"Kau yang membunuh mereka semua...?" pemuda berbaju rompi putih itu malah balik bertanya, dengan suara terdengar agak dingin.
"Merekalah yang cari mampus sendiri!" sahut Pranggala, ketus.
"Hebat sekali kepandaianmu, Kisanak. Tapi sayang, digunakan untuk membantai sesamamu."
"Phuih! Apa urusanmu, heh...?! Atau kau juga tertarik oleh hadiah yang disediakan Ki Tunggul Santak untuk membawa kepalaku...? Kalau memang itu kemauanmu, ayo maju saja sekalian. Biar kukirim kau sekalian ke neraka!" dengus Pranggala lantang.
Tapi, pemuda berwajah tampan dan berkulit putih bersih yang terbungkus baju rompi putih itu hanya diam saja. Hanya saja matanya memandang dengan sorot mata tajam, menembus langsung ke bola mata Pranggala. Dan perlahan kakinya melangkah beberapa tindak ke depan, hingga jaraknya tinggal sekitar tujuh langkah lagi. Sementara, Pranggala sudah menyilangkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya juga memancar begitu tajam, membalas tatapan mata pemuda berbaju rompi putih yang sama sekali tidak dikenalnya ini.
Belum lagi mereka ada yang membuka suara terdengar suara langkah kaki-kaki kuda menuju tempat ini. Dan tidak lama kemudian terlihat seorang gadis cantik menunggang kuda putih sambil menuntun seekor kuda hitam yang melangkah belakang, tanpa penunggang. Gadis itu langsung melompat turun dari punggung kuda. Langsung dihampirinya pemuda berbaju rompi putih yang menyandang sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung.
Gadis berwajah cantik berbaju biru muda itu lalu berdiri di sebelah kanan pemuda berbaju rompi putih ini. Pedangnya yang bergagang kepala naga berwarna hitam tampak menyembul di balik punggung. Sementara sebuah kipas putih keperakan tampak terselip di balik ikat pinggangnya. Saat itu, Pranggala hanya memperhatikan saja dengan sinar mata masih menyorot tajam menusuk.
"Kau urus mereka yang masih hidup, Pandan," ujar pemuda itu tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Berapa orang?" tanya gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan ini
Memang, gadis cantik itu adalah Pandan Wangi. Di kalangan rimba persilatan, dia lebih dikenal sebagai si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbajui rompi putih yang menyelamatkan nyawa Dewi Manik ini tidak lain dari Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Dua. Satu wanita, dan satu lagi laki-laki yang berada di bawah pohon itu," sahut Rangga sambil menunjuk Ki Jalaksana.
Tanpa bertanya lagi, Pandan Wangi bergegas menghampiri Dewi Manik, satu-satunya wanita yang ada di tempat ini. Sebentar diperiksanya luka-luka yang diderita Dewi Manik. Dan wanita itu sempat mengatakan sesuatu pada si Kipas Maut. Setelah membawa Dewi Manik ke tempat yang lebih baik, Pandan Wangi bergegas menghampiri Ki Jalaksana. Keningnya seketika berkerut melihat luka dan keadaan tubuh laki-laki berusia setengah baya ini.
"Aku tidak tahu siapa dirimu, Kisanak. Tapi aku tahu, kaulah yang membantai mereka semua. Hhh...! Tindakanmu sungguh kejam. Tidak seharusnya mereka semua dibunuh," kata Rangga menyesali tindakan Pranggala yang membantai habis setiap lawannya.
"Hhh! Sudah kuduga.... Kau pasti sama seperti yang lain. Gampang tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak. Baik! Aku tidak bakal menyingkir. Bahkan ingin bertemu langsung dengannya. Akan kulumat dia sampai habis, tidak bersisa lagi. Dan kalau kau mau mencoba, silakan. Dengan senang hati akan kulayani," kata Pranggala, agak datar nada suaranya.
"Sadarlah, Kisanak. Tidak ada gunanya mengumbar nafsu dan amarah dengan menyebarkan maut di mana-mana. Semua yang kau lakukan hanya menyulitkan dirimu saja. Percayalah. Semua persoalan pasti bisa diselesaikan secara baik-baik. Tidak harus dengan pertumpahan darah," kata Rangga mencoba lembut. "Sedangkan untuk mengetahui siapa yang salah dan siapa yang benar, nanti akan diketahui. Dan sebaiknya, hentikanlah semua pembantaian ini. Tidak ada gunanya lagi bagimu terus-menerus membantai sesama manusia."
"Sudah! Aku tidak perlu nasihatmu...!" bentak Pranggala sengit.
"Aku tidak menasihatimu, Kisanak. Aku hanya...."
"Cukup...!"
Rangga langsung berhenti, begitu Pranggala membentaknya dengan suara keras menggelegar. Tampak raut wajah pemuda itu jadi memerah. Sedangkan kedua bola matanya berapi-api, menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam, saling berpandangan dengan sorot mata tajam. Seakan-akan, tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.
"Aku tidak mengenalmu, Kisanak. Sebaiknya jangan ikut campur urusanku. Sebelum pikiranku berubah, sebaiknya segeralah menyingkir dari sini. Daripada nanti kepalamu kupecahkan," terasa begitu dingin nada suara Pranggala.
Rangga jadi tercenung juga mendengar kata-kata bernada ancaman itu. Dan dari sorot matanya, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Pranggala tidak main-main. Sementara Pandan Wangi yang sejak tadi mendengar percakapan itu, sudah langsung gemas. Dia bangkit berdiri dan hendak meninggalkan Ki Jalaksana. Tapi belum juga kakinya terayun, Ki Jalaksana sudah mencegahnya.
"Sebaiknya kalian pergi saja. Dia bukan manusia lagi. Kalian hanya akan mengantarkan nyawa saja berurusan dengannya," lemah sekali suara Ki Jalaksana.
Kening Pandan Wangi jadi berkerut juga, mendengar kata-kata orang tua itu. Sebentar dipandanginya wajah Ki Jalaksana yang semakin kelihatan memucat. Kemudian pandangannya beralih pada Rangga yang masih berdiri berhadapan dengan Pranggala. Sementara itu, terlihat Pranggala sudah menyilangkan pedang kembali di depan dada. Sorot matanya sangat tajam, seakan hendak merobek jantung melalui kedua bola mata Rangga yang juga menatap tidak kalah tajam.
"Turuti saja kata-kataku, Nisanak. Ajak temanmu pergi dari sini," ujar Ki Jalaksana lagi sambil terbatuk kecil.
Darah kembali keluar dari rongga mulut laki-laki setengah baya itu. Sementara Pandan Wangi kelihatan jadi bimbang. Tapi begitu mengalihkan pandangan pada Ki Jalaksana lagi, mendadak saja terdengar teriakan keras menggelegar yang begitu mengejutkan. Cepat Pandan Wangi memalingkan wajahnya. Saat itu tampak Pranggala sudah melesat menyerang Rangga dengan kecepatan tinggi. Pedangnya dikebutkan begitu cepat mengarah ke kepala PendekarRajawali Sakti.
Wut!
"Haps...!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala Pendekar Rajawali Sakti bisa menghindari serangan pedang Pranggala.Lalu cepat kakinya ditarik belakang dua langkah. Namun pada saat yang bersamaan, Pranggala sudah memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan saat itu juga, kaki kanannya melayang deras mengarahke dada.
"Haiiit..!"
Rangga agak terkejut juga mendapatkan serangan yang demikian cepat dan beruntun ini. Maka cepat tubuhnya dimiringkan ke kiri, menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan Pranggala. Lalu begitu cepat tangan kanannya dihentakkan, tepat menghantam tulang kering kaki Pranggala yang menjulur lurus, lewat di samping tubuhnya. Begitu cepat sekali sentakan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Plak!
"Ikh...!"
Pranggala jadi terpekik kecil. Cepat-cepat kakinya ditarik, dan melompat ke belakang. Untung saja Rangga tidak mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya. Sehingga, Pranggala hanya meringis sedikit merasakan nyeri pada tulang kakinya.
Pranggala tadi memang terlalu menganggap enteng pemuda berbaju rompi putih ini, hingga sempat kecolongan. Dan untung saja pukulan Pendekar Rajawali Sakti barusan tidak disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga tulang kakinya tidak sampai remuk. Saat itu juga, Pranggala cepat menyadari kalau lawan yang dihadapinya sekarang ini tidak seperti lawan-lawannya terdahulu. Nyatanya, pemuda berbaju rompi putih itu memiliki kemampuan tinggi. Ini bisa dilihat dari gerakannya yang begitu cepat, saat menghindari serangannya tadi. Bahkan Pranggala sama sekali tidak bisa melihat gerakan tangan pemuda berbaju rompi putih itu, yang begitu cepat menghantam tulang kering kaki kanannya tadi.
"Phuih! Rupanya kau punya kepandaian juga, heh...?!" dengus Pranggala seraya menyemburkan ludah dengan sengit.
Rangga hanya diam saja. Namun matanya terus memperhatikan gerakan kaki Pranggala yang menggeser ke kanan menyusuri tanah. Sedangkan pedang pemuda itu bergerak-gerak melintang di depan dada. Sementara, Pandan Wangi yang di samping Ki Jalaksana tanpa berkedip memperhatikan kedua pemuda yang berdiri saling berhadapan itu. Sedangkan Ki Jalaksana yang masih baring dengan wajah semakin memucat beberapa kali terbatuk disertai semburan darah dari mulutnya.
"Nisanak... Dengarkan aku.... Ugkh!"
Perhatian Pandan Wangi jadi beralih. Ditatapnya Ki Jalaksana yang berusaha bangkit, tapi kembali roboh dan menggeletak di tanah. Darah kental berwarna kehitaman menyembur dari mulutnya. Cepat-cepat Pandan Wangi mendekati, dan berlutut di sampingnya.
"Nisanak dia bernama Pranggala. Dia sudah banyak membunuh orang. Tidak sedikit pendekar tangguh mati di tangannya. Sebaiknya, cepatlah pergi. Dan jangan berurusan dengannya. Kau akan mati, Nisanak..," kata Ki Jalaksana terbata-bata.
"Siapa dia sebenarnya, Ki?" tanya Pandan Wangi.
Saat itu, pertarungan antara Pranggala dan Pendekar Rajawali Sakti sudah berlangsung sengit. Tapi, Pandan Wangi tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan. Karena, perhatiannya kini tercurah penuh pada Ki Jalaksana yang semakin memucat wajahnya. Bahkan tarikan napasnya juga sudah tersendat-sendat. Beberapa kali Ki Jalaksa terbatuk dan menyemburkan darah kental berwarna agak kehitaman.
"Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia dan dari mana asalnya. Tapi...," kata-kata Ki jalaksana terputus. Kembali laki-laki setengah baya itu terbatuk beberapa kali dengan darah terus berhamburan dari mulutnya.
"Tapi kenapa, Ki?" tanya Pandan Wangi mendesak.
"Ki Tunggul Santak..."
"Siapa...?"
"Ki Tunggul Santak. Dialah yang menyediakan hadiah tiga ribu kepeng emas untuk kepala anak itu.... Ugkh...!"
"Ki...."
Pandan Wangi mengguncang bahu Ki Jalaksana. Tapi, laki-laki berusia setengah baya itu sudah mengejang, lalu terkulai tidak bernyawa lagi. Memang sangat parah luka yang dideritanya. Pandan Wangi hanya bisa menarik napas sedikit. Dan perhatiannya langsung beralih pada Dewi Manik. Bergegas dihampirinya wanita itu. Tapi gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu juga jadi terperanjat karena Dewi Manik juga sudah tidak bernyawa lagi.
"Hm.... Aku harus segera memberi tahu Kakang Rangga. Aku yakin, pemuda itu sangat berbahaya," gumam Pandan Wangi.
Lalu si Kipas Maut itu segera melangkah cepat menghampiri Rangga yang masih bertarung sengit melawan Pranggala. Tapi ayunan kakinya jadi terhenti, begitu melihat pertarungan kedua pemuda itu sepertinya tidak mungkin dihentikan begitu saja. Bahkan kalau Pendekar Rajawali Sakti dipanggil, bisa berbahaya akibatnya. Bisa-bisa pemuda berbaju rompi putih ini akan celaka. Kini Panda Wangi jadi kebingungan sendiri, tidak tahu bagaimana cara menghentikan pertarungan. Dan dia jadi berdiri mematung memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun juga.
Sementara pertarungan antara Pranggala melawan Pendekar Rajawali Sakti terus berlangsung semakin sengit. Entah sudah berapa jurus berlalu tapi tampaknya tidak akan cepat-cepat berakhir. Kini mereka sudah sama-sama saling melontarkan serangan-serangan dahsyat yang sangat berbahaya. Sedikit saja kelengahan, akan sangat berbahaya akibatnya.
Saat itu, terlihat Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, hingga melewati kepala lawannya. Dan dengan gerakan cepat sekali, tubuhnya menukik dengan kedua kaki berputar cepat mengarah ke kepala Pranggala. Begitu cepatnya gerakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti, membuat Pranggala jadi tersentak.
"Haiiit..!"
Wut!
Tapi Pranggala bisa cepat menguasai keadaan. Maka bagai kilat pedangnya dikebutkan ke atas kepala, hingga membuat Rangga terpaksa harus menarik kakinya kembali. Dan saat itu juga, tubuhnya terbalik, hingga kepalanya berada di bawah. Tepat di saat jangkauan tangannya berada di depan dada, secepat kilat tangan kanannya dihentakkan, melepaskan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala yang baru saja bisa menghindari terjangan kakinya, jadi terbeliak kaget setengah mati. Dan pemuda itu berusaha berkelit menghindarinya, tapi tanpa diduga Rangga merangkum jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Akibatnya, tangannya bisa berputar begitu cepat mengibas mengikuti gerakan tubuh Pranggala. Apalagi, gerakan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak diduga. Hingga....
Diegkh!
"Akh...!"
Begitu keras kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala terpental sampai sejauh dua batang tombak. Dan tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan keras, membuat pemuda itu kembali terpekik. Sementara, Rangga sudah kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Phuih!"
Sambil menyemburkan ludah dengan sengit, Pranggala kembali bangkit berdiri. Dadanya terasa begitu sesak. Dan napasnya juga jadi tersengal, bagai ada sebongkah batu yang mengganjal rongga dadanya. Sedikit kepalanya menggeleng, mencoba mengusir rasa pening di kepala, yang membuat pandangannya jadi berkunang-kunang.
"Belum pernah ada seorang pun yang membuatku jatuh. Hhh!" Bisik dalam hati Pranggala.
Sorot mata Pranggala terlihat begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, sejauh dua batang tombak.
"Kepandaianmu luar biasa, Kisanak. Tapi sayang, aku tidak ada waktu untuk terus meladenimu. Masih ada urusanku yang belum selesai. Kelak, akan bertemu lagi," kata Pranggala masih dengar suara yang terdengar dingin.
"Hm...."
Rangga hanya menggumam sedikit saja, melihat Pranggala memutar tubuhnya. Dan dengar kecepatan bagai kilat, pemuda itu melesat pergi. Begitu tinggi tingkat ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak memandang ke arah lenyapnya Pranggala.
Pendekar Rajawali Sakti baru memutar tubuhnya, begitu mendengar suara langkah-langkah kaki yang begitu ringan menghampiri. Ternyata itu langkah Pandan Wangi. Gadis itu berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kenapa dia kau biarkan pergi, Kakang? Padahal, kau bisa saja membunuhnya tadi," kata Pandan Wangi langsung, seperti menyesali sikap Rangga yang membiarkan Pranggala pergi begitu saja.
"Tidak ada alasan untuk membunuhnya, Pandan," sahut Rangga kalem.
"Tidak ada alasan katamu...?" Pandan Wangi jadi mendelik. "Lihat mayat-mayat ini! Dialah yang membantainya, Kakang. Apa alasan itu belum cukup...?"
"Aku tidak tahu siapa mereka semua, Pandan."
"Aku tahu," selak Pandan Wangi cepat.
Kening Rangga jadi berkerut. Dipandanginya wajah cantik itu dalam-dalam. Dan yang dipandangi malah membalasnya dengan sorot mata tajam. Untuk beberapa saat, mereka terdiam saling berpandangan.
"Kalau pemuda tadi namanya Pranggala. Sudah banyak yang mati di tangannya. Bahkan tidak sedikit pendekar yang mati. Dan mereka ini...," Pandan Wangi penunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan termasuk mayat Dewi Manik dan Ki Jalaksana. "Mereka semua hendak menangkap pemuda itu, Kakang."
"Dari mana kau tahu semua itu, Pandan?" tanya Rangga agak heran juga.
"Laki-laki itu yang mengatakannya padaku sebelum dia mati," sahut Pandan Wangi seraya menunjuk mayat Ki Jalaksana.
Rangga hanya melirik saja sedikit. Walaupun tidak memeriksa, dia juga sudah tahu kalau orang yang ditunjuk Pandan Wangi sudah tidak bernyawa lagi.
"Juga wanita itu, Kakang. Sebelum meninggal, dia sempat mengatakan kalau Pranggala itu iblis pembunuh yang harus dilenyapkan. Bahkan akan membunuh siapa saja yang dijumpainya. Apalagi, kepandaiannya juga sangat tinggi. Begitu berbahayanya, sampai-sampai Ki Tunggul Santak mengeluarkan hadiah tiga ribu kepeng emas untuk kepalanya," sambung Pandan Wangi, menjelaskan lagi.
"Siapa itu Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga jadi semakin heran.
"Aku sendiri tidak tahu. Mereka tidak sempat mengatakan lebih jelas lagi. Luka yang mereka derita sangat parah, Kakang. Dan aku tidak bisa lagi menolong," sahut Pandan Wangi. "Tapi wanita itu sempat mengatakan, jika kita mau bertemu Ki Tunggul Santak, tempat tinggalnya tidak jauh dari sini. Dan katanya lagi, sekarang Ki Tunggul Santak sedang berada di sekitar Desa Salak Rejeng. Hanya saja tepatnya tidak tahu."
"Desa Salak Rejeng ada di kaki Gunung Puting ini," terdengar bergumam suara Rangga.
"Sebaiknya, kita ke sana saja, Kakang," kata Pandan Wangi cepat memberi saran.
"Untuk apa?" tanya Rangga.
"Mencari tahu, siapa sebenarnya Pranggala itu. Kalau memang sangat berbahaya, rasanya tidak mungkin kita berdiam diri saja, Kakang. Dan kalau kupikir, mustahil Ki Tunggul Santak sudi mengeluarkan hadiah begitu besar untuk kepala Pranggala. Jadi jelas, pemuda itu memang berbahaya," kata Pandan Wangi lagi.
Rangga jadi terdiam merenung. Kakinya lalu terayun menghampiri dua ekor kuda yang berada tidak seberapa jauh dari tempat mereka berdua berdiri. Pandan Wangi memandangi sebentar, lalu bergegas menyusul. Mereka memegangi tali kekang kuda masing-masing, tapi belum juga beranjak pergi dari tempat ini. Sementara angin yang bertiup perlahan, mulai menyebarkan bau anyir darah yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi di sekitar tempat ini. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti merayapi tubuh-tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih itu.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan dan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kuda hitamnya yang dikenal bernama Dewa Bayu. Pandan Wangi bergegas mengikuti, naik ke punggung kuda putih tunggangannya. Tapi, mereka belum juga menggebahnya. Entah apa yang ada dalam benak Rangga, hingga seperti merenung memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan menyebarkan bau anyir darah.
"Tidak lama lagi malam akan tiba, Kakang. Kau mau bermalam di sini?" Pandan Wangi mengingatkan.
"Hanya Desa Salak Rejeng yang terdekat dari sini, Pandan," kata Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Tidak ada salahnya kita ke sana, Kakang."
Rangga hanya tersenyum saja sedikit, kemudian mendecak. Tali kekang kudanya segera dihentakkan. Maka kuda hitam bernama Dewa Bayu itu melangkah perlahan-lahan. Sementara Pandan Wangi mengikuti dari samping kiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus menjalankan kuda perlahan-lahan, meninggalkan tubuh-tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih tidak bernyawa lagi.
Saat itu, matahari memang sudah condong ke arah barat. Cahayanya tidak lagi terik. Dan angin yang bertiup sudah mulai terasa dingin. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu terus menjalankan kuda perlahan-lahan menuju Desa Salak Rejeng yang tidak jauh lagi jaraknya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
108. Pendekar Rajawali Sakti : Harga Sebuah Kepala
ActionSerial ke 108. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.