Cukup banyak desa yang tersebar di sekitar kaki Gunung Puting. Dan di setiap desa, Pranggala selalu menyebar neraka. Hanya saja, dia tidak pernah mengusik penduduk yang tidak tahu apa-apa. Yang dipilihnya hanya orang-orang tertentu saja. Dan mereka yang didatangi, justru masih ada ikatan tali persaudaraan dengan Ki Jaran Jati. Bahkan juga kerabat, serta para sahabatnya. Dan yang lebih mengherankan lagi, mereka semua bertalian saudara dengan Ki Tunggul Santak. Atau paling tidak memiliki hubungan dekat dengan orang tua itu.
Dan Ki Tunggul Santak sendiri jadi semakin geram saja. Malah hadiah yang disediakan ditambahkannya menjadi tiga ribu keping emas bagi siapa saja yang bisa membawa kepala Pranggala padanya. Maka mereka yang merasa memiliki kepandaian dan pemburu hadiah, berlomba-lomba memburu Pranggala. Dan ini semakin membuat darah terus berhamburan ke mana-mana. Dan tampaknya, Pranggala juga menyadari kalau dirinya sekarang menjadi buruan. Tindakannya juga semakin liar saja. Lawan yang menantangnya tidak akan dibiarkan hidup. Mereka yang mencoba merebut hadiah dari Ki Tunggul Santak, tidak ada seorang pun yang bisa hidup lagi. Semua tewas di tangannya.
Sementara itu, Ki Jalaksana dan Dewi Manik yang memburu Pranggala karena kepentingan lain, sudah berada di sebelah utara kaki Gunung Puting. Mereka sudah lima hari mengembara, tapi yang ditemui hanya para pemburu hadiah yang terbujur kaku tidak bernyawa lagi.
"Ini sudah hari kelima kita memburunya, Kakang. Tapi jejak anak setan itu tidak juga kelihatan...," desah Dewi Manik, terdengar mengeluh.
"Pranggala memang pandai menghilangkan jejak Dewi. Namun kemunculannya juga bisa tak terduga. Dia seperti sudah tahu, di mana orang-orang yang memburunya. Bahkan selalu saja dapat menghindari, dan muncul secara tiba-tiba," jelas Ki Jalaksana yang sudah tahu banyak akan gerak Pranggala.
"Hhh...! Kita seperti menyusuri jejak-jejak setan saja, Kakang," desah Dewi Manik, bernada mengeluh lagi.
"Dia memang anak setan, Dewi. Jejak dan gerakannya juga seperti setan. Sukar diduga dan diikuti."
"Yaaah.... Aku jadi sangsi, Kakang."
"Kenapa?"
"Aku sangsi akan kemampuan yang kumiliki. Kalau mau, mungkin sejak kemarin-kemarin leherku sudah digorok, Kakang. Tapi anehnya, kenapa dia membiarkanku hidup...?"
"Kau tidak termasuk dalam hitungannya, Dewi. Dia hanya mencari orang-orang tertentu, serta para pengikut dan keturunannya saja. Memang semua para istri tidak ada yang dibunuh."
"Tindakannya sangat membingungkan, Kakang. Aku sendiri hampir tidak bisa mempercayai. Dia begitu tampan, dan kata-katanya juga lembut tapi, tindakannya begitu liar dan kejam. Aku semakin tidak mengerti, Kakang...," ujar Dewi Manik lagi.
"Hhh...!"
Ki Jalaksana hanya menghembuskan napas saja. Dia sendiri sebenarnya masih belum bisa memahami gerakan Pranggala. Pemuda itu memang kelihatannya tidak berbahaya sama sekali. Bahkan setiap kali menewaskan lawannya, selalu mengucapkan kata-kata bernada penyesalan. Dan ini sudah beberapa kali Ki Jalaksana memergokinya, tapi baru sekali sempat bertarung. Itu pun Pranggala tidak melayaninya sungguh-sungguh. Bahkan meninggalkannya pergi begitu saja. Sikap pemuda itu sampai sekarang masih membuatnya bertanya-tanya.
"Ayo kita jalan lagi, Dewi," ajak Ki Jalaksana.
Dewi Manik berdiri sambil menarik napas dalam-dalam. Sementara Ki Jalaksana sudah berada di samping kudanya. Mereka kemudian berlompatan naik. Tapi belum juga menggebah kuda, mendadak saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang bersamaan terdengarnya ledakan dahsyat menggelegar.
"Apa itu...?" tanya Dewi Manik
"Ayo kita lihat...!" seru Ki Jalaksana.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung saja menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi. Sehingga, debu dan dedaunan kering beterbangan ke angkasa tersepak kaki-kaki kuda.***
Mata Ki Jalaksana dan Dewi Manik jadi terbeliak, begitu melihat seorang pemuda berbaju merah muda tengah mengamuk membabatkan pedangnya pada para pengeroyoknya. Ada sekitar tiga puluh orang mengeroyok pemuda itu. Dan di sekitar pertarungan itu sudah bergelimpangan tubuh-tubuh berlumuran darah.
Tepat di saat Ki Jalaksana dan Dewi Manik datang, pemuda berbaju merah muda yang tidak lain Pranggala itu sudah cepat memutar tubuhnya. Dan tangan kirinya cepat direntang lurus ke samping. Maka seketika itu juga dari telapak tangan kirinya memancar cahaya merah bagai api yang langsung menyebar, menghantam para pengeroyoknya. Akibatnya jeritan-jeritan panjang pun terdengar saling susul.
Tampak mereka yang tersambar cahaya merah itu langsung menggelepar dengan tubuh hangus seperti terbakar. Dan dalam waktu singkat saja, semua pengeroyok sudah bergelimpangan sambil merintih menggelepar meregang nyawa. Namun tidak berapa lama kemudian, mereka semua mengejang kaku. Mati! Sementara Pranggala sendiri berdiri tegak dengan pedang berlumuran darah tergenggam erat di tangan kanan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, merayapi mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya.
Cring!
Dengan gerakan indah sekali, Pranggala memasukkan pedangnya di dalam warangka di pinggang. Lalu, kakinya segera melangkah. Namun baru saja terayun beberapa tindak...
"Pranggala, berhenti kau...!"
Ki Jalaksana membentak lantang, disertai pengerahan tenaga dalam.
"Hm...."
Pranggala menghentikan langkahnya. Perlahan tubuhnya berbalik. saat itu, Ki Jalaksana dan Dewi Manik sudah turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka melangkah beberapa tindak mendekati, dan baru berhenti setelah tinggal berjarak sekitar dua batang tombak lagi di depan pemuda berwajah tampan yang sorot matanya begitu tajam memancarkan kebengisan.
"Kalian rupanya...," terasa begitu datar dan dingin nada suara Pranggala.
"Tindakanmu sudah keterlaluan, Pranggala. Kau sudah keluar dari tujuanmu!" dengus Ki Jalaksana.
"Aku sama sekali tak menghendaki, Ki Jalaksana. Mereka saja yang sengaja memburuku, karena ingin mendapatkan hadiah dari Ki Tunggul Santak. Seharusnya, bukan aku yang kau temui, Ki Jalaksana. Tapi, sahabatmu itu. Kalau saja dia tidak berbuat macam-macam, tidak akan seperti ini jadinya," tegas Pranggala.
"Apa pun alasanmu, kau sudah menyebarkan neraka di jagat ini!" sentak Ki Jalaksana.
"Jangan menuduh sembarangan, Ki Jalaksana," desis Pranggala merasa tidak senang.
"Kalau kau tidak mau dituduh, kenapa tidak sembunyi saja? Atau kau pergi ke tempat yang jauh dari sini."
"Masih ada satu lagi urusanku di sini, Ki Jalaksana. Dan ini yang terpenting bagiku."
"Aku tahu tujuanmu, Pranggala. Sebaiknya lupakan saja. Kau tidak akan mungkin bisa membunuh Ki Tunggul Santak. Bukankah dia...."
"Cukup...!" bentak Pranggala lantang, sehingga membuat kata-kata Ki Jalaksana terputus.
Sementara, Dewi Manik sudah menggenggam gagang pedang, walaupun belum tercabut dari warangkanya. Wanita itu sendiri sebenarnya sudah tidak sabar lagi, ingin mengepruk pemuda itu. Tapi dia masih bisa menahan diri, dan membiarkan Ki Jalaksana bicara. Ingin diketahuinya, ada apa sebenarnya di balik semua peristiwa berdarah ini.
"Ki Jalaksana! Sudah berulang kali aku memperingatkanmu. Dan kalau peringatanku yang terakhir ini tidak diindahkan, aku tidak segan-segan memasukkanmu ke dalam deretan orang-orang yang harus kulenyapkan!" kata Pranggala lantang menggelegar.
"Aku tidak akan berhenti sampai kau hentikan semua perbuatanmu, Pranggala," tandas Ki Jalaksana.
Pranggala menggeram kecil. Ditatapnya bola mata laki-laki setengah baya ini dengan sorot mata yang begitu tajam menusuk. Dan pandangannya kemudian berpindah pada Dewi Manik, yang diketahuinya istri Ki Jaran Jati. Kini tatapan matanya pun kembali beralih pada Ki Jalaksana.
"Ini peringatanku yang terakhir, Ki Jalaksana. Kalau tidak cepat pergi dari sini, aku tidak segan-segan memperlakukanmu seperti mereka...!" tegas Pranggala.
"Gertakanmu tidak akan bisa membuatku mundur selangkah pun, Pranggala."
"Jangan memaksaku, Ki Jalaksana."
"Tapi kau sudah memaksaku, Pranggala. Kau memaksaku untuk bertindak."
Pranggala kembali menggeram. Dari raut wajahnya yang memerah, jelas sekali kalau pemuda itu berusaha menahan kemarahan. Sedangkan Ki Jalaksana sudah melangkah lagi beberapa tindak. Sementara, Dewi Manik tetap berada di belakangnya. Perlahan pedangnya dicabut, bersamaan dengan tercabutnya pedang Ki Jalaksana dari warangka. Saat itu, Pranggala sudah tidak dapat lagi menahan kesabaran, melihat senjata dua orang di depannya sudah tercabut dari warangka. Perlahan pedangnya diangkat, hingga lurus sejajar dada dan tertuju langsung ke dada Ki Jalaksana.
"Kuharap, jangan menyesali tindakanmu yang bodoh, Ki Jalaksana," desis Pranggala dingin menggetarkan.
"Hari ini aku akan mengadu nyawa denganmu, Pranggala," sambut Ki Jalaksana tidak kalah dinginnya.
Lagi-lagi Pranggala menggeram kecil.
"Tahan seranganku, Pranggala! Hiyaaat...!"
Bet!
Bagaikan kilat Ki Jalaksana melompat sambil membabatkan pedang ke arah leher pemuda itu. Tapi hanya bergerak sedikit saja, Pranggala berhasil menghindari sabetan pedang itu. Lalu dengan cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah, sebelum Ki Jalaksana melancarkan serangan lagi. Saat itu juga, pedangnya dikebutkan lurus ke depan.
Wuk!
"Haiiit..!"
Ki Jalaksana cepat-cepat melenting dan berputar ke belakang, menghindari serangan balasan Pranggala. Dan begitu kakinya menjejak kembali di tanah, tubuhnya langsung melesat dengan pedang berputaran cepat mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan.
"Hap! Hiyaaa...!"
Begitu gencar serangan yang dilancarkan Ki Jalaksana, membuat Pranggala terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan beberapa kali pula pedang mereka berbenturan. Meskipun setiap kali terjadi benturan senjata Ki Jalaksana merasakan tangannya jadi bergetar, tapi tidak dipedulikan lagi. Dan memang disadari tingkat pengerahan tenaga dalam yang dimilikinya masih kalah dari pemuda ini. Namun tetap saja serangan-serangan gencar yang cepat dan beruntun dilancarkannya, membuat Pranggala tidak memiliki kesempatan balas menyerang. Dan pemuda itu hanya bisa berlompatan, berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dengan gencar dan cepat ini.
Pertarungan antara Ki Jalaksana dan Pranggala memang berlangsung sengit. Dan mereka bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang begitu dahsyat. Gerakan-gerakan yang dilakukan juga begitu cepat, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Sementara, Dewi Manik yang menyaksikan pertarungan itu jadi cemas juga. Sudah lebih dari sepuluh jurus pertarungan berlangsung, tapi Ki Jalaksana belum juga mampu mendesak. Bahkan serangan balasan yang dilancarkan Pranggala beberapa kali membuat Ki Jalaksana jadi kelabakan.
"Lepas...!"
Tiba-tiba saja Pranggala berseru keras mengejutkan. Dan seketika itu juga, pedangnya cepat dikebutkan untuk sengaja diadu dengan pedang Ki Jalaksana. Begitu cepat putaran pedangnya, sehingga Ki Jalaksana tidak sempat lagi menghindari pedangnya yang saat ini tengah menjulur ke depan. Hingga....
Trang!
"Ikh...!"
Ki Jalaksana jadi terpekik, begitu pedangnya tersambar pedang Pranggala. Begitu keras benturan tadi, hingga laki-laki setengah baya itu tidak dapat lagi menahan pedangnya hingga lepas dari genggaman. Dan saat itu juga, tangannya terasa jadi bergetar panas. Sementara, pedangnya sudah melambung tinggi ke angkasa.
"Hiyaaa...!"
Ki Jalaksana langsung melesat tinggi ke udara, hendak meraih pedangnya kembali. Tapi pada saat itu juga, Pranggala sudah melenting ke atas juga. Dan dengan kecepatan bagai kilat dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kiri, yang disusul sabetan pedang ke arah perut.
"Haiiit..!"
Namun Ki Jalaksana masih bisa menghindari pukulan itu. Dan matanya jadi terbeliak, karena tidak menyangka kalau Pranggala bisa mengebutkan pedangnya begitu cepat bagai kilat. Akibatnya, dia tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Cras!
"Aaakh...!"
Bruk!
Keras sekali Ki Jalaksana ambruk, terbanting ke tanah dengan bagian perut robek mengeluarkan darah.
"Kakang...!" jerit Dewi Manik.
Wanita itu jadi tersentak kaget setengah mati, melihat Ki Jalaksana menggelepar di tanah sambil memegangi perutnya yang sobek berlumuran darah. Tanpa menunggu waktu lagi, segera tubuhnya melesat mengejar Pranggala yang baru saja menjejakkan kakinya kembali di tanah. Cepat sekali pedangnya dicabut dan langsung dibabatkan ke kepala pemuda itu.
"Kubunuh kau, Setan Keparat! Hiyaaat...!"
Bet!
"Hap!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, tebasan pedang Dewi Manik tidak sampai mengenai kepala Pranggala. Lalu dengan gerakan manis sekali, Pranggala menarik kakinya ke belakang satu langkah. Dan seketika itu juga kaki kirinya cepat dihentakkan ke depan, sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat dan sama sekali tidak terduga tendangan yang dilepaskan Pranggala, membuat tubuh Dewi Manik sama sekali tidak dapat lagi menghindarinya. Hingga....
Des!
"Akh...!"
Dewi Manik jadi terpekik, begitu tendangan yang cukup keras ini mendarat tepat di dadanya. Wanita itu terpental ke belakang sejauh lima langkah, namun cepat bisa menguasai keseimbangan. Dan dengan cepat, dia kembali melompat sambil menebaskan pedang ke arah dada.
"Hiyaaat...!"
Wut!
"Haiiit..!"
Pranggala cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga ujung pedang Dewi Manik hanya lewat sedikit di depan dadanya. Dan saat itu juga, tangannya dijulurkan ke depan, mencoba melumpuhkan wanita ini dengan totokan. Tapi gerakan tangan yang lembut itu bisa diketahui Dewi Manik. Maka cepat-cepat pedangnya ditarik, dan langsung dikibaskan menyilang ke depan dada.
"Ups...!"
Pranggala agak terkejut juga melihat tindakan wanita ini. Maka cepat tangannya ditarik kembali, dengan kaki bergeser ke kanan sedikit. Lalu begitu tubuhnya doyong ke kiri, cepat sekali kaki kanannya menghentak ke depan, tepat mengarah ke dada wanita lawannya ini.
"Hap!"
Dewi Manik kembali menebaskan pedangnya secara berputar ke depan dada, membuat Pranggala terpaksa harus menarik pulang serangannya. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, Dewi Manik sudah cepat mengebutkan pedangnya lagi ke arah perut sambil meliuk dengan gerakan indah sekali.
"Hap!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Pranggala tidak berusaha menghindar sedikit pun juga. Bahkan tanpa diduga telapak tangannya dirapatkan di depan perut, tepat di saat ujung pedang Dewi Manik berada di depan perutnya. Dan....
Tap!
"Ikh...!"
Dewi Manik jadi tersentak kaget, begitu ujung pedangnya terjepit kedua telapak tangan Pranggala. Segera pedangnya ditarik, tapi sedikit pun tidak bergerak. Bahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan, membetot pedang yang terjepit di kedua telapak tangan lawannya ini. Tapi, tetap saja senjata itu sedikit pun tidak bergerak.
"Setan keparat! Hih! Yeaaah...!"
Dengan perasaan mendongkol, Dewi Manik langsung melenting ke atas. Dan saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras yang mengarah ke kepala pemuda ini. Namun tanpa diduga sama sekali, Pranggala justru menghentakkan tangannya yang menjepit ujung pedang, hingga membuat Dewi Manik jadi tersentak setengah mati.
Dan belum juga hilang rasa keterkejutan Dewi Manik, mendadak saja Pranggala sudah melepaskan jepitan pada ujung pedang. Lalu begitu cepat tangan kanannya menghentak ke depan, tepat ke dada wanita ini. Saking cepatnya sentakan itu, sehingga Dewi Manik tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...
Des!
"Akh...!"
Kembali Dewi Manik terpekik, begitu telapak tangan Pranggala menghantam keras dadanya. Akibatnya, tubuhnya terpental jauh ke belakang sejauh satu batang tombak. Dan saat itu juga, Pranggala sudah melesat cepat bagai kilat mengejar wanita ini. Bahkan sebelum tubuh Dewi Manik bisa menyentuh tanah, Pranggala sudah melepaskan satu tendangan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu deras tendangan itu, hingga sudah dapat dipastikan tubuh Dewi Manik pasti bakal hancur! Tapi sedikit lagi saja telapak kaki Pranggala menghantam tubuh wanita ini, mendadak...
Slap!
Plak!
"Ikh...?!"
Pranggala jadi tersentak kaget, karena tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih melesat begitu cepat memotong arus serangannya. Dan seketika itu juga, terasa ada sesuatu yang sangat keras menghantam kakinya. Akibatnya, dia jadi terpekik kaget, dan cepat-cepat melenting ke belakang. Tiga kali Pranggala melakukan putaran, lalu manis sekali kembali menjejakkan kakinya di tanah. Saat itu juga, kedua bola matanya jadi mendelik lebar. Ternyata sekitar dua batang tombak di depannya sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, tengah memondong tubuh Dewi Manik yang tampaknya sudah tidak sadarkan diri lagi.
Pemuda berwajah tampan bertubuh tegap berotot dan berbaju putih tanpa lengan itu meletakkan tubuh Dewi Manik di atas tanah yang cukup teduh dan aman. Kemudian dia berdiri lagi, menghadapi Pranggala. Namun, pandangannya tertuju pada Ki Jalaksana yang masih tergeletak dengan darah mengucur cukup deras dari perutnya yang sobek. Pemuda itu menghampiri laki-laki berusia setengah baya ini. Sebentar diperiksanya laki-laki itu, lalu diberikannya beberapa totokan di sekitar perut yang sobek. Seketika itu juga darah berhenti mengalir keluar. Dan, pemuda itu kembali berdiri tegak menghadapi Pranggala.
"Setan! Siapa kau...?!" bentak Pranggala gusar.***
![](https://img.wattpad.com/cover/220567446-288-k8545.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
108. Pendekar Rajawali Sakti : Harga Sebuah Kepala
ActionSerial ke 108. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.