"Kisanak! Kuharap jangan memaksaku kembali...," ujar Rangga perlahan sambil tersenyum kecil.
Tapi, keempat tukang pukul itu agaknya tak mempedulikan.
"Dua!"
Tukang pukul yang menjadi pimpinan itu kembali menghitung. Sementara Rangga memandang ke arah kepala desa itu dengan sinar mata penuh kekesalan.
"Huh! Rupanya kau tak patut menjadi kepala desa. Wilayahmu terancam dan wargamu menderita, tapi kau diam saja. Bahkan kau tak punya keberanian sedikit pun untuk menanggulanginya. Kau halangi orang lain untuk membantu demi harga dirimu. Atau, barangkali kau menjadi bagian dari persoalan ini sendiri?"
Setelah berkata demikian, Rangga melesat bagai kilat dari tempat itu. Begitu cepat melesatnya, sehingga bayangannya sudah tak terlihat lagi. Semua orang yang berada dalam ruangan itu terhenyak kaget, tidak menyangka kalau pemuda tadi begitu cepat berkelebat. Sementara laki-laki berpakaian mewah yang merupakan Kepala Desa Watu Jajar hanya memandang bengong, tak tahu harus berbuat apa.
"Kau tak apa-apa, Ki Wangsa?" tanya salah seorang tukang pukul, sambil menghampiri.
Kepala Desa Watu Jajar itu menggeleng lesu sambil menyarungkan keris di tangannya. Wajahnya tampak menyiratkan kebingungan.
"Kalau begitu, kami akan segera mengejarnya, Ki. Dia telah membuat resah banyak penduduk," kata tukang pukul itu. Kemudian tubuhnya berbalik, hendak berlalu dari rumah itu, diikuti teman-temannya.
Kepala desa yang ternyata bernama Ki Wangsa, hendak mencegah, namun suaranya seperti tersekat di tenggorokan. Sedangkan keempat tukang pukulnya telah cepat berlalu. Sambil menghela napas pendek, Ki Wangsa menghempaskan diri di kursi tepat di belakangnya.
"Kakang! Lebih baik hentikan semua ini. Bertindaklah secara tegas. Dan jangan lagi diperbudak saudaramu yang nyata-nyata menyesatkan dirimu serta seluruh penduduk desa ini," desah seorang wanita berusia setengah baya sambil duduk di dekat Ki Wangsa.
Walaupun telah berumur, namun gurat-gurat kecantikan pada wajahnya masih kentara. Kulitnya juga putih bersih, terbungkus pakaian biru dari sutera halus dengan hiasan kembang kembang warna putih. Dia memang Nyai Wangsa, istri Kepala Desa Watu Jajar.
Ki Wangsa memandang istrinya sebentar, kemudian memberi isyarat pada dua orang pembantunya agar membawa ketiga anaknya keluar dari ruangan itu. Segera dua orang wanita agak tua itu menggiring tiga anak kepala desanya yang masih kecil-kecil. Setelah mereka tak terlihat lagi, kembali kepala desa itu menghela napas berat.
"Aku tak bisa...," desah Ki Wangsa sambil menggelengkan kepala.
"Kenapa? Bukankah kau adalah kepala desa? Kau berkuasa menentukan sesuatu atas desa ini! Apa kau tidak malu melihat orang lain yang sama sekali bukan penduduk desa ini, mau berjuang untuk orang-orang yang justru tak menyukai kehadirannya? Apakah keadaan ini memang kau harapkan akan berlangsung terus, sehingga kehancuran desa ini akan semakin cepat? Kau lihat, orang-orang mulai malas bekerja! Sementara, korban berjatuhan semakin bertambah, akibat kebiasaan baru mereka menghisap benda laknat itu?!" sentak Nyai Wangsa kesal.
"Sudah! Sudah! Jangan paksa aku untuk melakukan sesuatu yang tak mampu kulakukan!" bentak laki-laki setengah baya itu garang.
"Huh! Kau hanya seorang pengecut rendah! lnikah tanggung jawabmu sebagai kepala desa? lnikah yang akan kau banggakan pada anak-anakmu kelak?!" sahut Nyai Wangsa seolah tak mempedulikan kemarahan suaminya.
Ki Wangsa yang sejak tadi memang mulai tak tenang dan sedikit bingung, kini terlihat kesal mendengar ocehan-ocehan istrinya. Wajahnya terlihat garang. Dan dengan geram, tangannya melayang ke mulut istrinya.
Plak!
"Ah...!"
Perempuan itu menjerit kesakitan, seraya mendekap bibir dengan telapak tangannya. Tubuhnya terhuyung-huyung, hampir jatuh ke belakang.
"Diam kataku! Diam! Kau tak perlu mencampuri urusanku! Apa yang kau ketahui dan apa yang kau pikirkan, tak semudah apa yang bisa kau lakukan. Ini urusanku! Dan akulah yang akan bertanggung jawab!" bentak Ki Wangsa garang.
"Huh! Itu memang urusanmu. Tapi kau tak bisa melihat kenyataan, bahwa bukan hanya penduduk yang menjadi korban. Bahkan juga aku dan anak-anakmu! Matamu buta dan hatimu busuk! Sehingga, akalmu menjadi buntu. Kau kelihatan menjadi binatang liar yang pengecut!" sentak Nyai Wangsa, tak mengenai rasa takut.
Laki-laki setengah baya itu melotot garang, dan sudah hendak kembali menampar mulut istrinya. Namun tanpa kenal rasa takut, Nyai Wangsa menyodorkan wajahnya.
"Kau ingin menamparku lagi, karena aku bicara benar? Nah, lakukanlah! Ayo, lakukan!"
"Huh!" Ki Wangsa mendengar geram, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
Melihat suaminya berlalu, perempuan itu segera memanggil salah seorang penjaga rumah. Tak lama, muncul seorang laki-laki kurus berkulit sawo matang. Dengan tubuh membungkuk, dia menghadap Nyai Wangsa.
"Kau tadi melihat pemuda berbaju rompi itu, Patijan?"
Laki-laki kurus yang bernama Patijan itu mengangguk cepat.
"Nah! Temui dia, dan katakan kalau aku mengundangnya ke sini!"
"Tapi...," Patijan berusaha menolak.
"Patijan! Kau berani membantah perintahku?!" bentak Nyai Wangsa kesal.
"Eh! Tentu saja aku tak berani, Nyai!"
"Nah! Kalau demikian, segera kerjakan!"
"Tapi, bagaimana kalau Den Wangsa mengetahuinya? Dia pasti menghukumku, Nyai..."
"Katakan, kalau ini perintahku."
"Baiklah kalau demikian. Hamba pamit dulu, Nyai."
Patijan segera berbalik, dan melangkah cepat. Sebentar saja, dia sudah keluar dari ruangan itu.
"Hm...!" perempuan itu hanya menggumam sambil mengangguk.
Ekor mata Nyai Wangsa memperhatikan Patijan sampai lenyap di balik pagar depan. Kemudian, terlihat dia menghela napas pendek sebelum berlalu ke belakang.
![](https://img.wattpad.com/cover/220569427-288-k8187.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
110. Pendekar Rajawali Sakti : Sekutu Iblis
ActionSerial ke 110. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.