Entah sudah berapa lama Rangga dan Pandan Wangi berbicara dengan Pranggala. Sampai matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, ketiga anak muda itu masih berada tidak jauh di luar perbatasan Desa Salak Rejeng. Dari semua pembicaraan itu, Rangga kini sudah memahami persoalan yang sedang dihadapi Pranggala. Walaupun, belum tuntas benar.
"Namamu sudah telanjur rusak, Pranggala. Memang, aku mengakui kalau kau belum tentu bersalah. Dan mereka yang selama ini memburumu, merasakan seperti tengah mengikuti jejak-jejak setan yang sangat sukar dilihat. Demikian pula, Ki Tunggul Santak. Dia juga mengalami kesulitan untuk bisa mengetahui keberadaanmu," kata Rangga perlahan.
"Aku bisa memahami, Rangga. Memang kedudukanku sekarang ini sangat sulit. Semua orang sudah telanjur menyangka aku adalah pembunuh. Mereka memandangku tidak lebih dari iblis haus darah. Tapi semua yang kulakukan hanya membela diri saja. Dan semua ini karena ulah Ki Tunggul Santak. Itu sebabnya, kenapa aku ingin membunuhnya. Tapi, rintangan yang kuhadapi terlalu besar. Begitu banyak orang yang tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak," terdengar pelan sekali suara Pranggala, seakan begitu menyesali semua yang telah terjadi pada dirinya.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu," sahut Pranggala agak mendesah, sambil mengangkat pundaknya sedikit.
"Kalau kau merasa tidak bersalah, kenapa tidak berusaha membersihkan diri?" saran Pandan Wangi.
"Bagaimana caranya?" tanya Pranggala meminta pendapat.
Pandan Wangi tidak langsung bisa menjawab. Malah matanya melirik Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Dan sampai sekarang, walaupun Pranggala sudah bercerita begitu banyak, tapi belum tahu juga sebab-sebab pertentangannya dengan Ki Tunggul Santak.
"Pranggala. Boleh aku tahu, kenapa kau menginginkan kematian Ki Tunggul Santak..? Juga, kenapa dia menginginkan kepalamu. Apa sebenarnya yang terjadi diantara kalian berdua, sampai mengorbankan begitu banyak orang yang tidak tahu apa-apa...?" tanya Rangga.
Pranggala tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu malah diam termenung, dengan pandangan tertuju lurus ke bola mata pemuda berbaju rompi putih yang berada tepat di depannya. Seakan-akan, dari sorot matanya memancarkan sesuatu yang sangat berat untuk diungkapkan. Sementara, Rangga membalas pandangan mata itu dengan sinar mata tidak kalah dalam. Ditunggunya jawaban dari pertanyaannya barusan.
"Hhh...!" Pranggala menghembuskan napas panjang-panjang. Terasa begitu berat hembusan napasnya.
Sementara, Rangga masih tetap sabar menunggu, sambil memandangi pemuda itu dengan sorot mata yang cukup dalam. Demikian pula Pandan Wangi yang hanya membisu, seperti menunggu jawaban Pranggala atas pertanyaan Rangga tadi.
"Sebenarnya, ini masalah pribadi antara aku dan Ki Tunggul Santak. Dan rasanya orang lain tidak perlu ikut campur. Tapi kenyataannya, Ki Tunggul Santak sendiri yang memulai, hingga orang lain ikut campur. Bahkan mereka semua mengejar, memburuku seperti binatang. Aku sendiri tidak tahu, kenapa bisa sampai sejauh ini persoalannya. Padahal, aku hanya menuntut tanggung jawabnya saja. Dan, hanya nyawanya saja yang kuinginkan. Tapi karena dia juga, terpaksa aku harus membunuh mereka yang sebenarnya tidak tahu apa-apa," terdengar berat dan pelan sekali suara Pranggala.
"Tanggung jawab apa yang kau tuntut dari Ki Tunggul Santak, Pranggala?" tanya Pandan Wangi, semakin ingin tahu.
"Hutang...," sahut Pranggala bernada terputus.
"Hutang apa?" desak Pandan Wangi lagi.
"Hutang nyawa."
Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan. Mereka semakin tertarik saja untuk mengetahui persoalan yang kini sedang dihadapi. Mereka merasa kalau persoalan antara Pranggala dengan Ki Tunggul Santak semakin rumit. Dan kerumitan inilah yang membuat mereka semakin ingin tahu.
Tapi kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah bisa membayangkan kalau Pranggala menuntut nyawa Ki Tunggul Santak. Dan ini tentu saja hanya sebuah persoalan balas dendam. Hanya tampaknya, Ki Tunggul Santak sudah meluaskan persoalan balas dendam berdarah ini dengan mengikutsertakan orang-orang luar yang tidak tahu apa-apa. Dan dia seolah-olah menjadikan Pranggala sosok penjahat besar haus darah, yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini.
"Kalau kalian tahu, Ki Tunggul Santak sebenarnya bukan orang baik-baik. Dan dia juga tidak pernah mempunyai sebuah padepokan silat. Dia sebenarnya adalah seorang pemimpin gerombolan liar. Bersama murid-muridnya, desa kelahiranku dihancurkannya. Semua penduduk dibunuh, dan harta bendanya dirampas. Hanya aku sendiri yang masih bisa selamat. Aku lalu pergi dari desa, mengembara sampai dipungut murid oleh seorang pertapa. Dan sekarang, aku harus membalas kematian orangtuaku, saudara-saudaraku, dan seluruh penduduk desaku yang dibunuh dengan kejam," dengan nada suara sendu, Pranggala menceritakan awal persoalannya dengan Ki Tunggul Santak.
"Sudah berapa lama peristiwa itu terjadi?" tanya Pandan Wangi
"Lima belas tahun yang lalu. Waktu itu, aku masih berumur sebelas tahun. Dan aku tidak pernah lupa wajah laki-laki yang membunuh ayahku dengan keji. Memperkosa ibuku, lalu membakar mereka semua di dalam rumah. Rangga, apa aku salah bila hendak membalas dendam yang sudah kusimpan selama lima belas tahun ini...?" pandangan Pranggala tertuju lurus pada Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja mendengarkan.
"Sulit dikatakan, Pranggala. Balas dendam memang tidak akan ada yang bisa menghalangi. Aku tidak bisa mengatakan, apakah kau benar atau salah. Semuanya sudah terjadi. Pertumpahan darah sudah begitu banyak. Rasanya, aku memang tidak akan mungkin bisa mencegah pertumpahan darah lebih banyak lagi. Sedangkan, sekarang ini kau berada dalam kedudukan yang sangat sulit. Semua orang sudah memandangmu sebagai pembunuh kejam yang haus darah," sahut Rangga hati-hati.
"Terus terang, semua itu sebenarnya tidak kuinginkan, Rangga. Tapi setiap kali kucoba untuk menjelaskan, mereka tidak pernah mau mengerti. Bahkan malah ingin membunuhku. Apa yang kulakukan sekarang ini, hanya sekadar membalas dari semua perbuatan mereka, Rangga. Aku sudah berkelana mencari mereka yang dulu menghancurkan desaku. Satu persatu kudatangi, dan sekarang tinggal Ki Tunggul Santak saja. Aku sendiri tidak bisa menghentikan langkahku lagi, Rangga. Sudah tidak kupedulikan lagi kata-kata orang. Dan ini sudah menjadi sumpahku. Setelah kepala Ki Tunggul Santak terpisah, aku akan mengasingkan diri dari dunia persilatan. Aku akan mengikuti jejak guruku, menjadi pertapa," kata Pranggala mantap.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi kalau memang itu sudah menjadi tekadmu, Pranggala. Tapi kalau boleh kusarankan, sebaiknya tantang langsung Ki Tunggul Santak, agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah," sahut Rangga pelan.
"Kau bijaksana sekali, Rangga. Akan kugunakan saranmu. Aku tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekelilingnya, dan segala tipu dayanya. Aku seperti telah mendapat semangat baru, setelah bertemu denganmu, Rangga. Rasanya, memang ini jalan satu-satunya agar tidak banyak pertumpahan darah lagi," sambut Pranggala, seraya tersenyum.
Sebentar pemuda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian bangkit berdiri sambil menghembuskan napas sedikit. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi masih tetap duduk memandangi. Pranggala berdiri tegak dengan pandangan lurus ke Desa Salak Rejeng tanpa berkedip sedikit pun. Saat itu, Rangga dan Pandan Wangi sudah berdiri. Mereka berdiri di belakang pemuda yang selama ini selalu menjadi momok menakutkan semua orang.
"Akan kudatangi dia sekarang juga," ujar Pranggala perlahan, dan agak mendesis suaranya.
Setelah berkata demikian, dengan kecepatan bagai kilat Pranggala melesat pergi tanpa berpaling lagi sedikit pun pada kedua pendekar muda yang berada tepat di belakangnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
"Kakang, kau tidak akan membantunya...?" ujar Pandan Wangi bertanya, seraya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tepat di sebelah kanannya.
"Hhh...!" Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja.
Tanpa bicara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri kudanya. Kemudian, dia melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu. Sedangkan Pandan Wangi memandangi beberapa saat kemudian bergegas menghampiri kuda putihnya yang berada tidak begitu jauh dari Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sebentar kemudian, Pandan Wangi sudah berada di atas punggung kuda putihnya. Mereka sebentar berpandangan, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tanpa bicara lagi, mereka segera menggebah kudanya perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Entah disadari atau tidak, mereka justru menuju Desa Salak Rejeng. Sementara, saat itu matahari sudah mulai condong ke arah barat Namun, sinarnya masih tetap terik dan menyengat kulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
108. Pendekar Rajawali Sakti : Harga Sebuah Kepala
ActionSerial ke 108. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.