BAGIAN 1

656 22 0
                                    

Jalan menuju Desa Watu Jajar melalui sebelah utara tampaknya memang tak begitu bagus. Lagi pula terlihat sempit, seperti membatasi sebuah sungai yang lebar dengan hutan yang lebat di sebelah kiri. Tak heran, karena itu hanyalah jalan setapak. Namun jalan itu adalah jalan pintas menuju daerah utara. Meskipun demikian, tampaknya jalan yang hanya cukup dilalui pedati itu, banyak juga dilalui orang.
Memang pemandangan di sekitar tempat ini cukup mempesona. Jauh di depan sana, terlihat barisan gunung yang menjulang tinggi. Sedangkan di seberang sungai, akan terlihat sawah-sawah menghijau bagai permadani yang amat luas.
Siang ini, matahari tak terlalu menyengat. Sedangkan angin bertiup sepoi-sepoi, membuat seorang pemuda yang tengah menunggang kuda tampak terkantuk-kantuk. Jalan tampak sepi. Dan sejak tadi, dia hanya berjalan seorang diri, tanpa berpapasan dengan siapa pun. Pemuda tampan berambut panjang terurai itu memakai baju rompi putih. Tampak sebilah pedang tersampir di punggungnya.
"Hm.... Indah sekali pemandangan di tempat ini. Dan padi-padi yang subur itu tentu menandakan kalau penduduk desa ini hidup lebih makmur." gumam pemuda itu.
Pemuda itu terus menjalankan kudanya dengan kecepatan sedang. Kini dia memasuki daerah perkampungan. Dan tampak orang-orang mulai ramai. Sesungguhnya, penduduk Desa Watu Jajar itu cu­kup padat. Dan bentuk rumah tiap penduduknya, bisa terlihat bahwa mereka cukup makmur. Pendu­duknya juga sehat-sehat. Tak ada anak-anak menangis di tengah jalan karena kelaparan. Tak ada keributan atau perkelahian yang memperebutkan sekerat makanan.
"Hm.... Sungguh beruntung kerajaan di negeri ini, jika setiap wilayahnya seperti desa ini. Di Karang Setra saja, belum tentu aku mampu membuat seluruh rakyatku hidup makmur serta damai," lanjut pemuda yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Raja­wali Sakti.
Rangga lalu menghentikan lari kudanya. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Namun beberapa saat kemudian, terlihat sesuatu yang aneh dan tak dirasakan Pendekar Rajawali Sakti sejak awal. Ada suatu hal yang amat menarik perhatiannya. Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, karena lama-kelamaan dirinya merasa asing di tempat ini. Agaknya penduduk desa ini tak begitu ramah terhadap orang asing. Mereka seolah tak mempedulikan kehadirannya. Bahkan ada kecurigaan lain yang dirasakan pemuda itu. Ternyata wajah mereka banyak menunjukkan rasa putus asa, ketakutan dan tak tenang. Seolah-olah ada kejadian hebat. Entah berupa bencana, atau yang lainnya. Tapi sepanjang yang diperhatikannya, Pendekar Rajawali Sakti tak melihat bencana apa yang menimpa desa ini.
"Ada baiknya aku menanyakan hal ini pada mereka!" bisik Pendekar Rajawali Sakti dalam hati. Rangga kemudian turun dari punggung kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu. Dituntunnya Dewa Bayu sambil berjalan memasuki desa lewat jalan utama, seperti membelah desa menjadi dua bagian. Tak lama, Rangga berpapasan dengan seorang laki-laki setengah baya.
"Maaf, Ki. Bolehkah aku bertanya?"
Laki-laki setengah baya itu tak menyahut. Di pandanginya Pendekar Rajawali Sakti dengan seksama dari ujung kaki hingga kepala. Sebentar ke­mudian, dia seperti enggan. Bahkan berusaha untuk berlalu, tanpa mempedulikan pemuda itu. Hal itu amat mengherankan Rangga. Dan laki-laki sete­ngah baya itu segera berlalu, begitu Rangga bergerak ke samping, memberi jalan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah kembali, setelah mengangkat bahu dengan kening berkerut dalam. Tak lama, dia berpapasan kembali dengan seorang laki-laki tua. Rasa penasaran, membuat Rangga kembali mengungkapkan rasa ingin tahunya. Namun sikap orang itu pun sama. Bahkan kelihatan takut sekali, dan langsung berlalu dari situ. Tentu saja hal itu semakin menimbulkan keheranan di hati pemuda itu.
"Kenapa mereka? Apa yang telah terjadi di desa ini...?" tanya Rangga pada diri sendiri dengan wajah semakin heran.
Rangga segera melangkahkan kaki ke sebuah kedai kecil yang terletak beberapa tombak di depannya. Begitu tiba di depan pintu kedai, Rangga melihat tak terlalu banyak orang. Paling tidak, ha­nya terdapat sekitar lima orang di dalam kedai ini. Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah ke da­lam, menghampiri seorang laki-laki agak tua yang sepertinya pelayan kedai ini.
"Kisanak, numpang tanya. Apakah di desa ini tengah terjadi bencana? Kenapa orang-orang di sini takut berbicara?"
Pelayan kedai itu terkejut. Kemudian dipandanginya pemuda itu dalam-dalam dengan wajah takut. Matanya segera melirik ke kiri dan kanan, kemudian kembali memandang pemuda itu dengan wajah tak senang.
"Kisanak, maaf... Kami tak bisa melayani. Sebaiknya, lekaslah pergi dari tempat ini," kata pelayan itu, tegas.
Kini Rangga yang kaget. "Kenapa? Apakah kedai ini tak menjual makanan?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Maaf, sudah habis," sahut pelayan itu singkat, sambil berlalu ke belakang dan tak kembali lagi.
Dengan perasaan kesal, Rangga segera berbalik dan keluar dari kedai itu. Dia tahu, pelayan kedai tadi berdusta. Buktinya ketika sudah berada di pintu depan kedai, matanya sempat melirik salah seorang pengunjung kedai yang tengah menambah makanannya. Dan matanya juga bisa melihat kalau persediaan makanan di kedai ini masih banyak. Hanya saja pemuda itu tak mau ribut-ribut, meskipun hatinya kesal dibohongi begitu.
"Gila! Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa mereka takut untuk membicarakannya? Apakah desa ini tengah dilanda bencana hebat yang dilakukan seseorang? Hm... Aku harus mencari tahu, apa yang terjadi di sini. Tapi pada siapa? Mereka semua takut berbicara padaku," gumam Rangga dalam hati sambil terus berjalan menghampin kuda­nya.
Mendadak saat itu seseorang lewat di dekatnya.
"Kisanak, aku bisa menjawab pertanyaanmu. Ikuti aku. Dan, jangan membuat curiga orang lain," bisik orang itu, tanpa menoleh.
"Heh?!"
Rangga langsung merubah sikapnya, dan pura-pura tak melihat laki-laki bertubuh sedang berkumis tipis yang terus berjalan ke arah yang berlawanan. Pendekar Rajawali Sakti sendiri terus berjalan ke depan. Setelah jaraknya agak jauh, tubuhnya berbalik. Langsung dibuntutinya laki-laki itu dari jarak jauh dengan perlahan-lahan.
Ketika mereka tiba di ujung desa, laki-laki itu memasuki sebuah rumah yang berada paling ujung, dan sedikit jauh dari yang lain. Rangga juga sudah tiba di depan rumah tua itu. Ditunggunya sesaat, sebelum masuk.
"Kisanak, silakan masuk!" ujar laki-laki itu sambil membukakan pintu ketika Rangga mengetuknya.
Bola mata laki-laki itu melirik ke sekelilingnya, kemudian melangkah ke luar. Dituntunnya kuda tunggangan pemuda itu.
"Maaf, kudamu harus kusembunyikan di belakang," lanjut laki-laki itu.
Rangga mengangguk setuju, melihat kewaspadaan laki-laki itu. Segera kakinya melangkah ma­suk. Tak lama kemudian, laki-laki tadi sudah muncul lagi, menyusul Rangga yang sudah ada di da­lam.
Ternyata, di dalam sudah ada seorang wanita setengah baya, tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Wajahnya manis, kulitnya kuning langsat. Dia memakai baju putih agak lusuh.
"Dia istriku. Namanya, Laksmi," kata laki-laki itu, ketika Rangga agak terpaku, tidak menyangka di dalam rumah ini ada seorang wanita.
Pendekar Rajawali Sakti lalu membungkukkan tubuhnya sedikit disertai senyum manis. Sementara wanita itu membalas penghormatan Rangga dengan anggukan kepala yang lembut.
"Kisanak, maafkan atas cara-caraku mengajakmu ke sini...," ucap laki-laki itu.
"Mari silakan duduk."
"Ah, tidak apa. Nah, katakanlah. Mengapa kau mengajakku ke sini?" tanya Rangga, setelah duduk di bangku dekat jendela yang sedikit terbuka.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu tak buru-buru menjawab. Malah diperhatikannya pemuda itu dengan seksama, beralih pada istrinya. Sebentar dia memberi isyarat dengan kepala agar istrinya segera ke belakang.
"Kisanak..., eh! Ng...," laki-laki itu membuka suara, setelah istrinya menghilang di balik pintu.
"Namaku Rangga...."
"Eh, aku Widura. Rangga, kulihat kau membawa pedang. Kalau tak salah, kau pasti seo­rang pendekar. Hm.... Bila kuceritakan sesuatu padamu, maukah kau menolong kami?"
Rangga tersenyum mendengar kata-kata laki-laki yang ternyata bernama Widura.
"Paman Widura, aku hanya seorang pengembara. Dan kalau aku punya kepandaian, tidak se­perti yang kau duga. Namun, dengan senang hati aku akan menolong jika memang amat diperlukan. Nah, apakah yang bisa kubantu?" tanya Rangga, merendah. Dan dia juga sudah memanggil paman pada Widura.
"Desa ini...!" desis Paman Widura, murung.
"Kenapa dengan desa ini, Paman?" tanya Rangga tertarik.
"Aku tadi sempat melihatmu tengah bertanya-tanya tentang keadaan desa ini pada orang-orang. Aku tahu, mereka takut bicara. Tapi begitu melihat­mu, aku lantas berharap mudah-mudahan kau bisa membebaskan kami dari ulah dewa keparat itu!" geram Paman Widura, sambil menggerutkan geraham.
"Dewa? Dewa apa, Paman?"
"Beberapa bulan lalu, ada orang asing yang datang ke desa ini. Dan dia mengaku sebagai utusan dewa. Bila kami menuruti kata-katanya, maka desa ini akan makmur dan sentosa. Namun bila membantah, maka bencana akan menimpa. Tentu saja hal itu amat menggelikan. Malah, tak seorang pun penduduk desa ini yang mempercayai ocehannya. Tapi beberapa hari kemudian, terjadi peristiwa aneh yang amat mengejutkan. Beberapa penduduk desa ditemukan tewas dengan tubuh membusuk dan kulit terkelupas, setelah menderita sakit terlebih dahulu. Peristiwa ini terus berlanjut, sehingga menimbulkan ketakutan bagi seluruh penduduk desa ini," tutur Paman Widura.
"Lalu, apa tindakan penduduk desa?"
"Beberapa tabib telah didatangkan untuk mengobati mereka yang sakit. Dan beberapa orang dukun pun berusaha melawan setan jahat yang menguasai desa ini. Tapi, justru merekalah yang ke­mudian tewas. Kemudian bencana lain kembali menimpa. Sumur-sumur di setiap rumah mulai tak aman, karena mengandung racun. Akibatnya, sebagian besar penduduk desa ini lemah tak berdaya, dan dibayangi ketakutan hebat. Akhirnya, jalan kami memang buntu. Maka, terpaksa kami minta pada orang asing itu agar menghentikan kutukan dewanya...," lanjut Paman Widura.
"Apakah dewa itu berhasil menghentikan kutukan?" tanya Rangga semakin tertarik. Paman Widura mengangguk.
"Apa keinginan dewa itu?"
"Setiap purnama kami wajib menyerahkan seorang perawan berwajah cantik, serta benda-benda berharga sebagai persembahan. Siapa saja yang tak setuju, bisa dipastikan akan tewas dalam waktu singkat..."
Rangga mengangguk-angguk mengerti. "Paman Widura, di mana aku bisa menjumpai dewa itu?"
"Tak seorang pun penduduk desa ini yang mengetahuinya. Kami hanya memberikan persembah­an pada utusannya yang sering berkeliaran di te­ngah desa, dengan mengadakan sedikit upacara di kaki Bukit Belimbang, di sebelah barat desa ini," jelas Paman Widura.
"Hm.... Kalau begitu, tunjukkan padaku dimana keberadaan utusan dewa itu berada."
"Maaf, Rangga Aku tak bisa mempertemukanmu dengannya. Ini sangat berbahaya bagi keselamatanmu sendiri. Tapi, kau bisa menemui seorang laki-laki berkulit hitam. Tubuhnya pendek. Telinganya agak lebar dengan hidung pesek besar. Dia memakai penutup kepala berwarna coklat, dan rompi putih sepertimu. Pokoknya, dia sering berkeliaran di keramaian desa," jelas Paman Widura lagi.
"Baiklah. Aku akan mencarinya sendiri nanti...."
"Rangga! Betulkah kau sudi menolong kami untuk menghancurkan dewa keparat itu?" Paman Widura seperti tak percaya.
Rangga mengangguk disertai senyum ramah di bibir.
"Dan jika kau membutuhkan penginapan selama berada di desa ini, anggaplah rumahku seperti rumahmu sendiri. Pintuku selalu terbuka untukmu. Sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih atas kesediaanmu membantu kami," tambah laki-laki bertubuh kecil itu.
"Paman Widura, sudahlah. Jangan terlalu repot-repot atau sungkan denganku. Bukankah kewajiban setiap manusia adalah saling tolong-menolong?" Rangga jadi tak enak sendiri, karena terlalu dihormati oleh Paman Widura.
Paman Widura tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dan mereka terus berbincang-bincang panjang lebar tentang keadaan desa ini, sambil makan singkong rebus dan kopi hangat. Sehingga, Rangga dapat mengetahui lebih banyak tentang keadaan Desa Watu Jajar ini.

110. Pendekar Rajawali Sakti : Sekutu IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang