Tidak terlalu sulit untuk mencari tempat tinggal Ki Tunggul Santak. Dengan pengumuman hadiah tiga ribu kepeng emas bagi siapa saja yang berhasil membawa kepala Pranggala kepadanya yang disebarkan, semua orang di Desa Salak Rejeng ini sudah mengenal Ki Tunggul Santak. Bahkan hanya sekali saja Rangga bertanya, maka orang yang ditanya langsung mengantarkan sampai ke depan rumahnya.
Rumah Ki Tunggul Santak memang tidak begitu besar, tapi memiliki halaman cukup luas. Dan sebenarnya rumah itu hanya disewa Ki Tunggul Santak, selama belum ada seorang pun yang mampu membawa kepala Pranggala padanya. Bukan hanya Rangga saja yang merasa heran, karena rumah itu dijaga ketat puluhan anak-anak muda bersenjata pedang dan golok. Tapi, Pandan Wangi juga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Entah dari mana Ki Tunggul Santak bisa mengumpulkan mereka. Padahal, muridnya sendiri sudah tinggal sedikit. Tapi sekarang, rumah sewa yang kini menjadi tempat tinggal sementara dijaga ketat. Entah berapa puluh orang yang menjaga di sekeliling rumah itu.
Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya, begitu tiba di depan pintu pagar bambu yang mengelilingi rumah kecil dan sederhana bentuknya itu. Terlihat tiga orang anak muda yang semuanya menyandang pedang di pinggang menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Pandan Wangi juga segera turun dari punggung kudanya. Mereka menunggu tiga orang murid Ki Tunggul Santak itu sampai dekat.
"Maaf, apakah ini tempat tinggal Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga langsung, setelah memberi salam.
"Benar," sahut salah seorang anak muda itu. "Kalian siapa, dan apa keperluannya hingga ingin bertemu Ki Tunggul...?"
"Kami hanya dua orang pengembara, yang mendengar kalau Ki Tunggul Santak menyediakan hadiah besar bagi siapa saja yang bisa membawa kepala Pranggala. Kami berdua merasa tertarik, dan ingin meminta keterangan sebelum mencari orang yang kepalanya disayembarakan itu," sahut Rangga beralasan.
"Ikut aku," kata pemuda itu lagi, seraya berbalik.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk, lalu melangkah mengikuti. Sementara Pandan Wangi juga ikut melangkah di samping kanannya. Tapi begitu mereka sampai di tengah halaman, dua orang pemuda mencegatnya.
"Biar kami yang mengurus kuda-kuda kalian," pinta salah seorang.
Rangga tersenyum, lalu menyerahkan tali kekang kudanya pada salah seorang dari mereka. Pandan Wangi juga menyerahkan kudanya. Kini mereka kembali melangkah mengikuti pemuda yang sejak tadi terus berjalan di depan. Kemudian pendekar muda dari Karang Setra itu kemudian disuruh menunggu, setelah tiba di beranda depan rumah yang kecil dan sederhana ini. Sementara, pemuda yang membawanya sudah menghilang ke dalam. Tapi tidak berapa lama, dia muncul lagi bersama seorang laki-laki tua berjubah putih bersih, dengan sebilah pedang tergenggam di tangan kiri. Sarung pedang itu terlihat indah berwarna hitam yang berkilat.
"Silakan duduk," ucap laki-laki tua yang tidak lain Ki Tunggul Santak, dengan senyum ramah tersungging di bibirnya.
"Terima kasih," ucap Rangga.
Mereka bertiga kemudian duduk di lantai beranda depan yang beralaskan selembar tikar lusuh. Sementara, anak muda yang mengantarkan kedua pendekar itu sudah menghilang lagi entah ke mana.
"Kudengar kalian ingin bertemu denganku...?" tanya Ki Tunggul Santak masih ramah sikapnya.
"Benar," sahut Rangga. "Kami ingin bertemu orang yang bernama Ki Tunggul Santak."
"Akulah Ki Tunggul Santak."
"Ooo...."
"Dan kalian dua orang pendekar yang ingin mengadu nasib?" tanya Ki Tunggul Santak ingin memastikan.
"Benar, Ki," sahut Rangga lagi seraya mengangguk sedikit.
"Ketahuilah. Orang yang akan kalian kejar memiliki kepandaian tinggi sekali dan sukar ditandingi. Sudah banyak pendekar seperti kalian, baik muda maupun tua yang mencoba mengadu nasib. Tapi sampai sekarang, yang kudengar hanya kematian mereka saja. Tidak seorang pun yang sanggup menandingi kesaktian Pranggala. Maaf, bukannya ingin menggentarkan dan menghilangkan semangat kalian berdua. Paling tidak kalian harus siap, kalau orang yang akan dihadapi tidak sembarangan," kata Ki Tunggul Santak langsung menjelaskan.
"Kami tahu, Ki," ujar Rangga kembali tersenyum sedikit.
"Ya, aku percaya. Kalian pasti sudah mendengar banyak dari orang-orang. Aku memang menyebar pengumuman itu, tidak hanya di Desa Salak Rejeng ini. Tapi di seluruh desa yang ada di sekitar kaki Gunung Puting ini."
"Mudah-mudahan nasib kami baik, Ki," Ujar Rangga.
"Bukan hanya pada kalian berdua saja. Setiap orang yang datang ke sini, selalu kuharapkan bisa datang kembali dengan membawa berita menggembirakan. Tapi sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang bisa membawa kepala Pranggala kesini," kata Ki Tunggul Santak.
Rangga hanya diam saja. Bisa dirasakan adanya keputusasaan dalam nada suara laki-laki tua ini. Sedangkan Pandan Wangi sejak tadi hanya diam saja mendengarkan semua percakapan itu, tanpa sedikit pun menyelak. Juga bisa dirasakannya kalau kata-kata Ki Tunggul Santak tadi memang mengandung nada keputusasaan. Tapi diam-diam, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Pandan Wangi. Hanya saja gadis itu seperti tidak mau mengutarakannya. Dan hanya lirikan matanya saja yang beberapa kali hinggap di wajah Pendekar Rajawali Sakti.
Kesempatan Pandan Wangi untuk mengutarkan ganjalan yang ada dalam hatinya, memang terbuka juga. Itu terjadi setelah dia dan Rangga meninggalkan rumah yang disewa Ki Tunggul Santak. Mereka tidak menunggang kuda keluar dari halaman rumah yang dijaga sangat ketat itu. Dan kuda-kuda itu hanya dituntun, mengikuti dari belakang. Kedua pendekar muda dari Karang Setra ini berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Salak Rejeng ini.
"Kakang, apa kau tidak merasakan adanya kelainan pada Ki Tunggul Santak?" Pandan Wangi baru membuka suara setelah berada cukup jauh dari rumah yang disewa Ki Tunggul Santak.
"Maksudmu...?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Aku merasakan ada sesuatu yang tersembunyi dalam suaranya," sahut Pandan Wangi, terdengar agak ragu-ragu.
Rangga langsung menghentikan ayunan langkahnya, dan kontan menatap gadis di sebelahnya dalam-dalam. Dan yang dipandangi balas menatap dengan sorot mata begitu sukar diartikan.
"Kau memperhatikannya juga, Pandan...?" ujar Rangga bernada bertanya.
"Ya. Dia seperti putus asa, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Hm.... Kalau itu, aku juga merasakannya sejak pertama kali bertemu," kata Rangga sedikit menggumam.
"Tapi ada sesuatu yang sejak tadi menjadi beban pikiranku, Kakang," tambah Pandan Wangi, kembali terdengar agak ragu-ragu.
Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Kembali kakinya melangkah perlahan-lahan. Sementara, Pandan Wangi mengikuti disebelah kirinya.
"Rasanya sukar dipercaya kalau tidak ada sesuatu antara Pranggala dengan dia, sehingga Ki Tunggul Santak sampai mau menyediakan hadiah begitu besar hanya untuk sebuah kepala saja. Sedangkan kita, tidak tahu pasti permasalahannya sampai Pranggala menjadi buruan dan berharga begitu tinggi," papar Pandan Wangi, mulai mengemukakan ganjalan hatinya. Tapi Rangga masih tetap saja diam mendengarkan.
"Semua orang yang ada di desa ini tidak ada yang tahu, siapa Pranggala dan Ki Tunggul Santak itu. Mereka juga baru tahu setelah kedua orang itu ada di desa ini, Kakang. Dan mereka secara bersamaan muncul di sini, dengan membawa persoalan yang tidak bisa dipandang ringan. Sudah banyak nyawa yang melayang, tanpa ada seorang pun yang mengetahui permasalahannya. Bahkan mereka yang tergiur oleh hadiah itu, juga tidak tahu persoalannya. Sampai-sampai rela mengantarkan nyawa sia-sia. Aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik semua peristiwa ini, Kakang. Kalau kita mengikuti arus, itu berarti harus menyusuri jejak-jejak setan yang tidak akan terlihat. Bahkan tidak tahu, di mana akhir perjalanannya," panjang lebar Pandan Wangi mengutarakan beban yang sejak tadi mengganjal hatinya.
"Hm...," tapi Rangga hanya menggumam sedikit saja.
Namun kening Pendekar Rajawali Sakti terlihat berkerut. Seakan-akan ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Sesuatu yang sulit dikemukakan, walaupun sorot matanya begitu jauh memandang ke depan. Pandan Wangi sendiri melangkah dengan pandangan lurus ke depan, seakan-akan juga tengah memikirkan sesuatu. Dan mereka jadi terdiam membisu, dengan pikiran terus menggantung di dalam benak masing-masing. Hingga mereka sampai di perbatasan desa, belum juga ada yang bicara.
Namun ayunan langkah mereka tiba-tiba jadi terhenti, begitu di depan tampak berdiri menghadang seorang pemuda yang hampir sebaya dengan Pendekar Rajawali Sakti, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Baju warna merah muda yang dikenakannya sangat ketat sehingga otot-ototnya tampak bersembulan, membuat tubuhnya kelihatan tegap dan berisi. Dan sorot matanya terlihat seperti kosong, menatap lurus ke depan. Seakan-akan, kehadiran kedua pendekar yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya tidak diperhatikannya. Bukan hanya Pandan Wangi saja yang langsung bisa mengenali. Tapi, Rangga juga sudah langsung bisa mengetahui kalau pemuda yang menghadang di depan adalah Pranggala.
"Sejak semula sudah kuduga, kalian berada sini pasti tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak. Hhh! Kalian akan mati sia-sia...!" terasa begitu dingin nada suara Pranggala.
"Kau salah sangka, Kisanak," bantah Rangga tegas.
"Kalau tidak, untuk apa menemui Ki Tunggul Santak?"
"Hanya ingin mencari kebenarannya saja," sahut Rangga.
"Kebenaran...? Hhh! Tidak ada lagi kebenaran di jagat ini, Kisanak. Kebenaran sudah terlalu rapuh. Jadi, jangan harap bisa mendapatkannya," sinis sekali nada suara Pranggala.
"Kebenaran itu masih tetap ada, Kisanak. Walaupun aku tidak menyangkal, kalau kebenaran memang sudah rapuh. Tapi paling tidak, sekecil apapun dari segunung kesalahan, kebenaran pasti ada. Dan, sedikit kebenaran itulah yang kini kuinginkan. Maka kau juga jangan mengira kalau aku tergiur tiga ribu kepeng emas. Bagiku, hadiah sebesar itu tak ada artinya untuk nyawa orang. Terlebih lagi untukmu, Kisanak. Kau yang memiliki kepandaian tinggi, tidak seharusnya dihargai hanya tiga ribu keping emas untuk kepalamu."
"Kau bicara seolah-olah berada di pihakku, Kisanak. Tapi, maaf. Aku tidak akan pernah percaya pada siapa pun juga. Setiap kali aku mempercayai seseorang, pasti orang itu selalu mengkhianatiku," masih terdengar sinis nada suara Pranggala.
"Aku tidak akan memihak pada siapa pun juga. Terlebih lagi, mereka yang suka membunuh orang-orang tidak berdosa."
"Kau membuatku bingung, Kisanak. Apa sebenarnya yang kau inginkan di sini, heh...?!"
"Kebenaran."
"Huh! Aku tidak percaya pada kebenaran!"
"Kau boleh tidak percaya. Tapi kalau kau berada di pihak yang benar, pasti akan merasakan arti kebenaran sesungguhnya walau hanya setitik debu."
Pranggala jadi tertegun mendengar kata-kata Rangga barusan. Memang diakui di dalam hati, baru kali ini dia bertemu seseorang yang berpandangan begitu luas. Bahkan begitu percaya akan adanya kebenaran, yang selama ini sudah hampir dilupakan orang. Memang, sekarang ini sulit mencari kebenaran yang kini bisa diputarbalikkan hanya dengan kekuatan harta. Harta memang bisa membuat yang salah menjadi benar. Tapi, tidak demikian halnya Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun hanya setitik debu yang ada, dia tetap percaya kalau kebenaran bisa diperolehnya.
"Kisanak, siapa namamu?" tanya Pranggala mulai terdengar berubah nada suaranya.
"Rangga. Dan ini adikku. Namanya, Pandan Wangi," sahut Rangga memperkenalkan diri, juga Pandan Wangi yang berada di sebelah kirinya.
"Kau pasti sudah tahu namaku," kata Pranggala.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kau tahu, Rangga. Kenapa aku tidak memberi kesempatan hidup pada siapa saja yang menjadi lawanku? Padahal, sebenarnya mereka sudah berapa kali kubiarkan tetap hidup. Tapi mereka justru mencari kesempatan, dan menohokku dari belakang. Kau mengerti maksudku, Rangga...?' ujar Pranggala.
"Ya, aku mengerti. Memang tidak enak menjadi orang buruan," sahut Rangga.
"Seperti mereka yang pernah kau selamatkan nyawanya dari tanganku. Sudah berapa kali mereka kuberi kesempatan hidup tapi tetap saja memburuku seperti binatang buruan. Bahkan selalu mencuri kesempatan untuk membunuhku. Apakah aku salah kalau tidak sudi lagi memberi kesempatan pada mereka yang ingin membokongku...? Apa kau pikir tindakanku salah...? Lalu, di mana letak kebenarannya, Rangga...?"
Mendapat pertanyaan yang beruntun begitu, Rangga jadi tidak bisa menjawab langsung. Dia jadi tertegun juga, dan bingung memberi jawabannya. Memang sulit dijawab pertanyaan Pranggala barusan. Karena memang antara kesalahan dan kebenaran sekarang ini hanya dibatasi oleh benang yang amat tipis.
"Kalian berdua kubiarkan tetap hidup, karena baru sekali ini bertemu denganku. Tapi kalau kalian berdua tetap ingin membunuhku dengan segala cara, aku terpaksa membela diri. Dan kurasa, aku tidak salah kalau sampai membunuh kalian berdua," kata Pranggala lagi.
Kata-kata yang diutarkan Pranggala, membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi tertegun. Kedua pendekar muda itu tidak bisa lagi menyangkal kebenaran yang diutarkan Pranggala barusan. Dan ini juga membuat mereka jadi bimbang. Walaupun Pranggala sudah banyak membunuh orang yang dianggap tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa, tapi sikap dan penuturannya membuat kedua pendekar itu jadi berpikir lain. Dan mereka merasa yakin kalau ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa berdarah ini.
"Pranggala.... Hm.... Boleh aku memanggilmu begitu?" ujar Rangga.
"Kau bisa memanggilku apa saja, Rangga," sambut Pranggala.
"Boleh aku tahu, apa persoalanmu dengan Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga langsung.
"Kenapa kau tanyakan itu?" Pranggala malah balik bertanya.
"Kau keberatan...?"
Pranggala terdiam. Beberapa saat ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja. Sedikit ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Sementara Rangga tetap menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi, yang membuat Pranggala jadi terdiam dan merasa berat menjawabnya.
"Belum pernah ada yang menanyakan hal itu padaku. Biasanya, mereka yang mencariku langsung menyerang tanpa bertanya lagi. Dan rupanya, mereka menyerangku karena menginginkan tiga ribu keping emas yang dijanjikan Ki Tunggul Santak," terdengar pelan sekali suara Pranggala.
Begitu pelannya, hampir tidak terdengar di telinga Rangga maupun Pandan Wangi. Dari nada suaranya, jelas sekali terasa kalau ada sesuatu yang bergolak dalam dada Pranggala.
"Kau punya persoalan pribadi dengan Ki Tunggul Santak?" tanya Pandan Wangi, setelah semuanya terdiam cukup lama.
Pranggala tidak langsung menjawab. Malah dipandanginya Pandan Wangi dalam-dalam. "Aku ingin membunuhnya," kata Pranggala pelan, namun terdengar tegas nada suaranya.
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi lagi.
Lagi-lagi Pranggala tidak langsung menjawab. Kembali dipandanginya si Kipas Maut itu dalam-dalam. Seakan, pertanyaan Pandan Wangi barusan begitu mengganjal relung hatinya. Sementara diam-diam, Rangga terus mengamati pemuda itu dengan kelopak mata agak menyipit.
"Kalaupun kukatakan, kalian tidak akan bisa memahaminya. Ini persoalan pribadi antara aku dengan Ki Tunggul Santak. Tapi, dia sudah melibatkan orang lain. Bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa, terpaksa harus mati di tanganku. Dan semua yang kulakukan hanya membela diri saja. Karena tentu saja aku tidak sudi mati di tangan siapa pun juga, sebelum bisa memenggal kepala Ki Tunggul Santak," tegas Pranggala.
"Mendekati Ki Tunggul Santak, tidak semudah seperti apa yang kau bayangkan, Pranggala. Dia dikelilingi jago-jago persilatan undangannya. Bahkan kurasa, kau tidak akan bisa mendekati tempat kediamannya," kata Rangga pelan, namun terdengar sangat dalam nada suaranya.
"Aku tahu. Itu sebabnya, kenapa aku selalu bersabar mencari kesempatan baik agar bisa berhadapan langsung dengannya," sambut Pranggala kalem.
"Kau berkepandaian sangat tinggi, Pranggala. Kalau kau menginginkan nyawa Ki Tunggul Santak, kenapa tidak mengajukan tantangan dan bertarung secara jujur saja...?" usul Pandan Wangi.
"Kau belum tahu siapa Ki Tunggul Santak itu Nisanak," terdengar agak sinis nada suara Pranggala.
"Aku memang baru mengenalnya tadi. Dan kulihat dia sangat ramah, sopan, berilmu tinggi dan tidak angkuh. Bahkan terlihat begitu merendah," kata Pandan Wangi lagi.
"Kau terlalu mudah terbius oleh penampilan luarnya saja. Kalau sudah tahu siapa dia yang sebenarnya, aku yakin kau tidak akan mau bertemu dengannya. Bahkan mungkin juga akan berhasrat melenyapkannya dari muka bumi ini," kata Pranggala dengan nada suara sinis lagi.
"Kau memandang Ki Tunggul Santak seperti seorang penjahat besar yang harus dilenyapkan saja," ujar Pandan Wangi terus memancing.
Tapi, Pandan Wangi hanya terlihat tersenyum kecil saja. Perlahan Pranggala berbalik, lalu melangkah mendekati sebatang pohon yang cukup besar dan berdaun rindang. Sementara Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan beberapa saat. Mereka melihat Pranggala duduk bersila di bawah pohon yang cukup rindang, melindungi dirinya dari sengatan teriknya mentari.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu melangkah menghampiri, kemudian duduk bersila tidak jauh di depan Pranggala. Masih belum ada seorang pun yang membuka suara. Mereka semua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.***
![](https://img.wattpad.com/cover/220567446-288-k8545.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
108. Pendekar Rajawali Sakti : Harga Sebuah Kepala
AksiSerial ke 108. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.