikir sampai ke sana, Pandan. Baru menduga-duga saja."
"Kakang! Semua orang tahu, anak itu gelandangan. Bahkan Eyang Rambang sendiri mengatakan anak itu gelandangan di sini yang tidak punya orangtua dan tempat tinggal. Tapi..., ah! Mana mungkin anak selemah itu bisa jadi pembunuh, Kakang...," sergah Pandan Wangi kembali ragu-ragu.
"Kita lihat saja nanti, Pandan. Aku akan menyelidiki terus sampai tuntas," tegas Pendekar Rawajali Sakti.
"Ya! Kita memang harus menyelidiki dulu, dan jangan cepat menuduh hanya karena anak itu bersikap aneh." Mereka jadi terdiam beberapa saat lamanya.
"Pandan..."
"Hm."
"Kau ingat, apa yang dikatakan Samirah?" tanya Rangga.
"Maksudmu, orang yang membunuh ibunya...?"
Rangga mangangguk.
Pandan Wangi hanya diam saja. Memang, Samirah menjelaskan ciri-ciri orang yang membunuh Ibunya. Katanya, pembunuh ibunya adalah anak laki-laki seusia dirinya. Juga, katanya anak itu gelandangan. Sedangkan semua orang di Desa Marong ini tahu, hanya ada satu anak gelandangan. Dan dia adalah Wicana saja di desa ini.
"Mungkin hanya mirip saja, Kakang," ujar, Pandan Wangi masih belum yakin.
"Ya, mudah-mudahan saja Samirah tak mengada-ada," kata Rangga agak mendesah.
Sementara itu, malam sudah jatuh menyelimura seluruh Desa Marong ini. Kesunyian begitu terasa di sini. Hanya nyanyian jangkrik dan serangga malam saja yang terdengar. Saat itu, Pandan Wangi bangkit berdiri.
"Mau ke mana, Pandan?" tegur Rangga.
"Menengok Samirah, apakah sudah tidur, Kakang," sahut Pandan Wangi.
Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu terus saja melangkah meninggalkan Rangga seorang diri. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti masih duduk dibangku bambu yang ada di beranda samping rumah Eyang Rambang ini. Tapi tidak lama, dia sudah bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Sedangkan teriakan-teriakan murid Eyang Rambang yang tengah berlatih masih terus terdengar.
"Sebaiknya aku keliling desa ini. Mudah-mudahan saja menemukan petunjuk," gumam Rangga di dalam hati.
Pemuda yang selalu berbaju rompi putih itu melangkah perlahan-lahan meninggalkan rumah Eyang Rambang yang juga dijadikan padepokan. Ayunan langkah Pendekar Rajawali Sakti terasa sangat ringan. Sehingga tidak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah yang selalu lembab di desa ini.

107. Pendekar Rajawali Sakti : Titisan Anak SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang